Harga Sawit Melonjak, Tak Pengaruhi Laba Korporasi Raksasa
A
A
A
BAGI petani sawit, 2020 ini diyakini akan membawa berkah lebih banyak buat mereka. Pasalnya, para petani tersebut masih merasakan tren dari kenaikan harga sawit dan CPO (minyak sawit mentah) yang terus berlanjut hingga awal tahun ini. Sebut saja petani di Riau. Pada periode 25 hingga 31 Desember 2019 lalu, tandan buah segar (TBS) sawit dari pohon mereka yang berusia 10–20 tahun dihargai Rp2.014,78 per kg. Memasuki Januari 2020, harganya makin membaik.
Pada periode 1–15 Januari 2020 dengan umur sawit yang sama, harganya menjadi Rp2.162,03 per kg. Begitu pula dengan harga CPO yang ikut terdongkrak naik, yakni dari Rp9.720,00 per kg (periode 1–15 Januari 2020) menjadi Rp9.849,82 per kg (periode 15–21 Januari).
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan meningkatnya harga CPO saat ini terjadi lantaran imbas dari program B30 yang akan diberlakukan mulai 2020. Tentunya harga sawit yang mulai kinclong ini disambut baik oleh 12 juta petani sawit dan keluarganya.
Petani sawit memang bisa tersenyum lebar dengan kondisi harga sawit saat ini. Sudah terbayang mereka akan mengantongi hasil penjualan yang bakal lebih baik dari tahun kemarin. Meski begitu, pihak yang paling diuntungkan dari naiknya harga sawit bukanlah petani sawit, melainkan para perusahaan, baik BUMN maupun swasta yang bergerak di bidang perkebunan sawit.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada November lalu, diketahui bahwa petani sawit hanya memiliki 45,54% dari total lahan perkebunan sawit. Sementara, bila diukur dari produksi, petani sawit hanya menghasilkan 38,26% dari total produksi sawit nasional. Baik dari luas lahan maupun kemampuan produksi, tentu masih jauh lebih besar perusahaan perkebunan sawit.
Dari perusahaan sawit yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Salim Ivomas Pratama, Tbk. (SIMP) tercatat sebagai perusahaan perkebunan sawit terbesar di negeri ini dengan kepemilikan aset senilai Rp35,05 triliun. Disusul kemudian oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMART) dengan kepemilikan aset senilai Rp27,33 di posisi kedua. Posisi ketiga ditempati oleh PT Astra Agro Lestari, Tbk. (AALI) dengan total aset senilai Rp27,16 triliun.
Selain perusahaan sawit yang terdaftar di BEI, masih ada raksasa sawit lainnya, yakni Wilmar International Group. Luas perkebunan sawit yang dimiliki perusahaan ini mencapai lebih dari 250 ribu hektare. Sekitar 73% dari seluruhnya terletak di Indonesia, 23% di Sabah dan Sarawak, Malaysia, serta 4% di Afrika. Meski kebunnya banyak berada di Indonesia, secara entitas Wilmar Group merupakan perusahaan Singapura. Nama resmi perusahaan ini di Negeri Jiran adalah Wilmar International Limited. Hanya sebagian anak-anak perusahaannya yang tercatat sebagai perusahaan asal Indonesia.
Wilmar Group merupakan perusahaan pengolahan minyak sawit terbesar dunia. Perusahaan yang didirikan oleh Martua Sitorus dan Kuok Khoon Hong pada 1991 ini telah memasarkan produknya ke lebih dari 50 negara. Wilmar Group memiliki lebih dari 450 pabrik dan jaringan distribusi di seluruh Tiongkok, India, Indonesia, dan negara-negara lainnya. Dikabarkan saat ini Wilmar masih memiliki lahan cadangan yang belum ditanami sawit sekitar 600 ribu hektare.
Di Indonesia, Wilmar Group juga masuk ke bursa melalui PT Wilmar Cahaya Indonesia (CEKA) Tbk. Hingga kuartal III 2019, perusahaan ini berhasil membukukan laba bersih sebanyak Rp131,08 miliar. Laba ini tumbuh 218% dibanding periode yang sama tahun lalu (tahunan) sebesar Rp41,13 miliar. Jumlah tersebut sebenarnya sudah melebihi perolehan laba bersih perseroan selama 2018 lalu sebanyak Rp92,65 miliar.
Perusahaan yang memproduksi minyak goreng merek Sania ini menyatakan bahwa sepanjang kuartal III 2019, perusahaan mengalami penurunan pendapatan sebesar 19% (tahunan) menjadi Rp2,24 triliun atau sekitar 62% dari pendapatan bersih 2018 senilai Rp3,6 triliun. Artinya, laba yang dihasilkan oleh perusahaan bersumber dari efisiensi yang dilakukan, bukan dari penjualan. Presiden Direktur CEKA Erry Tjuatja mengatakan bahwa hingga kuartal III 2019, perusahaan mampu menjual minyak goreng sekitar 240.000 ton. Pada 2019 lalu, diperkirakan volume penjualan perusahaan mencapai 320.000 ton.
Di Indonesia, Wilmar Group juga mengelola PT Wilmar Nabati Indonesia. Perusahaan ini memiliki lahan perkebunan sawit seluas 210.000 ha. Di antaranya sudah tertanam seluas 155.000 ha. Kebun sawit Wilmar ini terletak di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Sementara, produksi CPO mereka mencapai tiga juta metrik ton per tahun. Pada 2019 lalu, perusahaan menargetkan produksi CPO sebesar 3,2 juta metrik ton.
Meski tergolong korporasi raksasa, perusahaan-perusahaan sawit tidak selalu mampu meningkatkan pertumbuhan kinerja. Jika CEKA hanya mengalami penurunan penjualan, lain halnya dengan raksasa sawit PT Salim Ivomas Pratama (SIMP) Tbk. Perusahaan yang tergabung dalam Salim Group ini bahkan mencatatkan rugi bersih sebesar Rp469,95 miliar pada kuartal III 2019. Padahal, pada periode sebelumnya, SIMP masih membukukan laba sebesar Rp84,44 miliar. Rugi bersih ini terjadi karena adanya penurunan harga jual rata-rata produk sawit dan kenaikan beban bunga.
Produksi TBS pun turun 3% (tahunan) menjadi 2.385 ribu ton. Hal serupa juga terjadi pada produksi CPO yang turun 8% menjadi 607 ribu ton. Walaupun produksi turun, volume penjualan CPO SIMP naik 7% (tahunan) menjadi 617.000 ton. Naiknya volume penjualan ini ternyata tak mampu menutup kerugian. Sebab, harga jual rata-rata CPO pada triwulan III 2019 turun sebesar 13% (tahunan).
Jajaran manajemen SIMP menjelaskan penurunan kinerja ini disebabkan oleh harga jual rata-rata produk sawit yang merosot. Di sisi lain, penurunan itu tidak diimbangi sepenuhnya oleh pertumbuhan volume penjualan yang tinggi dari produk sawit, gula, serta divisi minyak dan lemak nabati.
Laba Anjlok 90%
Seperti diketahui, kenaikan harga sawit dan CPO yang dirasakan pelaku usaha sawit baru terjadi pada kuartal IV 2019. Sementara, sejak kuartal I hingga III, harga sawit dan CPO terus tertekan. Inilah yang menyebabkan para raksasa di industri sawit berkinerja anjlok, setidaknya hingga sembilan bulan pertama pada 2019.
Kinerja yang kurang oke juga dialami oleh PT Astra Agro Lestari (AALI) Tbk. Perusahaan yang menjadi salah satu pilar bisnis dari Astra Group ini hanya mampu membukukan laba bersih Rp111,18 miliar pada kuartal III 2019 alias anjlok cukup dalam sebesar 90,11% (tahunan). Sebagai perbandingan, pada periode sama tahun sebelumnya, AALI masih membukukan laba bersih sebesar Rp1,12 triliun. Penurunan laba bersih ini sejalan dengan pendapatan total AALI yang turun sebesar 9,99% (tahunan) menjadi Rp12,39 triliun dari sebelumnya Rp13,76 triliun.
Jika lebih dirinci, merosotnya penjualan disebabkan oleh melesunya penjualan minyak sawit beserta produk turunannya sebesar 6,79% (tahunan) dari Rp12,05 triliun menjadi Rp11,23 triliun. Penjualan inti sawit dan turunannya juga turun, bahkan lebih dalam, yakni 33,87% dari Rp1,56 triliun menjadi Rp1,03 triliun.
Per kuartal III 2019 ini, aset AALI meningkat 2,96% menjadi Rp27,65 triliun jika dibandingkan akhir tahun lalu. Peningkatan ini sejalan dengan liabilitas yang naik 17,23% secara year to date menjadi Rp8,64 triliun dan ekuitas yang turun 2,45% (year to date) menjadi Rp18,99 triliun.Lalu, bagaimana dengan oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMART), perusahaan sawit andalan Sinar Mas Group? Kondisinya memang tidak jauh berbeda dengan para raksasa lainnya.
Hingga akhir September 2019 lalu, SMART memproduksi 2,03 juta ton TBS, turun 0,1% dibandingkan produksi TBS pada periode yang sama tahun sebelumnya. Produksi CPO pada kuartal III 2019 sebanyak 470.593 ton atau hanya naik 0,04% dari produksi sebelumnya. Intinya, produksi sawit dan CPO dari SMART hingga sembilan bulan pertama pada 2019 sama dengan tahun sebelumnya.
Dampaknya, hasil penjualan SMART pun turun 4,8%, yakni dari Rp27,71 triliun di kuartal III 2018 menjadi 26,38 triliun pada kuartal III 2019. Harga sawit dan CPO yang merosot jadi salah satu penyebab turunnya EBITDA perusahaan menjadi Rp1,54 triliun atau 23,5% dari periode sebelumnya, Rp2,02 Triliun. Dari laporan keuangan yang dipublikasikan juga terlihat adanya penurunan aset dari Rp29.310 triliun menjadi Rp26,616 triliun.
Saat ini, SMART mengelola kebun sawit seluas 137,800 hektare. Sekitar 133.100 hektare merupakan kebun sawit yang sudah berproduksi. Sisanya seluas 4.700 hektare masih berupa tanaman sawit muda. Tingkat produktivitas dari lahan tersebut mencapai 21,38 ton per hektare dan ini masih berada di atas rata-rata industri. Untuk lahan seluas itu, SMART memiliki 16 pabrik kelapa sawit yang mampu memproses TBS menjadi CPO dan inti sawit dengan total kapasitas sebesar 4,2 juta ton per tahun.
CPO yang dihasilkan dijual baik dalam bentuk curah, minyak industri, maupun yang bermerek. SMART juga memiliki pabrik rafinasi dengan kapasitas 2,9 juta ton per tahun. Lalu, adapun pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas 810 ribu ton per tahun memproduksi minyak inti sawit dan bungkil inti sawit. Selain minyak curah dan minyak industri, produk turunan SMART juga dipasarkan dengan beberapa merek, seperti Filma dan Kunci Mas. (Eko Edhi Caroko)
Pada periode 1–15 Januari 2020 dengan umur sawit yang sama, harganya menjadi Rp2.162,03 per kg. Begitu pula dengan harga CPO yang ikut terdongkrak naik, yakni dari Rp9.720,00 per kg (periode 1–15 Januari 2020) menjadi Rp9.849,82 per kg (periode 15–21 Januari).
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan meningkatnya harga CPO saat ini terjadi lantaran imbas dari program B30 yang akan diberlakukan mulai 2020. Tentunya harga sawit yang mulai kinclong ini disambut baik oleh 12 juta petani sawit dan keluarganya.
Petani sawit memang bisa tersenyum lebar dengan kondisi harga sawit saat ini. Sudah terbayang mereka akan mengantongi hasil penjualan yang bakal lebih baik dari tahun kemarin. Meski begitu, pihak yang paling diuntungkan dari naiknya harga sawit bukanlah petani sawit, melainkan para perusahaan, baik BUMN maupun swasta yang bergerak di bidang perkebunan sawit.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada November lalu, diketahui bahwa petani sawit hanya memiliki 45,54% dari total lahan perkebunan sawit. Sementara, bila diukur dari produksi, petani sawit hanya menghasilkan 38,26% dari total produksi sawit nasional. Baik dari luas lahan maupun kemampuan produksi, tentu masih jauh lebih besar perusahaan perkebunan sawit.
Dari perusahaan sawit yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Salim Ivomas Pratama, Tbk. (SIMP) tercatat sebagai perusahaan perkebunan sawit terbesar di negeri ini dengan kepemilikan aset senilai Rp35,05 triliun. Disusul kemudian oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMART) dengan kepemilikan aset senilai Rp27,33 di posisi kedua. Posisi ketiga ditempati oleh PT Astra Agro Lestari, Tbk. (AALI) dengan total aset senilai Rp27,16 triliun.
Selain perusahaan sawit yang terdaftar di BEI, masih ada raksasa sawit lainnya, yakni Wilmar International Group. Luas perkebunan sawit yang dimiliki perusahaan ini mencapai lebih dari 250 ribu hektare. Sekitar 73% dari seluruhnya terletak di Indonesia, 23% di Sabah dan Sarawak, Malaysia, serta 4% di Afrika. Meski kebunnya banyak berada di Indonesia, secara entitas Wilmar Group merupakan perusahaan Singapura. Nama resmi perusahaan ini di Negeri Jiran adalah Wilmar International Limited. Hanya sebagian anak-anak perusahaannya yang tercatat sebagai perusahaan asal Indonesia.
Wilmar Group merupakan perusahaan pengolahan minyak sawit terbesar dunia. Perusahaan yang didirikan oleh Martua Sitorus dan Kuok Khoon Hong pada 1991 ini telah memasarkan produknya ke lebih dari 50 negara. Wilmar Group memiliki lebih dari 450 pabrik dan jaringan distribusi di seluruh Tiongkok, India, Indonesia, dan negara-negara lainnya. Dikabarkan saat ini Wilmar masih memiliki lahan cadangan yang belum ditanami sawit sekitar 600 ribu hektare.
Di Indonesia, Wilmar Group juga masuk ke bursa melalui PT Wilmar Cahaya Indonesia (CEKA) Tbk. Hingga kuartal III 2019, perusahaan ini berhasil membukukan laba bersih sebanyak Rp131,08 miliar. Laba ini tumbuh 218% dibanding periode yang sama tahun lalu (tahunan) sebesar Rp41,13 miliar. Jumlah tersebut sebenarnya sudah melebihi perolehan laba bersih perseroan selama 2018 lalu sebanyak Rp92,65 miliar.
Perusahaan yang memproduksi minyak goreng merek Sania ini menyatakan bahwa sepanjang kuartal III 2019, perusahaan mengalami penurunan pendapatan sebesar 19% (tahunan) menjadi Rp2,24 triliun atau sekitar 62% dari pendapatan bersih 2018 senilai Rp3,6 triliun. Artinya, laba yang dihasilkan oleh perusahaan bersumber dari efisiensi yang dilakukan, bukan dari penjualan. Presiden Direktur CEKA Erry Tjuatja mengatakan bahwa hingga kuartal III 2019, perusahaan mampu menjual minyak goreng sekitar 240.000 ton. Pada 2019 lalu, diperkirakan volume penjualan perusahaan mencapai 320.000 ton.
Di Indonesia, Wilmar Group juga mengelola PT Wilmar Nabati Indonesia. Perusahaan ini memiliki lahan perkebunan sawit seluas 210.000 ha. Di antaranya sudah tertanam seluas 155.000 ha. Kebun sawit Wilmar ini terletak di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Sementara, produksi CPO mereka mencapai tiga juta metrik ton per tahun. Pada 2019 lalu, perusahaan menargetkan produksi CPO sebesar 3,2 juta metrik ton.
Meski tergolong korporasi raksasa, perusahaan-perusahaan sawit tidak selalu mampu meningkatkan pertumbuhan kinerja. Jika CEKA hanya mengalami penurunan penjualan, lain halnya dengan raksasa sawit PT Salim Ivomas Pratama (SIMP) Tbk. Perusahaan yang tergabung dalam Salim Group ini bahkan mencatatkan rugi bersih sebesar Rp469,95 miliar pada kuartal III 2019. Padahal, pada periode sebelumnya, SIMP masih membukukan laba sebesar Rp84,44 miliar. Rugi bersih ini terjadi karena adanya penurunan harga jual rata-rata produk sawit dan kenaikan beban bunga.
Produksi TBS pun turun 3% (tahunan) menjadi 2.385 ribu ton. Hal serupa juga terjadi pada produksi CPO yang turun 8% menjadi 607 ribu ton. Walaupun produksi turun, volume penjualan CPO SIMP naik 7% (tahunan) menjadi 617.000 ton. Naiknya volume penjualan ini ternyata tak mampu menutup kerugian. Sebab, harga jual rata-rata CPO pada triwulan III 2019 turun sebesar 13% (tahunan).
Jajaran manajemen SIMP menjelaskan penurunan kinerja ini disebabkan oleh harga jual rata-rata produk sawit yang merosot. Di sisi lain, penurunan itu tidak diimbangi sepenuhnya oleh pertumbuhan volume penjualan yang tinggi dari produk sawit, gula, serta divisi minyak dan lemak nabati.
Laba Anjlok 90%
Seperti diketahui, kenaikan harga sawit dan CPO yang dirasakan pelaku usaha sawit baru terjadi pada kuartal IV 2019. Sementara, sejak kuartal I hingga III, harga sawit dan CPO terus tertekan. Inilah yang menyebabkan para raksasa di industri sawit berkinerja anjlok, setidaknya hingga sembilan bulan pertama pada 2019.
Kinerja yang kurang oke juga dialami oleh PT Astra Agro Lestari (AALI) Tbk. Perusahaan yang menjadi salah satu pilar bisnis dari Astra Group ini hanya mampu membukukan laba bersih Rp111,18 miliar pada kuartal III 2019 alias anjlok cukup dalam sebesar 90,11% (tahunan). Sebagai perbandingan, pada periode sama tahun sebelumnya, AALI masih membukukan laba bersih sebesar Rp1,12 triliun. Penurunan laba bersih ini sejalan dengan pendapatan total AALI yang turun sebesar 9,99% (tahunan) menjadi Rp12,39 triliun dari sebelumnya Rp13,76 triliun.
Jika lebih dirinci, merosotnya penjualan disebabkan oleh melesunya penjualan minyak sawit beserta produk turunannya sebesar 6,79% (tahunan) dari Rp12,05 triliun menjadi Rp11,23 triliun. Penjualan inti sawit dan turunannya juga turun, bahkan lebih dalam, yakni 33,87% dari Rp1,56 triliun menjadi Rp1,03 triliun.
Per kuartal III 2019 ini, aset AALI meningkat 2,96% menjadi Rp27,65 triliun jika dibandingkan akhir tahun lalu. Peningkatan ini sejalan dengan liabilitas yang naik 17,23% secara year to date menjadi Rp8,64 triliun dan ekuitas yang turun 2,45% (year to date) menjadi Rp18,99 triliun.Lalu, bagaimana dengan oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMART), perusahaan sawit andalan Sinar Mas Group? Kondisinya memang tidak jauh berbeda dengan para raksasa lainnya.
Hingga akhir September 2019 lalu, SMART memproduksi 2,03 juta ton TBS, turun 0,1% dibandingkan produksi TBS pada periode yang sama tahun sebelumnya. Produksi CPO pada kuartal III 2019 sebanyak 470.593 ton atau hanya naik 0,04% dari produksi sebelumnya. Intinya, produksi sawit dan CPO dari SMART hingga sembilan bulan pertama pada 2019 sama dengan tahun sebelumnya.
Dampaknya, hasil penjualan SMART pun turun 4,8%, yakni dari Rp27,71 triliun di kuartal III 2018 menjadi 26,38 triliun pada kuartal III 2019. Harga sawit dan CPO yang merosot jadi salah satu penyebab turunnya EBITDA perusahaan menjadi Rp1,54 triliun atau 23,5% dari periode sebelumnya, Rp2,02 Triliun. Dari laporan keuangan yang dipublikasikan juga terlihat adanya penurunan aset dari Rp29.310 triliun menjadi Rp26,616 triliun.
Saat ini, SMART mengelola kebun sawit seluas 137,800 hektare. Sekitar 133.100 hektare merupakan kebun sawit yang sudah berproduksi. Sisanya seluas 4.700 hektare masih berupa tanaman sawit muda. Tingkat produktivitas dari lahan tersebut mencapai 21,38 ton per hektare dan ini masih berada di atas rata-rata industri. Untuk lahan seluas itu, SMART memiliki 16 pabrik kelapa sawit yang mampu memproses TBS menjadi CPO dan inti sawit dengan total kapasitas sebesar 4,2 juta ton per tahun.
CPO yang dihasilkan dijual baik dalam bentuk curah, minyak industri, maupun yang bermerek. SMART juga memiliki pabrik rafinasi dengan kapasitas 2,9 juta ton per tahun. Lalu, adapun pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas 810 ribu ton per tahun memproduksi minyak inti sawit dan bungkil inti sawit. Selain minyak curah dan minyak industri, produk turunan SMART juga dipasarkan dengan beberapa merek, seperti Filma dan Kunci Mas. (Eko Edhi Caroko)
(ysw)