Banyak Mengendap, Pemerintah Cari Upaya Mengefektifkan Dana Daerah
A
A
A
JAKARTA - SRI Mulyani tak bisa menutupi kekesalannya saat rapat kerja dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung DPD, beberapa pekan yang lalu. Dalam rapat mengenai alokasi anggaran transfer ke daerah dan dana desa itu, sang Menteri Keuangan menyatakan banyak daerah yang mengendapkan dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Nilainya, tak tanggung-tanggung, mencapai ratusan triliun rupiah.
Kementerian Keuangan mencatat, sebanyak Rp186 triliun dana TKDD masih mengendap di rekening kas daerah per akhir November tahun lalu. Malahan, dana yang mengendap itu angkanya jauh lebih besar lagi di bulan-bulan sebelumnya. “Bahkan, pada bulan-bulan sebelum Oktober itu, akunnya bisa mencapai di atas Rp200 triliun. Rp220 triliun di rekening daerah,” kata Sri.
Seharusnya, dana TKDD itu bisa dimanfaatkan oleh daerah semaksimal dan seefektif mungkin agar pembangunan daerah bisa bergeliat. Ujungnya, perekonomian daerah bergerak dan kesejahteraan masyarakat meningkat. “Padahal kan setiap rupiah kalau bisa dipakai untuk kesejahteraan, ada manfaatnya,” tambah Sri.
Sayangnya, Sri Mulyani tidak menyebut secara spesifik daerah-daerah mana saja yang mengendapkan dana TKDD. Sri hanya memberi isyarat bahwa kebanyakan di antara mereka merupakan daerah dengan kekayaan sumber daya alam melimpah. Pasalnya, mereka jarang menemui masalah kas daerah hingga dana yang ada menjadi bertumpuk.
Perilaku daerah yang seperti itu tentu saja kontraproduktif dengan strategi pemerintahan Joko Widodo yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran. Strategi itu sendiri merupakan wujud nyata pemerintah dalam melakukan pemerataan pembangunan yang berkeadilan.
Makanya, pemerintah pusat terus mengerek naik jumlah dana TKDD itu setiap tahunnya. Dari catatan Kemenkeu, anggaran TKDD terus naik sejak 2015, yang saat itu “baru” berjumlah Rp623,1 triliun. Tahun lalu dana TKDD sebesar Rp826,7 triliun dengan realisasi sebesar Rp811,3 triliun. Tahun ini, dalam APBN 2020 dana tersebut dianggarkan sebesar Rp856,9 triliun.
Kenaikan anggaran TKDD tentu saja dilakukan untuk memperbaiki kualitas layanan dasar di daerah, seperti akses air minum dan sanitasi layak hingga angka partisipasi murni SMP. Kenaikan ini terlihat seiring dengan perbaikan kualitas output pelayanan dasar daerah. Misalnya, akses sanitasi layak yang rata-rata nasional pada 2018 mencapai 69,27%, naik dibandingkan 2015 yang hanya 62,14%. Sementara itu, bayi di bawah dua tahun atau baduta yang stunting turun secara rata-rata nasional dari 23,08% pada 2015 menjadi 20,07% pada 2018.
Selain itu, tingkat kesenjangan di pedesaan pun menurun yang ditunjukkan oleh semakin rendahnya rasio gini 0,334 pada 2015 menjadi 0,317 pada 2019. Demikian juga kesenjangan fiskal antardaerah.
Sementara, melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik, pemerintah juga sudah berhasil membangun berbagai infrastruktur bagi masyarakat. Selama periode 2017–2018, DAK fisik telah dimanfaatkan untuk peningkatan jalan sepanjang 17,7 ribu kilometer.
Kemudian, penyelesaian pembangunan jembatan 7,8 ribu meter, pembangunan ruang kelas baru sebanyak 14,2 ribu unit, pembangunan laboratorium sekolah sebanyak 4 ribu unit, serta peningkatan dan pembangunan jaringan irigasi sebanyak 373,1 ribu hektare.
Memang, peningkatan anggaran TKDD itu sudah bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah. Toh demikian, pencapaian hasil itu dianggap belum maksimal lantaran penggunaan dana daerah untuk semua kepentingan tadi masih terbilang kecil. Pasalnya, masih banyak daerah yang menggunakan dana tersebut, terutama DAU dan DBH, untuk kepentingan belanja pegawai. Bahkan, ada daerah yang 80% DAU dan DBH yang diterimanya digunakan untuk belanja pegawai.
Seharusnya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 112/PMK.07/2017, pemerintah pusat mewajibkan pemda untuk mengalokasikan minimal 25% DAU untuk pembangunan infrastruktur. Belanja infrastruktur yang dimaksud harus terkait dengan pengurangan kesenjangan layanan publik, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, serta pengurangan pengangguran.
Pemerintah pusat tentu saja terus mencari cara agar penggunaan dana transfer ke daerah menjadi semakin maksimal dan efektif. Pemerintah pusat terus mencari cara agar penggunaan dana tersebut lebih tepat sasaran. “Saya mengharapkan ke Dirjen Perimbangan untuk terus melakukan rencana kepada daerah agar suatu saat nanti DAU final bisa diganti ke dinamis pada saat daerah sudah memiliki kapasitas yang makin baik,” kata Sri Mulyani, beberapa waktu lalu.
Terkait adanya pengendapan dana-dana transfer daerah, pemerintah pusat akan memberi sanksi kepada yang melakukannya. Salah satu hukuman yang akan diberikan adalah dengan memotong jumlah DAU dari jumlah yang dianggarkan sebelumnya.
Selain memotong, pemerintah pusat bisa juga menunda pemberian DAU hingga pemda setempat menggelontorkan dana TKDD yang sudah diberikan. “Ini kami lakukan untuk mendorong supaya daerahdaerah tidak melakukan pengendapan dana,” tutur Astera Primanto Bhakti, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan.
Sebelum sanksi dijatuhkan, sebaiknya memang pemerintah pusat dan daerah melakukan komunikasi terlebih dahulu untuk mengetahui sumber-sumber permasalahan. Ada pandangan bahwa peraturan teknis dari kementerian terkait belum mampu mengakomodasi kemampuan daerah untuk membelanjakan TKDD. Khususnya dari sisi sumber daya aparatur yang memiliki kapasitas untuk mengelola anggaran.
Sementara, terkait penggunaan dana desa, Kementerian Keuangan akan semakin memperketat pengawasannya. Maklum, saat
ini dana desa memang tengah disorot, mulai dari desa fiktif hingga penyalahgunaan dana desa untuk kepentingan oknum perangkat desa.
Salah satu bentuk pengawasan yang bisa dilakukan pemerintah adalah lewat sistem OM SPAN (Online Monitoring Sistem Perbendaharaan Negara) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara. “Ada juga Siskeudes (Sistem Keuangan Desa) oleh BPKP. Ini akan disinergikan dengan OM-SPAN untuk melihat pola pembelanjaan dana desa yang dilakukan daerah, kesesuaian dengan program, dan lainnya bisa langsung kelihatan di situ,” kata Astera Prima.
Kemenkeu juga akan membangun sistem pengaduan (whistleblowing) untuk pengawasan dana desa. Sistem ini juga sudah dimiliki oleh Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri yang juga turut dalam mengawasi penggunaan dana desa. “Jadi, kalau ada tendensi penyalahgunaan, kita tentu akan sikapi dengan perhatian yang penuh,” tutup Prima.
Kementerian Keuangan mencatat, sebanyak Rp186 triliun dana TKDD masih mengendap di rekening kas daerah per akhir November tahun lalu. Malahan, dana yang mengendap itu angkanya jauh lebih besar lagi di bulan-bulan sebelumnya. “Bahkan, pada bulan-bulan sebelum Oktober itu, akunnya bisa mencapai di atas Rp200 triliun. Rp220 triliun di rekening daerah,” kata Sri.
Seharusnya, dana TKDD itu bisa dimanfaatkan oleh daerah semaksimal dan seefektif mungkin agar pembangunan daerah bisa bergeliat. Ujungnya, perekonomian daerah bergerak dan kesejahteraan masyarakat meningkat. “Padahal kan setiap rupiah kalau bisa dipakai untuk kesejahteraan, ada manfaatnya,” tambah Sri.
Sayangnya, Sri Mulyani tidak menyebut secara spesifik daerah-daerah mana saja yang mengendapkan dana TKDD. Sri hanya memberi isyarat bahwa kebanyakan di antara mereka merupakan daerah dengan kekayaan sumber daya alam melimpah. Pasalnya, mereka jarang menemui masalah kas daerah hingga dana yang ada menjadi bertumpuk.
Perilaku daerah yang seperti itu tentu saja kontraproduktif dengan strategi pemerintahan Joko Widodo yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran. Strategi itu sendiri merupakan wujud nyata pemerintah dalam melakukan pemerataan pembangunan yang berkeadilan.
Makanya, pemerintah pusat terus mengerek naik jumlah dana TKDD itu setiap tahunnya. Dari catatan Kemenkeu, anggaran TKDD terus naik sejak 2015, yang saat itu “baru” berjumlah Rp623,1 triliun. Tahun lalu dana TKDD sebesar Rp826,7 triliun dengan realisasi sebesar Rp811,3 triliun. Tahun ini, dalam APBN 2020 dana tersebut dianggarkan sebesar Rp856,9 triliun.
Kenaikan anggaran TKDD tentu saja dilakukan untuk memperbaiki kualitas layanan dasar di daerah, seperti akses air minum dan sanitasi layak hingga angka partisipasi murni SMP. Kenaikan ini terlihat seiring dengan perbaikan kualitas output pelayanan dasar daerah. Misalnya, akses sanitasi layak yang rata-rata nasional pada 2018 mencapai 69,27%, naik dibandingkan 2015 yang hanya 62,14%. Sementara itu, bayi di bawah dua tahun atau baduta yang stunting turun secara rata-rata nasional dari 23,08% pada 2015 menjadi 20,07% pada 2018.
Selain itu, tingkat kesenjangan di pedesaan pun menurun yang ditunjukkan oleh semakin rendahnya rasio gini 0,334 pada 2015 menjadi 0,317 pada 2019. Demikian juga kesenjangan fiskal antardaerah.
Sementara, melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik, pemerintah juga sudah berhasil membangun berbagai infrastruktur bagi masyarakat. Selama periode 2017–2018, DAK fisik telah dimanfaatkan untuk peningkatan jalan sepanjang 17,7 ribu kilometer.
Kemudian, penyelesaian pembangunan jembatan 7,8 ribu meter, pembangunan ruang kelas baru sebanyak 14,2 ribu unit, pembangunan laboratorium sekolah sebanyak 4 ribu unit, serta peningkatan dan pembangunan jaringan irigasi sebanyak 373,1 ribu hektare.
Memang, peningkatan anggaran TKDD itu sudah bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah. Toh demikian, pencapaian hasil itu dianggap belum maksimal lantaran penggunaan dana daerah untuk semua kepentingan tadi masih terbilang kecil. Pasalnya, masih banyak daerah yang menggunakan dana tersebut, terutama DAU dan DBH, untuk kepentingan belanja pegawai. Bahkan, ada daerah yang 80% DAU dan DBH yang diterimanya digunakan untuk belanja pegawai.
Seharusnya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 112/PMK.07/2017, pemerintah pusat mewajibkan pemda untuk mengalokasikan minimal 25% DAU untuk pembangunan infrastruktur. Belanja infrastruktur yang dimaksud harus terkait dengan pengurangan kesenjangan layanan publik, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, serta pengurangan pengangguran.
Pemerintah pusat tentu saja terus mencari cara agar penggunaan dana transfer ke daerah menjadi semakin maksimal dan efektif. Pemerintah pusat terus mencari cara agar penggunaan dana tersebut lebih tepat sasaran. “Saya mengharapkan ke Dirjen Perimbangan untuk terus melakukan rencana kepada daerah agar suatu saat nanti DAU final bisa diganti ke dinamis pada saat daerah sudah memiliki kapasitas yang makin baik,” kata Sri Mulyani, beberapa waktu lalu.
Terkait adanya pengendapan dana-dana transfer daerah, pemerintah pusat akan memberi sanksi kepada yang melakukannya. Salah satu hukuman yang akan diberikan adalah dengan memotong jumlah DAU dari jumlah yang dianggarkan sebelumnya.
Selain memotong, pemerintah pusat bisa juga menunda pemberian DAU hingga pemda setempat menggelontorkan dana TKDD yang sudah diberikan. “Ini kami lakukan untuk mendorong supaya daerahdaerah tidak melakukan pengendapan dana,” tutur Astera Primanto Bhakti, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan.
Sebelum sanksi dijatuhkan, sebaiknya memang pemerintah pusat dan daerah melakukan komunikasi terlebih dahulu untuk mengetahui sumber-sumber permasalahan. Ada pandangan bahwa peraturan teknis dari kementerian terkait belum mampu mengakomodasi kemampuan daerah untuk membelanjakan TKDD. Khususnya dari sisi sumber daya aparatur yang memiliki kapasitas untuk mengelola anggaran.
Sementara, terkait penggunaan dana desa, Kementerian Keuangan akan semakin memperketat pengawasannya. Maklum, saat
ini dana desa memang tengah disorot, mulai dari desa fiktif hingga penyalahgunaan dana desa untuk kepentingan oknum perangkat desa.
Salah satu bentuk pengawasan yang bisa dilakukan pemerintah adalah lewat sistem OM SPAN (Online Monitoring Sistem Perbendaharaan Negara) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara. “Ada juga Siskeudes (Sistem Keuangan Desa) oleh BPKP. Ini akan disinergikan dengan OM-SPAN untuk melihat pola pembelanjaan dana desa yang dilakukan daerah, kesesuaian dengan program, dan lainnya bisa langsung kelihatan di situ,” kata Astera Prima.
Kemenkeu juga akan membangun sistem pengaduan (whistleblowing) untuk pengawasan dana desa. Sistem ini juga sudah dimiliki oleh Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri yang juga turut dalam mengawasi penggunaan dana desa. “Jadi, kalau ada tendensi penyalahgunaan, kita tentu akan sikapi dengan perhatian yang penuh,” tutup Prima.
(ysw)