Sri Mulyani Ungkap Penyebab Shortfall Penerimaan Pajak
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan, apa yang menjadi penyebab adanya shortfall atau kekurangan penerimaan pajak di 2019. Akibatnya, mantan Direktur Bank Dunia memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bakal melebar tahun ini.
"Kita hitung sampai penerimaan September 2019 yang lalu dengan pertumbuhan terutama untuk pajak korporasi dan PPN yang alami perlambatan. Kita akan tetap pantau," kata Menkeu Sri Mulyani di Gedung Kemenkeu, Jumat (1/11/2019).
Sambung dia menerangkan, perlambatan berasal dari sisi pajak korporasi dan PPN yang menjadi penyebabnya. Namun Sri Mulyani belum mau menyebutkan kisaran angka potensi shortfall tersebut. "Nanti lah saya nggak akan sampaikan angkanya," tuturnya.
Sebelumnya Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda menerangkan pada 2019 ini, kapasitas fiskal pemerintah dari sisi penerimaan sangat mungkin akan terganggu dengan adanya beberapa dinamika internal dan global. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sempat sibuk mengenai insentif perpajakan.
Adapun skema insentif untuk sektor properti bahkan sudah mulai digulirkan sejak Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92 Tahun 2019 diterbitkan. Selain itu terang dia alasan pemerintah untuk mengkaji penurunan PPh Badan karena daya saing tarif sebenarnya cukup masuk akal.
Menurutnya jika pemerintah tidak berupaya simultan pada PR-PR lainnya maka dampak dari penurunan PPh Badan ini bisa jadi akan tergolong sangat kecil dan masih jauh dari yang diharapkan. "Justru yang perlu kita waspadai bersama adalah dampaknya terhadap potensi penurunan (shortfall) penerimaan negara, terutama dari komponen pajak," ungkap Candra.
Shortfall penerimaan memang sudah menjadi bagian dari dinamika fiskal ketika pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan pajak (tax allowance). Kondisinya mungkin akan berbeda jika insentif tax allowance tersebut diimbangi dengan kenaikan basis pajak (tax base) atau kepatuhan pajak (tax compliance).
"Nah, di Indonesia sendiri kita masih memiliki PR yang berat untuk menuntaskan persoalan data perpajakan dan tingkat kepatuhan," jelas Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya itu.
"Kita hitung sampai penerimaan September 2019 yang lalu dengan pertumbuhan terutama untuk pajak korporasi dan PPN yang alami perlambatan. Kita akan tetap pantau," kata Menkeu Sri Mulyani di Gedung Kemenkeu, Jumat (1/11/2019).
Sambung dia menerangkan, perlambatan berasal dari sisi pajak korporasi dan PPN yang menjadi penyebabnya. Namun Sri Mulyani belum mau menyebutkan kisaran angka potensi shortfall tersebut. "Nanti lah saya nggak akan sampaikan angkanya," tuturnya.
Sebelumnya Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda menerangkan pada 2019 ini, kapasitas fiskal pemerintah dari sisi penerimaan sangat mungkin akan terganggu dengan adanya beberapa dinamika internal dan global. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sempat sibuk mengenai insentif perpajakan.
Adapun skema insentif untuk sektor properti bahkan sudah mulai digulirkan sejak Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92 Tahun 2019 diterbitkan. Selain itu terang dia alasan pemerintah untuk mengkaji penurunan PPh Badan karena daya saing tarif sebenarnya cukup masuk akal.
Menurutnya jika pemerintah tidak berupaya simultan pada PR-PR lainnya maka dampak dari penurunan PPh Badan ini bisa jadi akan tergolong sangat kecil dan masih jauh dari yang diharapkan. "Justru yang perlu kita waspadai bersama adalah dampaknya terhadap potensi penurunan (shortfall) penerimaan negara, terutama dari komponen pajak," ungkap Candra.
Shortfall penerimaan memang sudah menjadi bagian dari dinamika fiskal ketika pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan pajak (tax allowance). Kondisinya mungkin akan berbeda jika insentif tax allowance tersebut diimbangi dengan kenaikan basis pajak (tax base) atau kepatuhan pajak (tax compliance).
"Nah, di Indonesia sendiri kita masih memiliki PR yang berat untuk menuntaskan persoalan data perpajakan dan tingkat kepatuhan," jelas Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya itu.
(akr)