Gagal Bayar Jiwasraya Dibongkar BPK Akibat Saham Gorengan, Kerugian Rp10,4 T
A
A
A
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membeberkan beberapa temuan dari kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero), yang diakibatkan karena menginvestasikan produk JS Saving Plan ke saham-saham berkualitas rendah. Akibat saham gorengan hingga terkait reksa dana saham, indikasi kerugian Jiwasraya bisa mencapai Rp10,4 triliun.
Diterangkan oleh Ketua BPK Agung Firman bahwa Jiwasraya ikut dalam jual beli saham 'gorengan', dimana ikut dalam negosiasi harga saham. Padahal sebagai investor, Jiwasraya tak memiliki hak untuk menentukan harga saham.
"Jual beli dilakukan dengan pihak tertentu secara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu yang diinginkan. Terindikasi dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi dan diduga dilakukan dengan merekayasa harga sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya," ungkap Ketua BPK Agung Firman Sampurna di Kantor BPK, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Saham-saham tersebut antara lain PT Semen Baturaja Tbk (SMBR), PT Bank BJB Tbk (BJBR) dan PT PP Properti Tbk (PPRO), PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), PT SMR Utama Tbk. (SMRU), PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM) serta MIREK. Agung menuturkan, indikasi kerugian sementara atas permainan saham tersebut sekitar Rp 4 triliun.
(Baca Juga: Penyelamatan Jiwasraya, Awas Kasus Bank Century TerulangSelanjutnya, hasil yang diperoleh dari investasi saham tersebut diduga disembunyikan oleh pihak Jiwasraya dan Manajer Investasi pada beberapa instrumen reksa dana yang juga berkualitas rendah. Pada posisi 30 Juli 2018, Jiwasraya memiliki 28 produk reksa dana yang mayoritas penempatannya di saham (reksa dana saham). "Dari 28 produk reksadana Jiwasraya, setidaknya ada 20 produk reksadana dengan kepemilikan di atas 90%," paparnya.
"Pihak-pihak yang terkait adalah pihak internal Jiwasraya, pada tingkat direksi dan general manager, serta pihak lain di luar Jiwasraya. Indikasi kerugian sementara terkait reksa dana saham diperkirakan sekitar Rp 6,4 triliun," tutur Agung.
Agung menerangkan bahwa reksadana tersebut sebagian besar adalah reksadana dengan underline saham berkualitas rendah dan tidak liquid. "Dalam investasi reksadana, kami menemukan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh AJS," lanjutnya.
Penyimpangan tersebut antara lain, analisis Manajer Investasi (MI) dari Jiwasraya dalam rencana subscription reksadana tidak dilakukan secara memadai dan diduga dibuat secara proforma agar manajer investasi terlihat seolah-olah memiliki kinerja yang baik sehingga dapat dipilih oleh Jiwasraya untuk menempatkan investasi.
"Investasi reksadana memiliki underline saham-saham dan MTM berkualitas rendah dan transaksi pada saham saham tersebut diindikasika dilakukan pihak pihak yang terafiliasi. Di antara saham-saham dan MTM pada reksa dana tersebut adalah merupakan arahan dari PT AJS yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh PT AJS selaku investor," jelas Agung.
Diterangkan oleh Ketua BPK Agung Firman bahwa Jiwasraya ikut dalam jual beli saham 'gorengan', dimana ikut dalam negosiasi harga saham. Padahal sebagai investor, Jiwasraya tak memiliki hak untuk menentukan harga saham.
"Jual beli dilakukan dengan pihak tertentu secara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu yang diinginkan. Terindikasi dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi dan diduga dilakukan dengan merekayasa harga sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya," ungkap Ketua BPK Agung Firman Sampurna di Kantor BPK, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Saham-saham tersebut antara lain PT Semen Baturaja Tbk (SMBR), PT Bank BJB Tbk (BJBR) dan PT PP Properti Tbk (PPRO), PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), PT SMR Utama Tbk. (SMRU), PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM) serta MIREK. Agung menuturkan, indikasi kerugian sementara atas permainan saham tersebut sekitar Rp 4 triliun.
(Baca Juga: Penyelamatan Jiwasraya, Awas Kasus Bank Century TerulangSelanjutnya, hasil yang diperoleh dari investasi saham tersebut diduga disembunyikan oleh pihak Jiwasraya dan Manajer Investasi pada beberapa instrumen reksa dana yang juga berkualitas rendah. Pada posisi 30 Juli 2018, Jiwasraya memiliki 28 produk reksa dana yang mayoritas penempatannya di saham (reksa dana saham). "Dari 28 produk reksadana Jiwasraya, setidaknya ada 20 produk reksadana dengan kepemilikan di atas 90%," paparnya.
"Pihak-pihak yang terkait adalah pihak internal Jiwasraya, pada tingkat direksi dan general manager, serta pihak lain di luar Jiwasraya. Indikasi kerugian sementara terkait reksa dana saham diperkirakan sekitar Rp 6,4 triliun," tutur Agung.
Agung menerangkan bahwa reksadana tersebut sebagian besar adalah reksadana dengan underline saham berkualitas rendah dan tidak liquid. "Dalam investasi reksadana, kami menemukan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh AJS," lanjutnya.
Penyimpangan tersebut antara lain, analisis Manajer Investasi (MI) dari Jiwasraya dalam rencana subscription reksadana tidak dilakukan secara memadai dan diduga dibuat secara proforma agar manajer investasi terlihat seolah-olah memiliki kinerja yang baik sehingga dapat dipilih oleh Jiwasraya untuk menempatkan investasi.
"Investasi reksadana memiliki underline saham-saham dan MTM berkualitas rendah dan transaksi pada saham saham tersebut diindikasika dilakukan pihak pihak yang terafiliasi. Di antara saham-saham dan MTM pada reksa dana tersebut adalah merupakan arahan dari PT AJS yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh PT AJS selaku investor," jelas Agung.
(akr)