Harga Minyak Dunia Anjlok, Harga BBM Layak Turun

Selasa, 10 Maret 2020 - 09:45 WIB
Harga Minyak Dunia Anjlok, Harga BBM Layak Turun
Harga Minyak Dunia Anjlok, Harga BBM Layak Turun
A A A
JAKARTA - Produsen dan pemerintah layak menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) ke masyarakat menyusul anjloknya harga minyak mentah (crude) dunia. Penurunan ini tidak hanya untuk BBM nonsubsidi, tetapi juga BBM bersubsidi.

“Penurunan harga minyak dengan rata-rata USD40 per barel harus dibarengi dengan turunnya harga BBM di pasaran oleh badan usaha. Pemerintah harus segera mendorong supaya harga BBM turun,” kata pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, di Jakarta kemarin. Diketahui saat ini ada lima badan usaha yang menjual BBM di Indonesia, yakni Pertamina, Shell, Total, BP, dan Exxon Mobil.

Menurut dia, penurunan harga BBM tidak hanya untuk BBM nonsubsidi. Anjloknya harga minyak dunia, imbuhnya, seharusnya juga dibarengi dengan penurunan harga BBM penugasan premium dan BBM subsidi jenis solar. “Pertamina harus segera menurunkan semua harga BBM baik BBM nonsubsidi, BBM penugasan, maupun harga BBM subsidi,” ujarnya.

Anjloknya harga minyak dunia ini disebabkan kelebihan pasokan lantaran Rusia menolak memangkas produksi sehingga harga minyak dunia semakin menurun. “Anjloknya harga minyak dunia disebabkan kelebihan pasokan. Negara-negara yang tergabung dalam OPEC berupaya menurunkan produksi hingga 1,5 juta barel, tapi negara non-OPEC seperti Rusia menolak menurunkan produksi,” kata Fahmy Radhi.

Hal senada juga dikatakan Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan. Pihaknya juga mendorong agar pemerintah meminta badan usaha menurunkan harga BBM. Penurunan harga BBM, kata dia, diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. “Harapannya dengan kondisi BBM turun akan menggerakkan ekonomi masyarakat,” kata Mamit.

Sebagai informasi, harga minyak mentah terjun bebas ke level terendah setelah Arab Saudi memangkas harga jual serta berencana menggenjot produksi minyaknya. Langkah itu diambil setelah Rusia menolak mengurangi produksi.

Padahal, rencana itu dapat menstabilkan harga minyak di tengah lesunya perekonomian global karena wabah korona. Harga minyak brent turun di level USD35,97 per barel, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) anjlok ke level USD32,82 per barel, bahkan merosot tajam di bawah USD30 per barel.

Terkait desakan penurunan harga BBM ini, Direktur Utama PT Pertamina (persero) Nicke Widyawati menyerahkan sepenuhnya kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Bukan di Pertamina harga itu berada, di pemerintah,” ujar Nicke di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin.

Nicke tidak mau mengomentari terlalu banyak soal desakan penurunan harga ini. Namun, dia sangat antusias untuk mengimpor crude sebanyak-banyaknya. “Di hilir ini kan bagus, karena kita akan beli banyak. Mumpung harga masih rendah,” ujar Nicke.

Menurut dia, impor minyak mentah tersebut nantinya akan diolah di kilang untuk dijadikan produk BBM. Meski begitu, pihaknya tidak menyebut berapa banyak minyak mentah yang akan diimpor di tengah anjloknya harga minyak tersebut. “Sekarang kan yang lagi turun crude. Nanti akan diolah di kilang Pertamina,” kata dia.

Hal senada juga dikatakan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial. Ego mendorong supaya Pertamina melakukan impor minyak mentah sebanyak-banyaknya. “Kalau harga minyak dunia anjlok, kita menikmati dong. Pertamina bisa beli crude sebanyak-banyaknya,” kata dia.

Berdasarkan Laporan Fungsi Keuangan Pertamina, impor crude pada 2019 mencapai 87 juta barel atau senilai USD5,7 miliar, sedangkan total produk BBM pada 2019 sebanyak 128,4 juta barel atau senilai USD8,8 miliar.

Pertamina Amankan Bisnis Hulu Migas

Di sisi lain, Pertamina menyiapkan antisipasi supaya merosotnya harga minyak dunia tidak mengganggu kinerja sektor hulu minyak dan gas bumi (migas). Sejumlah upaya dilakukan antara lain dengan melakukan efisiensi dan optimasi produksi.

“Dalam kondisi harga minyak turun, kita harus lebih efisien dan melakukan optimasi. Itu yang penting,” ujar Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu di Kementerian ESDM kemarin.

Selain itu, imbuhnya, juga perlu diterapkan strategi lain seperti pengadaan terpadu dan optimalisasi logistik supaya biaya produksi bisa turun. Pasalnya, ketika harga minyak anjlok maka biaya produksi akan lebih tinggi.

“Jadi semakin harga minyak turun, cost akan semakin naik. Tapi kita melihatnya masih sementara, dan kita antisipasi melalui optimalisasi logistik dan sebagainya,” kata dia.

Dharmawan mengatakan rata-rata biaya produksi hulu migas di darat (onshore) saat ini masih normal sekitar USD9–10 per barel, sedangkan biaya produksi di laut dalam (offshore) rata-rata mencapai USD20 per barel.

“Jadi yang penting, kita kencangkan ikat pinggang karena harga minyak tidak bisa diprediksi. Tapi langkah-langkah strategi untuk mempertahankan produksi, kita siapkan,” ujar dia.

Dia mengungkapkan sampai saat ini belum ada revisi investasi di sektor hulu migas di tengah merosotnya harga minyak dunia. Pihaknya tetap menargetkan pengeboran sebanyak 411 sumur tahun ini. “Jadi saya kira masih sama, belum ada evaluasi,” jelasnya.

Hal senada juga dikatakan Nicke. Untuk mengantisipasi anjloknya harga minyak dunia, sektor bisnis hulu migas Pertamina harus melakukan efisiensi. Pasalnya, turunnya harga minyak secara signifikan akan berpengaruh terhadap bisnis hulu migas. “Antisipasi kita memang utamanya di hulu, karena keekonomian jadi masalah,” kata dia. (Nanang Wijayanto)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.4609 seconds (0.1#10.140)