Potret China yang Jorjoran Menyulap Desa Jadi Kota
A
A
A
SEBUAH foto dari daerah terpencil di Tiongkok sempat viral dan mendunia. Foto itu menggambarkan sebuah bangunan yang masih berdiri tegak di tengah tol. Menurut media lokal, pemilik bangunan yang terletak di daerah Wenling tersebut menolak untuk digusur. Namun, karena proyek harus segera rampung, pembuatan jalan tol tetap dilanjutkan dan bangunan tersebut terkepung di seluruh sisinya.
Bangunan itu akhirnya memang dihancurkan. Namun, foto tadi kadung viral dan memberi pandangan pada banyak orang bahwa ternyata tak semua warga di daerah tersebut menerima pembangunan yang begitu cepat.
Ya, dahulu, Wenling yang merupakan salah satu daerah tertinggal di tepi selatan China memang begitu asri dan hijau. Sejauh mata memandang, isinya ladang-ladang pertanian. Bunga-bunga bertaburan. Hewan-hewan seperti kerbau dan sapi sangat mudah ditemukan sedang berendam di sungai-sungai yang mengalirkan air jernih.
Salah satu seniman setempat yang juga seorang novelis dan pembuat film, Xiaolu Guo, sering menggunakan pemandangan ini untuk mencari ilham. Ia mengaku rindu dengan suasana Wenling zaman dahulu. Mulai dari suasana pagi di hamparan kebun teh yang dibalut kabut dan hawa dingin; tarian hutan bambu yang menjadi perantara laut; hingga kemegahan pegunungan yang seakan melindungi menjadi hal-hal yang dirindukan. Tak heran kalau ia menyebut Wenling yang berada di Provinsi Zhejiang, China Selatan itu bak lukisan pemandangan yang hidup.
Namun, sekarang semua sudah berubah. Pohon-pohon ditebang. Jalan tol dibangun dan pegunungan pun jadi korbannya. Desa yang mirip lukisan itu sekarang berubah jadi kota metropolis berukuran sedang yang menampung 1,4 juta jiwa. Wenling resmi mengikuti ratusan desa lainnya yang bertransformasi menjadi kota. Lengkap dengan gedung-gedung pencakar langit -- lengkap dengan sarana transportasi modern.
Apa yang terjadi di sini adalah cerminan dari apa yang dilakukan China secara intensif selama 30 tahun ini. Mereka jorjoran menyulap desa menjadi kota. Pembangunan infrastruktur dinilai menjadi kunci untuk segalanya. Di sektor transportasi, misalnya, mereka membuka akses ke pasar sehingga jadi terintegrasi. Biaya produksi pun, termasuk distribusinya, jadi murah. Hasil besarnya? Daerah-daerah jadi bisa berkontribusi lebih terhadap pertumbuhan.
“Semua ini merupakan program pengentasan kemiskinan nasional. Mereka berhasil mengurangi angka kemiskinan penduduk dan meningkatkan layanan ekonomi serta perbankan,” demikian tertulis dalam rilis resmi yang dikeluarkan Bank Dunia, dalam ringkasan studi kasus berjudul China: Infrastructure, Growth, and Poverty Reduction.
Betul. Infrastruktur menjadi kata kunci suksesnya pembangunan daerah di China. Hebatnya lagi yang melakukannya adalah daerahnya sendiri. Antusiasme ini dinilai terjadi karena adanya turunan program seperti “Food-for-Work” atau “Makanan-untuk-Kerja”. Jadi, bahan pangan gratis bakal disediakan pemerintah pusat bagi desa miskin yang membangun jalan raya. Lalu, pemerintah daerah diharuskan menyediakan dana untuk membayar bahan bangunan dan peralatan lainnya. Menariknya, hal-hal ini sudah mereka lakukan sejak 1984.
Selama tujuh tahun, dari 1994–2000, Pemerintah China menggelontorkan dana 920 juta renminbi untuk membangun jalan raya di 529 kabupaten miskin yang tersebar di 21 provinsi. Di periode itu, 420 ribu km jalan raya dibangun setiap tahun. Pada 2002, total luas jalan raya yang menghubungkan kota-kota baru di China mencapai 1.065 juta km persegi. Dekade 2001–2011, investasi infrastruktur di China naik sepuluh kali lipat dari US$7 miliar menjadi US$74 miliar.
Pembangunan infrastruktur pun diklaim pemerintah menjadi kunci pengentasan kemiskinan. Meminjam laporan McKinsey Global Institute berjudul “Bridging Global Infrastructure Gaps”, pembangunan infrastruktur memiliki tingkat pengembalian sosio-ekonomi sekitar 20%. “Dengan kata lain, satu dolar investasi infrastruktur dapat meningkatkan PDB. Setiap 20 sen yang digunakan untuk investasi infrastruktur, dapat meningkatkan produktivitas dalam jangka panjang,” tulis MGI.
Analisis MGI juga menunjukkan, dalam jangka pendek, pembangunan infrastruktur menciptakan lapangan kerja dengan cepat. Peningkatan investasi infrastruktur sebesar satu poin persentase dari PDB dapat menghasilkan tambahan berupa 3,4 juta pekerjaan langsung dan tidak langsung di India; 1,5 juta di Amerika Serikat; 1,3 juta di Brasil; dan 700 ribu di Indonesia.
“Bahkan investasi infrastruktur dalam jangka panjang dapat menambah 0,6% terhadap pertumbuhan ekonomi global,” sambung analisis MGI.
Periode 1992–2013, China menghabiskan dana 8,6% dari PDB dunia setara US$829 miliar hanya untuk infrastruktur. Padahal, rata-rata negara hanya menghabiskan dana 3,5% dari PDB global. Sementara, negara berkembang, seperti Indonesia, Bangladesh, Malaysia, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam, hanya menghabiskan 3,6% dari PDB global untuk pembangunan infrastruktur dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun. Investasi infrastruktur China mengalahkan anggaran belanja infrastruktur Amerika Utara dan Eropa Barat, meski sekalipun digabung.
Namun, ya itu tadi. Masifnya pembangunan selalu berdampak pada keseimbangan alam. Lewat infrastruktur, pemerintah menjanjikan kesejahteraan. Namun, fakta di lapangan, jarak si kaya dan miskin masih terlihat nyata di pelupuk mata sekalipun.
Sama seperti apa yang ingin disampaikan seniman ternama asal China, Chen Wenling. Lewat karyanya berjudul “Bull Fart Sculpture”, ia berupaya menggambarkan betapa marahnya sapi dengan modernisasi yang sudah menghilangkan semua rumputnya. Sapi itu menyerang manusia dengan tenaga kentutnya. Dalam bahasa Mandarin, kentut dibaca fang pi, yang dalam bahasa gaul berarti menggertak atau berbohong. Di karya ini, Chen pun ingin menunjukkan bahwa “What you see might not be real.” (Wahyu Novianto)
Bangunan itu akhirnya memang dihancurkan. Namun, foto tadi kadung viral dan memberi pandangan pada banyak orang bahwa ternyata tak semua warga di daerah tersebut menerima pembangunan yang begitu cepat.
Ya, dahulu, Wenling yang merupakan salah satu daerah tertinggal di tepi selatan China memang begitu asri dan hijau. Sejauh mata memandang, isinya ladang-ladang pertanian. Bunga-bunga bertaburan. Hewan-hewan seperti kerbau dan sapi sangat mudah ditemukan sedang berendam di sungai-sungai yang mengalirkan air jernih.
Salah satu seniman setempat yang juga seorang novelis dan pembuat film, Xiaolu Guo, sering menggunakan pemandangan ini untuk mencari ilham. Ia mengaku rindu dengan suasana Wenling zaman dahulu. Mulai dari suasana pagi di hamparan kebun teh yang dibalut kabut dan hawa dingin; tarian hutan bambu yang menjadi perantara laut; hingga kemegahan pegunungan yang seakan melindungi menjadi hal-hal yang dirindukan. Tak heran kalau ia menyebut Wenling yang berada di Provinsi Zhejiang, China Selatan itu bak lukisan pemandangan yang hidup.
Namun, sekarang semua sudah berubah. Pohon-pohon ditebang. Jalan tol dibangun dan pegunungan pun jadi korbannya. Desa yang mirip lukisan itu sekarang berubah jadi kota metropolis berukuran sedang yang menampung 1,4 juta jiwa. Wenling resmi mengikuti ratusan desa lainnya yang bertransformasi menjadi kota. Lengkap dengan gedung-gedung pencakar langit -- lengkap dengan sarana transportasi modern.
Apa yang terjadi di sini adalah cerminan dari apa yang dilakukan China secara intensif selama 30 tahun ini. Mereka jorjoran menyulap desa menjadi kota. Pembangunan infrastruktur dinilai menjadi kunci untuk segalanya. Di sektor transportasi, misalnya, mereka membuka akses ke pasar sehingga jadi terintegrasi. Biaya produksi pun, termasuk distribusinya, jadi murah. Hasil besarnya? Daerah-daerah jadi bisa berkontribusi lebih terhadap pertumbuhan.
“Semua ini merupakan program pengentasan kemiskinan nasional. Mereka berhasil mengurangi angka kemiskinan penduduk dan meningkatkan layanan ekonomi serta perbankan,” demikian tertulis dalam rilis resmi yang dikeluarkan Bank Dunia, dalam ringkasan studi kasus berjudul China: Infrastructure, Growth, and Poverty Reduction.
Betul. Infrastruktur menjadi kata kunci suksesnya pembangunan daerah di China. Hebatnya lagi yang melakukannya adalah daerahnya sendiri. Antusiasme ini dinilai terjadi karena adanya turunan program seperti “Food-for-Work” atau “Makanan-untuk-Kerja”. Jadi, bahan pangan gratis bakal disediakan pemerintah pusat bagi desa miskin yang membangun jalan raya. Lalu, pemerintah daerah diharuskan menyediakan dana untuk membayar bahan bangunan dan peralatan lainnya. Menariknya, hal-hal ini sudah mereka lakukan sejak 1984.
Selama tujuh tahun, dari 1994–2000, Pemerintah China menggelontorkan dana 920 juta renminbi untuk membangun jalan raya di 529 kabupaten miskin yang tersebar di 21 provinsi. Di periode itu, 420 ribu km jalan raya dibangun setiap tahun. Pada 2002, total luas jalan raya yang menghubungkan kota-kota baru di China mencapai 1.065 juta km persegi. Dekade 2001–2011, investasi infrastruktur di China naik sepuluh kali lipat dari US$7 miliar menjadi US$74 miliar.
Pembangunan infrastruktur pun diklaim pemerintah menjadi kunci pengentasan kemiskinan. Meminjam laporan McKinsey Global Institute berjudul “Bridging Global Infrastructure Gaps”, pembangunan infrastruktur memiliki tingkat pengembalian sosio-ekonomi sekitar 20%. “Dengan kata lain, satu dolar investasi infrastruktur dapat meningkatkan PDB. Setiap 20 sen yang digunakan untuk investasi infrastruktur, dapat meningkatkan produktivitas dalam jangka panjang,” tulis MGI.
Analisis MGI juga menunjukkan, dalam jangka pendek, pembangunan infrastruktur menciptakan lapangan kerja dengan cepat. Peningkatan investasi infrastruktur sebesar satu poin persentase dari PDB dapat menghasilkan tambahan berupa 3,4 juta pekerjaan langsung dan tidak langsung di India; 1,5 juta di Amerika Serikat; 1,3 juta di Brasil; dan 700 ribu di Indonesia.
“Bahkan investasi infrastruktur dalam jangka panjang dapat menambah 0,6% terhadap pertumbuhan ekonomi global,” sambung analisis MGI.
Periode 1992–2013, China menghabiskan dana 8,6% dari PDB dunia setara US$829 miliar hanya untuk infrastruktur. Padahal, rata-rata negara hanya menghabiskan dana 3,5% dari PDB global. Sementara, negara berkembang, seperti Indonesia, Bangladesh, Malaysia, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam, hanya menghabiskan 3,6% dari PDB global untuk pembangunan infrastruktur dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun. Investasi infrastruktur China mengalahkan anggaran belanja infrastruktur Amerika Utara dan Eropa Barat, meski sekalipun digabung.
Namun, ya itu tadi. Masifnya pembangunan selalu berdampak pada keseimbangan alam. Lewat infrastruktur, pemerintah menjanjikan kesejahteraan. Namun, fakta di lapangan, jarak si kaya dan miskin masih terlihat nyata di pelupuk mata sekalipun.
Sama seperti apa yang ingin disampaikan seniman ternama asal China, Chen Wenling. Lewat karyanya berjudul “Bull Fart Sculpture”, ia berupaya menggambarkan betapa marahnya sapi dengan modernisasi yang sudah menghilangkan semua rumputnya. Sapi itu menyerang manusia dengan tenaga kentutnya. Dalam bahasa Mandarin, kentut dibaca fang pi, yang dalam bahasa gaul berarti menggertak atau berbohong. Di karya ini, Chen pun ingin menunjukkan bahwa “What you see might not be real.” (Wahyu Novianto)
(ysw)