Simplifikasi Cukai Rokok Matikan Industri Tembakau Nasional
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Industri Hasil Tembakau (IHT) meminta pimpinan perusahaan rokok besar asing yang beroperasi di Tanah Air tidak mendikte pemerintah untuk menerapkan simplifikasi penarikan cukai.
Sebab, pemerintah justru berkewajiban melindungi keberadaan dan keberlangsungan industri rokok nasional yang menyerap tenaga kerja dan tembakau lokal sekaligus melindungi perekonomian bangsa.
Masyarakat IHT sendiri menilai penerapan simplifikasi lebih mengarah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan mengarah mematikan industri rokok nasional.
Pendapat tersebut disampaikan Ketua Umum Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar dan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia wilayah Jawa Barat (APTI Jabar) Suryana di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
“(Mereka) tidak boleh dan tidak bisa mendikte pemerintah, baik Presiden Joko Widodo maupun Menkeu Sri Mulyani. Mereka tentu harus lebih bijaksana dalam membuat maupun mengadopsi kebijakan. Yang Penting kita memberikan pemahaman dan masukan kepada pemerintah. Kalau pemerintah menerapkan simplifikasi, ini loh dampaknya. Jadi jangan memaksakan untuk menerapkan simplifikasi,” desak Sulami Bahar.
Pendapat itu merespons pernyataan salah satu pimpinan perusahaan rokok asing beberapa waktu lalu, yang mengeluhkan peraturan cukai di Indonesia terlalu rumit. Karena itu perlu penyederhanaan atau simplifikasi.
Sulami menegaskan, usulan pimpinan perusahaan rokok asing tersebut secara halus meminta pemerintah segera menyederhanakan penarikan cukai dari 10 tier saat ini menjadi hanya beberapa tier, dan permintaan itu sebaiknya tidak diikuti pemerintah.
“Alasannya, perusahaan maupun pabrik rokok di Indonesia jumlahnya ratusan. Berbeda dengan perusahaan rokok di Amerika Serikat tempat asal perusahaan rokok asing berasal. Dari sekian ratus perusahaan dan pabrik rokok yang ada di Indonesia, karakter, jumlah hasil produksi dan permodalannya berbeda-beda. Karena itu perusahaan yang permodalan dan jumlah produksinya berbeda-beda, tidak bisa disamakan penarikan dan besaran cukainya. Singkatnya, simplifikasi kurang pas diterapkan di Indonesia,” papar Sulami.
Sistem penarikan cukai saat ini yang terdiri dari 10 tier dirasakan sudah cukup adil karena tidak menyamakan antara sigaret kretek tangan dengan sigaret kretek mesin dan perusahaan rokok besar dengan kecil.
“Selama ini apa yang sudah diterapkan oleh pemerintah ini sudah pas untuk kondisi pabrik rokok di Indonesia. Menjadi tidak pas kalau simplifikasi tarif cukai diterapkan di Indonesia. Mengingat kondisi dari IHT di Indonesia itu heterogen bukan homogen,” tambahnya.
Sependapat dengan Sulami Bahar, Suryana menilai jika pemerintah menerapkan simplifikasi penarikan cukai bakal semakin memperberat industri hasil tembakau. Setelah pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran 35%, kini ada usulan menerapkan melakukan simplifikasi cukai dengan alasan untuk penyederhanaan. “Ini akan merusak perekonomian nasional. Yang menjelimet itu kenaikan cukai jauh di atas angka inflasi, yakni 23%,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, bukan hanya pabrik rokok yang berat, masyarakat petani tembakau juga kena dampaknya. Sebab dengan kenaikan cukai rokok dan harga jual eceran sampai 35%, maka pembelian tembakau oleh pabrik rokok ke petani tembaku jadi makin berkurang.
“Kalau pembelian tembakau ke petani tembakau jauh berkurang, memberatkan ekonomi masyarakat petani tembakau yang ada di desa-desa. Sementara di kota, pabrik pabrik rokok tutup, juga mematikan perekonomian masyarakat kota,” kata Suryana menganalisa.
Baik Suryana maupun Sulami sepakat, pemerintah harus hati hati dalam menerapkan kebijakan. Bukan hanya memenuhi permintaan kelompok pemilik pabrik rokok besar, apalagi dari luar negeri, namun juga harus memerhatikan nasib dan kesejahteraan pemilik, buruh pabrik rokok kecil. Termasuk nasib dan kesejahteraan petani tembakau.
“Saya yakin Presiden Joko Widodo orang yang peduli pada nasib petani dan kaum buruh. Karena itu, jangan lagi membuat kebijakan yang hanya menguntungkan pelaku ekonomi besar, termasuk pabrik rokok asing,” harap Suryana.
Sebab, pemerintah justru berkewajiban melindungi keberadaan dan keberlangsungan industri rokok nasional yang menyerap tenaga kerja dan tembakau lokal sekaligus melindungi perekonomian bangsa.
Masyarakat IHT sendiri menilai penerapan simplifikasi lebih mengarah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan mengarah mematikan industri rokok nasional.
Pendapat tersebut disampaikan Ketua Umum Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar dan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia wilayah Jawa Barat (APTI Jabar) Suryana di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
“(Mereka) tidak boleh dan tidak bisa mendikte pemerintah, baik Presiden Joko Widodo maupun Menkeu Sri Mulyani. Mereka tentu harus lebih bijaksana dalam membuat maupun mengadopsi kebijakan. Yang Penting kita memberikan pemahaman dan masukan kepada pemerintah. Kalau pemerintah menerapkan simplifikasi, ini loh dampaknya. Jadi jangan memaksakan untuk menerapkan simplifikasi,” desak Sulami Bahar.
Pendapat itu merespons pernyataan salah satu pimpinan perusahaan rokok asing beberapa waktu lalu, yang mengeluhkan peraturan cukai di Indonesia terlalu rumit. Karena itu perlu penyederhanaan atau simplifikasi.
Sulami menegaskan, usulan pimpinan perusahaan rokok asing tersebut secara halus meminta pemerintah segera menyederhanakan penarikan cukai dari 10 tier saat ini menjadi hanya beberapa tier, dan permintaan itu sebaiknya tidak diikuti pemerintah.
“Alasannya, perusahaan maupun pabrik rokok di Indonesia jumlahnya ratusan. Berbeda dengan perusahaan rokok di Amerika Serikat tempat asal perusahaan rokok asing berasal. Dari sekian ratus perusahaan dan pabrik rokok yang ada di Indonesia, karakter, jumlah hasil produksi dan permodalannya berbeda-beda. Karena itu perusahaan yang permodalan dan jumlah produksinya berbeda-beda, tidak bisa disamakan penarikan dan besaran cukainya. Singkatnya, simplifikasi kurang pas diterapkan di Indonesia,” papar Sulami.
Sistem penarikan cukai saat ini yang terdiri dari 10 tier dirasakan sudah cukup adil karena tidak menyamakan antara sigaret kretek tangan dengan sigaret kretek mesin dan perusahaan rokok besar dengan kecil.
“Selama ini apa yang sudah diterapkan oleh pemerintah ini sudah pas untuk kondisi pabrik rokok di Indonesia. Menjadi tidak pas kalau simplifikasi tarif cukai diterapkan di Indonesia. Mengingat kondisi dari IHT di Indonesia itu heterogen bukan homogen,” tambahnya.
Sependapat dengan Sulami Bahar, Suryana menilai jika pemerintah menerapkan simplifikasi penarikan cukai bakal semakin memperberat industri hasil tembakau. Setelah pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran 35%, kini ada usulan menerapkan melakukan simplifikasi cukai dengan alasan untuk penyederhanaan. “Ini akan merusak perekonomian nasional. Yang menjelimet itu kenaikan cukai jauh di atas angka inflasi, yakni 23%,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, bukan hanya pabrik rokok yang berat, masyarakat petani tembakau juga kena dampaknya. Sebab dengan kenaikan cukai rokok dan harga jual eceran sampai 35%, maka pembelian tembakau oleh pabrik rokok ke petani tembaku jadi makin berkurang.
“Kalau pembelian tembakau ke petani tembakau jauh berkurang, memberatkan ekonomi masyarakat petani tembakau yang ada di desa-desa. Sementara di kota, pabrik pabrik rokok tutup, juga mematikan perekonomian masyarakat kota,” kata Suryana menganalisa.
Baik Suryana maupun Sulami sepakat, pemerintah harus hati hati dalam menerapkan kebijakan. Bukan hanya memenuhi permintaan kelompok pemilik pabrik rokok besar, apalagi dari luar negeri, namun juga harus memerhatikan nasib dan kesejahteraan pemilik, buruh pabrik rokok kecil. Termasuk nasib dan kesejahteraan petani tembakau.
“Saya yakin Presiden Joko Widodo orang yang peduli pada nasib petani dan kaum buruh. Karena itu, jangan lagi membuat kebijakan yang hanya menguntungkan pelaku ekonomi besar, termasuk pabrik rokok asing,” harap Suryana.
(ind)