Nasib Perkebunan Kelapa Sawit RI di Tengah Larangan Ekspor ke Uni Eropa
A
A
A
Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kelapa sawit mengalami peningkatan setiap tahunnya mulai dari tahun 2015 sebesar 31 juta ton, meningkat menjadi 31,7 juta ton pada 2016, menjadi 37,9 juta ton pada 2017, dan menjadi 40,57 juta ton pada tahun 2018.
Hasil produksi kelapa sawit tersebut sebagian besar dialokasikan untuk kebutuhan ekspor ke berbagai negara mulai dari India, China, Pakistan, Bangladesh, hingga ke Uni Eropa. Pada tahun 2018, ekspor CPO mencapai 34 juta ton dengan nilai devisa sekitar Rp270 triliun.
Di tengah tingginya produktivitas kelapa sawit, Indonesia menghadapi situasi yang kurang menguntungkan karena adanya sentimen negatif terhadap kelapa sawit Indonesia. Uni Eropa (UE) dalam kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE bahkan telah mengusulkan penghentian konsumsi biodesel berbasis sawit dari Indonesia.
Kebijakan tersebut berdampak pada ekspor kelapa sawit Indonesia terutama dengan tujuan negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam katadata.co.id menyebutkan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa periode Januari-September 2019 menurun sebesar 11,78% menjadi 3,29 juta ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Lantas bagaimana dengan nasib perkebunan kelapa sawit ditengah ketidakpastian global tersebut?
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu tumpuan ekonomi masyarakat, jumlah petani yang menggantungkan hidup dari perkebunan sawit mencapai 2,67 juta Kepala Keluarga (KK). Perkebunan kelapa sawit berkembang sangat pesat di Indonesia, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Tanaman dan Perkebunan Kementerian Pertanian pada 2018, total area kelapa sawit Indonesia sudah mencapai 14,3 juta hektare (ha), dengan rincian perusahaan swasta mengelola lahan seluas 7,7 juta ha, perkebunan rakyat mengelola lahan seluas 5,8 juta ha dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengelola lahan seluas 715.000 ha.
Petani kelapa sawit hingga pelaku usaha tentu memiliki kekhawatiran menghadapi situasi global tersebut, terlebih ekspor pada tahun 2019 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan ke wilayah UE. Petani kelapa sawit hingga pelaku usaha perkebunan kelapa sawit tentu menginginkan kejelasan terkait prospek kedepannya di tengah ketidakpastian global.
Menghadapi situasi tersebut, pelaku usaha di sektor perkebunan kelapa sawit tidak perlu gegabah atau panik, sehingga mengambil langkah yang terburu buru seperti mengalihkan fungsi lahan perkebunan sawit ke sektor lain. Pemerintah Indonesia selain menggugat kebijakan Uni Eropa dengan melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss pada 9 Desember 2019 lalu, juga mengembangkan mandatori campuran minyak sawit ke bahan bakar minyak (BBM) jenis solar atau dikenal dengan biodiesel.
Biodiesel 30% (B30) telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Desember 2019 di SPBU Milik Pertamina di Jalan MT Haryono Jakarta. Peresmian tesebut menunjukkan komitmen Indonesia untuk beralih dari energi fosil menjadi energi terbarukan. Kebijakan tersebut tentu akan menyerap lebih banyak produksi kelapa sawit dalam negeri, sehingga dapat menutup penurunan ekspor ke beberapa negara Eropa tersebut. Kedepannya, pengembangan produk biodesel juga akan dilakukan menjadi B50, bahkan diharapkan dapat menjadi B100.
Sehingga pelaku usaha di bidang kelapa sawit yang ingin meningkatkan produktivitas tetap akan memiliki pasar yang luas, terutama di dalam negeri. Tren peningkatan kebutuhan kelapa sawit di pasar dalam negeri juga telah terlihat. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan bahwa konsumsi CPO dalam negeri sebanyak 11,7 juta ton dari total produksi sebanyak 34,7 juta ton pada periode Januari-Agustus 2019.
Peningkatan produktivitas juga harus diimbangi dengan kualitas produk yang ramah lingkungan. Indonesia memiliki komitmen tersebut ditandai dengan mendirikan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan untuk mengatur agar perkebunan kelapa sawit menjadi lebih ramah lingkungan. Bahkan seluruh produsen minyak sawit di Indonesia kedepannya didorong untuk mendapatkan sertifikasi ISPO.
Melihat tren tersebut, dimana terdapat peningkatan kualitas, kuantitas bahkan inovasi terhadap CPO, Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dalam memasarkan CPO beserta produk turunannya ke dunia internasional. Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia selaku produsen kelapa sawit terbesar di dunia, sehingga ke depan dapat mengintervensi kebijakan sawit di dunia internasional terutama dalam hal penetapan harga.
Ridho F Perangin-angin
Mahasiswa S2 Sekolah Kajian Stratejik Global (SKSG) Universitas Indonesia
Hasil produksi kelapa sawit tersebut sebagian besar dialokasikan untuk kebutuhan ekspor ke berbagai negara mulai dari India, China, Pakistan, Bangladesh, hingga ke Uni Eropa. Pada tahun 2018, ekspor CPO mencapai 34 juta ton dengan nilai devisa sekitar Rp270 triliun.
Di tengah tingginya produktivitas kelapa sawit, Indonesia menghadapi situasi yang kurang menguntungkan karena adanya sentimen negatif terhadap kelapa sawit Indonesia. Uni Eropa (UE) dalam kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE bahkan telah mengusulkan penghentian konsumsi biodesel berbasis sawit dari Indonesia.
Kebijakan tersebut berdampak pada ekspor kelapa sawit Indonesia terutama dengan tujuan negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam katadata.co.id menyebutkan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa periode Januari-September 2019 menurun sebesar 11,78% menjadi 3,29 juta ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Lantas bagaimana dengan nasib perkebunan kelapa sawit ditengah ketidakpastian global tersebut?
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu tumpuan ekonomi masyarakat, jumlah petani yang menggantungkan hidup dari perkebunan sawit mencapai 2,67 juta Kepala Keluarga (KK). Perkebunan kelapa sawit berkembang sangat pesat di Indonesia, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Tanaman dan Perkebunan Kementerian Pertanian pada 2018, total area kelapa sawit Indonesia sudah mencapai 14,3 juta hektare (ha), dengan rincian perusahaan swasta mengelola lahan seluas 7,7 juta ha, perkebunan rakyat mengelola lahan seluas 5,8 juta ha dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengelola lahan seluas 715.000 ha.
Petani kelapa sawit hingga pelaku usaha tentu memiliki kekhawatiran menghadapi situasi global tersebut, terlebih ekspor pada tahun 2019 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan ke wilayah UE. Petani kelapa sawit hingga pelaku usaha perkebunan kelapa sawit tentu menginginkan kejelasan terkait prospek kedepannya di tengah ketidakpastian global.
Menghadapi situasi tersebut, pelaku usaha di sektor perkebunan kelapa sawit tidak perlu gegabah atau panik, sehingga mengambil langkah yang terburu buru seperti mengalihkan fungsi lahan perkebunan sawit ke sektor lain. Pemerintah Indonesia selain menggugat kebijakan Uni Eropa dengan melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss pada 9 Desember 2019 lalu, juga mengembangkan mandatori campuran minyak sawit ke bahan bakar minyak (BBM) jenis solar atau dikenal dengan biodiesel.
Biodiesel 30% (B30) telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Desember 2019 di SPBU Milik Pertamina di Jalan MT Haryono Jakarta. Peresmian tesebut menunjukkan komitmen Indonesia untuk beralih dari energi fosil menjadi energi terbarukan. Kebijakan tersebut tentu akan menyerap lebih banyak produksi kelapa sawit dalam negeri, sehingga dapat menutup penurunan ekspor ke beberapa negara Eropa tersebut. Kedepannya, pengembangan produk biodesel juga akan dilakukan menjadi B50, bahkan diharapkan dapat menjadi B100.
Sehingga pelaku usaha di bidang kelapa sawit yang ingin meningkatkan produktivitas tetap akan memiliki pasar yang luas, terutama di dalam negeri. Tren peningkatan kebutuhan kelapa sawit di pasar dalam negeri juga telah terlihat. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan bahwa konsumsi CPO dalam negeri sebanyak 11,7 juta ton dari total produksi sebanyak 34,7 juta ton pada periode Januari-Agustus 2019.
Peningkatan produktivitas juga harus diimbangi dengan kualitas produk yang ramah lingkungan. Indonesia memiliki komitmen tersebut ditandai dengan mendirikan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan untuk mengatur agar perkebunan kelapa sawit menjadi lebih ramah lingkungan. Bahkan seluruh produsen minyak sawit di Indonesia kedepannya didorong untuk mendapatkan sertifikasi ISPO.
Melihat tren tersebut, dimana terdapat peningkatan kualitas, kuantitas bahkan inovasi terhadap CPO, Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dalam memasarkan CPO beserta produk turunannya ke dunia internasional. Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia selaku produsen kelapa sawit terbesar di dunia, sehingga ke depan dapat mengintervensi kebijakan sawit di dunia internasional terutama dalam hal penetapan harga.
Ridho F Perangin-angin
Mahasiswa S2 Sekolah Kajian Stratejik Global (SKSG) Universitas Indonesia
(fjo)