Wamenlu Mahendra Siap Atasi Narasi Negatif Sawit dari Uni Eropa
A
A
A
NUSA DUA - Indonesia menjadikan kampanye negatif terhadap industri sawit nasional sebagai agenda mendesak yang harus diatasi. Kampanye hitam tersebut kerap menuduh sawit sebagai industri yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan.
Untuk itu, pemerintah memperkuat diplomasi sawit dan melakukan berbagai langkah untuk menghadapi berbagai tantangan industri kelapa sawit nasional.
"Narasi negatif terhadap minyak kelapa sawit terutama berasal dari Uni Eropa harus diatasi," tandas Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 and 2020 Price Outlok di Nusa Dua Bali, Jumat (1/11/2019).
Mahendra menilai, upaya menuju kelapa sawit yang berkelanjutan melalui ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) harus diakui dan diperhitungkan oleh Uni Eropa terutama dalam tinjauan kriteria ILUC yang akan datang.
"Pemerintah akan mendorong dunia agar melihat aspek environmental footprint pada minyak nabati lainnya sebagaimana ditetapkan pada Industri kelapa sawit Indonesia," ujarnya.
Di sisi lain, kredibilitas masalah lingkungan ini dinilai sebagai kedok dari proteksionisme, terutama untuk melindungi dan mempromosikan minyak nabati rapeseed yang tumbuh di Eropa.
"Kita akan melakukan pendekatan, penjelasan dan inisiatif untuk mendorong terpenuhinya sistem yang mendukung keberlanjutan seluruh minyak nabati dilihat dari semua aspek termasuk aspek SDGs dan sawit bisa menjadi pionir. Dengan demikian, kita bisa menjamin permintaan global secara bertanggung jawab dengan minyak nabati berkelanjutan. Harus dilihat juga minyak nabati lainnya, misalnya penggunaan bahan kimia pada minyak nabati Eropa," kata Mahendra.
Menurutnya, dunia harus melihat sawit secara fair karena sawit bukan semata untuk memenuhi pasar Eropa saja namun juga pasar dunia yang akan tumbuh terus seiring dengan pertumbuhan populasi umat manusia. Kebutuhan akan minyak nabati tersebut harus direspon dengan minyak nabati yang berkelanjutan.
Saat ini, sawit menjadi solusi utama sebagai minyak nabati berkelanjutan dimana sawit memiliki produktifitas 6-10 kali lipat lebih besar dengan penggunaan lahan yang lebih efisien dibandingkan dengan minyak nabati dunia lainnya.
Dari sisi kebijakan perdagangan, sistem berbasis aturan perdagangan multirateral perlu ditinjau ulang dan harus mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang secara memadai, termasuk dalam hal CEPA Indo-Uni Eropa. Regionalisme menjadi penting dimana ASEAN dan sekitarnya juga merupakan peluang pasar inti terbesar di dunia.
Minyak kelapa sawit harus memiliki tempat yang menonjol dalam agenda bilateral, regional, free trade agreement, diskusi multilateral, negosiasi dan perjanjian. Namun demikian serapan pasar domestik tetap menjadi agenda utama pemerintah.
"Saat ini, pasar minyak sawit terbesar dunia adalah Indonesia karena kita adalah konsumen terbesar maka kebutuhan dalam negeri harus dipenuhi dengan baik untuk edible oil dan turunannya. Dalam 10 tahun kedepan, mayoritas sawit yang dihasilkan akan terserap di dalam negeri dan sisanya ataupun turunannya akan diekspor," katanya.
Untuk itu, pemerintah memperkuat diplomasi sawit dan melakukan berbagai langkah untuk menghadapi berbagai tantangan industri kelapa sawit nasional.
"Narasi negatif terhadap minyak kelapa sawit terutama berasal dari Uni Eropa harus diatasi," tandas Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 and 2020 Price Outlok di Nusa Dua Bali, Jumat (1/11/2019).
Mahendra menilai, upaya menuju kelapa sawit yang berkelanjutan melalui ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) harus diakui dan diperhitungkan oleh Uni Eropa terutama dalam tinjauan kriteria ILUC yang akan datang.
"Pemerintah akan mendorong dunia agar melihat aspek environmental footprint pada minyak nabati lainnya sebagaimana ditetapkan pada Industri kelapa sawit Indonesia," ujarnya.
Di sisi lain, kredibilitas masalah lingkungan ini dinilai sebagai kedok dari proteksionisme, terutama untuk melindungi dan mempromosikan minyak nabati rapeseed yang tumbuh di Eropa.
"Kita akan melakukan pendekatan, penjelasan dan inisiatif untuk mendorong terpenuhinya sistem yang mendukung keberlanjutan seluruh minyak nabati dilihat dari semua aspek termasuk aspek SDGs dan sawit bisa menjadi pionir. Dengan demikian, kita bisa menjamin permintaan global secara bertanggung jawab dengan minyak nabati berkelanjutan. Harus dilihat juga minyak nabati lainnya, misalnya penggunaan bahan kimia pada minyak nabati Eropa," kata Mahendra.
Menurutnya, dunia harus melihat sawit secara fair karena sawit bukan semata untuk memenuhi pasar Eropa saja namun juga pasar dunia yang akan tumbuh terus seiring dengan pertumbuhan populasi umat manusia. Kebutuhan akan minyak nabati tersebut harus direspon dengan minyak nabati yang berkelanjutan.
Saat ini, sawit menjadi solusi utama sebagai minyak nabati berkelanjutan dimana sawit memiliki produktifitas 6-10 kali lipat lebih besar dengan penggunaan lahan yang lebih efisien dibandingkan dengan minyak nabati dunia lainnya.
Dari sisi kebijakan perdagangan, sistem berbasis aturan perdagangan multirateral perlu ditinjau ulang dan harus mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang secara memadai, termasuk dalam hal CEPA Indo-Uni Eropa. Regionalisme menjadi penting dimana ASEAN dan sekitarnya juga merupakan peluang pasar inti terbesar di dunia.
Minyak kelapa sawit harus memiliki tempat yang menonjol dalam agenda bilateral, regional, free trade agreement, diskusi multilateral, negosiasi dan perjanjian. Namun demikian serapan pasar domestik tetap menjadi agenda utama pemerintah.
"Saat ini, pasar minyak sawit terbesar dunia adalah Indonesia karena kita adalah konsumen terbesar maka kebutuhan dalam negeri harus dipenuhi dengan baik untuk edible oil dan turunannya. Dalam 10 tahun kedepan, mayoritas sawit yang dihasilkan akan terserap di dalam negeri dan sisanya ataupun turunannya akan diekspor," katanya.
(ven)