Menkeu Sri Mulyani Masih Bahas Omnibus Law Perpajakan
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menerangkan, masih membahas mengenai omnibus law perpajakan bersama dengan Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Hal ini dilakukan agar asal-pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ini telah diformulasikan secara seksama untuk mencapai sejumlah tujuan yang dicanangkan pemerintah.
"Kita siapkan bahannya nanti bersama-bersama dengan Pak Menko (Airlangga)," ujar Menkeu Sri Mulyani di Jakarta, Senin (11/11/2019).
Sebagai informasi saat ini Direktorat Jendral Pajak masih menggodok mengenai omnibus law di antaranya berencana merevisi tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Tarif PPh badan yang sebelumnya dikenakan 25% akan diturunkan menjadi 20% dalam omnibus law.
RUU ini juga akan turut menghapuskan PPh dividen dari perusahaan dalam dan luar negeri. Selama ini dividen dari badan atau perusahaan yang memiliki saham di atas 25% tidak dikenai PPh, tetapi apabila kepemilikan di bawah 25% dikenai PPh. Yoga mengatakan RUU ini akan menghapus PPh dividen bila dividen tersebut diinvestasikan di Indonesia.
Omnibus law juga akan menganulir sejumlah poin dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, salah satunya adalah dengan merelaksaksi hak untuk mengkreditkan pajak masukan.
Relaksasi akan diberikan utamanya kepada perusahaan kena pajak yang hasil produknya selama ini belum dibukukan sebagai objek pajak. RUU ini akan mengatur agar pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan sekarang bisa diklaim untuk mengurangi kewajiban pajak.
Selain itu, omnibus law juga akan merubah ketentuan denda yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Salah satu yang akan berubah adalah denda wajib pajak terkait keterlambatan surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan kurang bayar dari 2% per bulan menjadi pro rata, yakni berdasarkan suku bunga acuan di pasar plus 5%.
"Kita siapkan bahannya nanti bersama-bersama dengan Pak Menko (Airlangga)," ujar Menkeu Sri Mulyani di Jakarta, Senin (11/11/2019).
Sebagai informasi saat ini Direktorat Jendral Pajak masih menggodok mengenai omnibus law di antaranya berencana merevisi tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Tarif PPh badan yang sebelumnya dikenakan 25% akan diturunkan menjadi 20% dalam omnibus law.
RUU ini juga akan turut menghapuskan PPh dividen dari perusahaan dalam dan luar negeri. Selama ini dividen dari badan atau perusahaan yang memiliki saham di atas 25% tidak dikenai PPh, tetapi apabila kepemilikan di bawah 25% dikenai PPh. Yoga mengatakan RUU ini akan menghapus PPh dividen bila dividen tersebut diinvestasikan di Indonesia.
Omnibus law juga akan menganulir sejumlah poin dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, salah satunya adalah dengan merelaksaksi hak untuk mengkreditkan pajak masukan.
Relaksasi akan diberikan utamanya kepada perusahaan kena pajak yang hasil produknya selama ini belum dibukukan sebagai objek pajak. RUU ini akan mengatur agar pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan sekarang bisa diklaim untuk mengurangi kewajiban pajak.
Selain itu, omnibus law juga akan merubah ketentuan denda yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Salah satu yang akan berubah adalah denda wajib pajak terkait keterlambatan surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan kurang bayar dari 2% per bulan menjadi pro rata, yakni berdasarkan suku bunga acuan di pasar plus 5%.
(akr)