Produktivitas IHT Turun, Perumusan Kebijakan Harus Tepat
A
A
A
JAKARTA - Rencana revisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan yang diusulkan Kementerian Kesehatan terus bergulir. Namun, pemerintah diminta bijak dalam merumuskan kebijakan di Industri Hasil Tembakau (IHT) agar tidak memberikan dampak serius terhadap industri dan ketenagakerjaan.
"Harus dikembalikan kepada Kementerian yang berwenang mengurusi masalah itu. Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan," ujar Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria di Jakarta, Senin(18/11/2019).
Pemerhati kebijakan publik Agus Wahyudin menilai, perumusan kebijakan baru harus memperhatikan keberlangsungan industri. "Sebab, jika ada tekanan pada industri berpotensi mengancam seluruh mata rantai produksi yang terlibat," ujar Agus.
Dia mengungkapkan, yang akan terdampak mulai dari sektor perkebunan, baik itu para petani tembakau dan cengkih, juga para tenaga kerja di pabrik.
Tak hanya itu, pekerja dan pemilik toko ritel serta lini usaha lain yang terkait berpotensi terkena imbas. "Selama lima tahun terakhir, lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan di IHT telah mengalami PHK. Angka ini dikhawatirkan akan terus bertambah sejalan dengan ketidakpastian hukum yang membayang-bayangi industri padat karya ini," paparnya.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah menegaskan tidak sepakat dengan wacana revisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 itu. Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian Atong Soekirman menjelaskan, Kemenko Perekonomian melihat kebijakan tersebut dari beberapa sisi, termasuk industri, tenaga kerja dan penerimaan negara.
"Kami melihat dari sisi tenaga kerja. Jika tidak hati-hati, aturan yang keliru bisa menciptakan pengangguran. Jadi kami belum sepakat," tutur Atong.
Dia menilai, produktivitas IHT terus menurun setiap tahunnya. Adanya tambahan tekanan berupa kebijakan yang keliru dapat berdampak negatif pada industri tersebut dan semakin membuat industri terpuruk.
Atong menambahkan, PP 109/2012 yang saat ini diberlakukan masih relevan. Justru Kementerian Kesehatan seharusnya melihat pasal pasal yang sifatnya wajib namun belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik pada PP tersebut sebagai prioritas. Misalnya, melaksanakan program upaya menurunkan prevalensi anak terhadap rokok.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), M. Nur Azami menilai, rencana revisi PP 109 hanya akan mengancam eksistensi IHT, baik dari sisi keberlangsungan usaha maupun penyerapan tenaga kerja. Usulan revisi PP 109/2012 tersebut belum pernah disosialisasikan kepada stakeholder di sektor IHT.
Selain itu, tidak dijelaskan pasal-pasal yang akan diubah. "Aturan produk tembakau sudah cukup ketat karena mengatur promosi produk, iklan, serta tidak menjangkau anak di bawah umur," ujar Nur Azami.
"Harus dikembalikan kepada Kementerian yang berwenang mengurusi masalah itu. Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan," ujar Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria di Jakarta, Senin(18/11/2019).
Pemerhati kebijakan publik Agus Wahyudin menilai, perumusan kebijakan baru harus memperhatikan keberlangsungan industri. "Sebab, jika ada tekanan pada industri berpotensi mengancam seluruh mata rantai produksi yang terlibat," ujar Agus.
Dia mengungkapkan, yang akan terdampak mulai dari sektor perkebunan, baik itu para petani tembakau dan cengkih, juga para tenaga kerja di pabrik.
Tak hanya itu, pekerja dan pemilik toko ritel serta lini usaha lain yang terkait berpotensi terkena imbas. "Selama lima tahun terakhir, lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan di IHT telah mengalami PHK. Angka ini dikhawatirkan akan terus bertambah sejalan dengan ketidakpastian hukum yang membayang-bayangi industri padat karya ini," paparnya.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah menegaskan tidak sepakat dengan wacana revisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 itu. Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian Atong Soekirman menjelaskan, Kemenko Perekonomian melihat kebijakan tersebut dari beberapa sisi, termasuk industri, tenaga kerja dan penerimaan negara.
"Kami melihat dari sisi tenaga kerja. Jika tidak hati-hati, aturan yang keliru bisa menciptakan pengangguran. Jadi kami belum sepakat," tutur Atong.
Dia menilai, produktivitas IHT terus menurun setiap tahunnya. Adanya tambahan tekanan berupa kebijakan yang keliru dapat berdampak negatif pada industri tersebut dan semakin membuat industri terpuruk.
Atong menambahkan, PP 109/2012 yang saat ini diberlakukan masih relevan. Justru Kementerian Kesehatan seharusnya melihat pasal pasal yang sifatnya wajib namun belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik pada PP tersebut sebagai prioritas. Misalnya, melaksanakan program upaya menurunkan prevalensi anak terhadap rokok.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), M. Nur Azami menilai, rencana revisi PP 109 hanya akan mengancam eksistensi IHT, baik dari sisi keberlangsungan usaha maupun penyerapan tenaga kerja. Usulan revisi PP 109/2012 tersebut belum pernah disosialisasikan kepada stakeholder di sektor IHT.
Selain itu, tidak dijelaskan pasal-pasal yang akan diubah. "Aturan produk tembakau sudah cukup ketat karena mengatur promosi produk, iklan, serta tidak menjangkau anak di bawah umur," ujar Nur Azami.
(ven)