Lindungi Konsumen dan Pengembang, Revisi Permen No 11/2019 Diapresiasi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akhirnya mengakhiri polemik tentang Peraturan Menteri (Permen) No 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual-Beli Rumah (PPJB) melalui revisi atas aturan tersebut. Terobosan yang dilakukan Kementerian PUPR itu pun mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan.
"Kementerian PUPR harus mendapat apresiasi. Sebab, jika aturan tersebut tidak direvisi akan terlihat berat sebelah. Pemerintah harus berimbang, baik kepada konsumen maupun kepada pengembang. Revisi kebijakan tersebut tentu sejalan dengan apa yang sering diungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi)," ujar pemerhati kebijakan publik Agus Wahyudin dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/11/2019).
Sebelum dilakukan revisi, Permen No 11/2019 tentang sistem PPJB itu dinilai tidak adil. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut dinilai memberatkan pengembang. Di antaranya, dalam pasal 7 yang menyebutkan bahwa konsumen bisa membatalkan pembelian meski tak ada kelalaian dari pihak pengembang.
Dalam hal ini, kelalaian yang dimaksud adalah ketika perusahaan tak bisa memenuhi jadwal pelaksanaan pembangunan, penandatanganan PPJB dan akta jual beli, serta jadwal serah terima. Kemudian, perusahaan wajib mengembalikan dana konsumen dengan memotong 10% dari total yang dibayarkan, ditambah atas biaya pajak yang sudah diperhitungkan sebelumnya.
"Poin tersebut membuat pembeli dapat dengan mudah membatalkannya. Hal itu tentunya berdampak pada kegiatan investasi yang akan dilakukan pengembang," kata Agus.
Menurut dia, sudah seharusnya sebuah aturan dibuat dengan jelas, berimbang dengan berpedoman pada dampak yang akan ditimbulkan. Sebab, jika sebuah aturan memberatkan investor, maka akan berdampak pada iklim investasi dan daya saing.
"Revisi Permen 11/2019 mutlak harus dipilih Kementerian PUPR. Kementerian PUPR kan sudah mendapat masukan dan usulan awal dari pengembang saat penyusunan Permen 11/2019, tetapi kenapa begitu diterbitkan berbagai masukan tersebut tidak ada sama sekali? Ini akan berdampak pada biaya tingginya notaris yang akan berdampak kepada konsumen," tuturnya.
Pada peraturan yang lama, proses transaksi akan jauh lebih lama karena akan ada dokumen yang bergantung pada instansi lain ketika Permen 11/2019 ini diberlakukan. Jika itu terjadi, kata dia, tentu akan berdampak pada menurunnya minat investasi di bidang properti.
Di bagian lain, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai, saat ini yang dibutuhkan oleh negeri ini adalah konsistensi antara perintah Presiden dengan jajaran yang ada dibawahnya. "Presiden Jokowi sudah sering mengarahkan agar pemerintah membuka dialog dan menampung aspirasi. Bahwa regulasi itu harus pro bisnis, jangan sampai karena ada regulasi yang tidak berimbang menghambat masuknya investasi, karenanya semua harus konsisten untuk saling mendukung," tandasnya.
"Kementerian PUPR harus mendapat apresiasi. Sebab, jika aturan tersebut tidak direvisi akan terlihat berat sebelah. Pemerintah harus berimbang, baik kepada konsumen maupun kepada pengembang. Revisi kebijakan tersebut tentu sejalan dengan apa yang sering diungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi)," ujar pemerhati kebijakan publik Agus Wahyudin dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/11/2019).
Sebelum dilakukan revisi, Permen No 11/2019 tentang sistem PPJB itu dinilai tidak adil. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut dinilai memberatkan pengembang. Di antaranya, dalam pasal 7 yang menyebutkan bahwa konsumen bisa membatalkan pembelian meski tak ada kelalaian dari pihak pengembang.
Dalam hal ini, kelalaian yang dimaksud adalah ketika perusahaan tak bisa memenuhi jadwal pelaksanaan pembangunan, penandatanganan PPJB dan akta jual beli, serta jadwal serah terima. Kemudian, perusahaan wajib mengembalikan dana konsumen dengan memotong 10% dari total yang dibayarkan, ditambah atas biaya pajak yang sudah diperhitungkan sebelumnya.
"Poin tersebut membuat pembeli dapat dengan mudah membatalkannya. Hal itu tentunya berdampak pada kegiatan investasi yang akan dilakukan pengembang," kata Agus.
Menurut dia, sudah seharusnya sebuah aturan dibuat dengan jelas, berimbang dengan berpedoman pada dampak yang akan ditimbulkan. Sebab, jika sebuah aturan memberatkan investor, maka akan berdampak pada iklim investasi dan daya saing.
"Revisi Permen 11/2019 mutlak harus dipilih Kementerian PUPR. Kementerian PUPR kan sudah mendapat masukan dan usulan awal dari pengembang saat penyusunan Permen 11/2019, tetapi kenapa begitu diterbitkan berbagai masukan tersebut tidak ada sama sekali? Ini akan berdampak pada biaya tingginya notaris yang akan berdampak kepada konsumen," tuturnya.
Pada peraturan yang lama, proses transaksi akan jauh lebih lama karena akan ada dokumen yang bergantung pada instansi lain ketika Permen 11/2019 ini diberlakukan. Jika itu terjadi, kata dia, tentu akan berdampak pada menurunnya minat investasi di bidang properti.
Di bagian lain, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai, saat ini yang dibutuhkan oleh negeri ini adalah konsistensi antara perintah Presiden dengan jajaran yang ada dibawahnya. "Presiden Jokowi sudah sering mengarahkan agar pemerintah membuka dialog dan menampung aspirasi. Bahwa regulasi itu harus pro bisnis, jangan sampai karena ada regulasi yang tidak berimbang menghambat masuknya investasi, karenanya semua harus konsisten untuk saling mendukung," tandasnya.
(fjo)