Pengamat: Distribusi Tertutup Elpiji 3 Kg Tak Disiapkan dengan Cermat

Senin, 20 Januari 2020 - 14:30 WIB
Pengamat: Distribusi...
Pengamat: Distribusi Tertutup Elpiji 3 Kg Tak Disiapkan dengan Cermat
A A A
JAKARTA - Rencana pemerintah mengubah sistem distribusi elpiji (LPG) kemasan 3 kg ke sistem distribusi tertutup terus menjadi polemik. Pengamat kebijakan publik Sofyano Zakaria menilai, itu terjadi akibat banyak hal yang belum diantisipasi pemerintah dalam rencana tersebut.

Sebagai contoh, Sofyano menunjuk distribusi tertutup elpiji 3 kg yang sudah pernah dilakukan di Malang, Bali, Tarakan, Batam dan Gunung Kidul. Uji coba itu tidak pernah diumumkan seperti apa keberhasilannya kepada publik. Tak hanya itu, faktanya hingga saat ini distribusi elpiji 3 kg di daerah-daerah itu akhirnya masih dijalankan secara terbuka seperti di daerah lainnya.

"Harusnya program distribusi tertutup direncanakan dan dipersiapkan secermat mungkin sehingga tidak hanya menjadi uji coba serta tidak buru-buru disampaikan secara terbuka kepada masyarakat karena ini bisa menimbulkan panic buying yang akhirnya malah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah," ujar Sofyano di Jakarta, Senin (20/1/2020).

Dia menambahkan, distribusi elpiji 3 kg selama ini pun tidak bisa dikatakan tidak tepat sasaran. Pasalnya, tidak ada peraturan pemerintah yang tegas dan jelas terkait siapa pengguna yang berhak atas elpiji 3 kg. Karena itu, selama ini pun tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggarannya.

Sofyano menambahkan, melakukan distribusi tertutup dan mengalihkan subsidi langsung kepada orang untuk tujuan mengurangi beban pemerintah atas subsidi energi seharusnya juga dilakukan secara adil.

"Pemerintah tidak melakukan hal yang sama, misalnya, terhadap BBM solar subsidi yang ternyata nyaris bisa dibeli bebas oleh siapapun dan nyaris tak dikoreksi naik harga jualnya. Jika pemerintah yakin bisa mengalihkan subsidi elpiji kepada orang langsung, maka harusnya ini juga bisa dilakukan kepada solar subsidi yang pada nyatanya pembeli dan penggunanya adalah kendaraan berbahan bakar solar dan hal ini bisa menimbulkan rasa ketidak adilan bagi masyarakat," cetusnya.

Terkait beban subsidi, Sofyano mengatakan bahwa terus membengkaknya subsidi elpiji tidak semata disebabkan oleh pengguna yang tak tepat sasaran, tapi juga bisa disebabkan naiknya harga elpiji dunia dan tak pernah dikoreksinya harga eceran tertinggi (HET) elpiji sejak program konversi minyak tanah ke elpiji dijalankan .

"Dari sejak 2007 pemerintah mematok HET sebesar Rp4.250/kg. Jika pemerintah berani mengoreksi HET elpiji 3 kg menjadi Rp5.000/kg atau menjadi sekitar Rp25.000/tabung misalnya, maka pemerintah berpotensi menghemat subsidi sekitar Rp34,5 triliun jika kuota elpiji rata rata 6,9 miliar kg per tahun," paparnya.

Lebih lanjut Sofyano mengatakan, pada dasarnya masyarakat sudah terbiasa membeli elpiji 3 kg jauh di atas ketentuan HET bupati atau walikota. Masyarakat, kata dia, nyaris tak pernah mengeluhkan soal harga. Akan tetapi, dia mengingatkan, masyarakat umumnya bereaksi keras jika elpiji langka. "Harusnya pemerintah mengkaji hal ini dulu," tegasnya.

Dengan sudah terbiasanya masyarakat membeli elpiji 3 kg jauh di atas HET lewat peran pengecer, kata dia, hal ini harusnya bisa dijadikan pertimbangan untuk menaikkan HET yang ada. Namun, imbuh dia, pemerintah juga harus bisa menjamin bahwa ke depan elpiji akan satu harga di seluruh pelosok negeri.

"Nah, untuk membuat dan menjamin terwujudnya elpiji satu harga, maka peran pengecer elpiji yang ada selama ini harus ditetapkan sabagai mata rantai distribusi dengan menjadikan mereka sebagai sub pangkalan dan harus ada di setiap RT. Nantinya, ini harus dibina dan diawasi penuh oleh pemerintah daerah," sarannya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0851 seconds (0.1#10.140)