Pekerja Industri Kreatif Butuh Aturan Ketenagakerjaan Lebih Luwes
A
A
A
JAKARTA - Industri kreatif menjadi salah satu primadona baru dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Selain menyumbang devisa, sektor industri ini kini tumbuh menjadi andalan baru bagi para pekerja yang mengandalkan nilai kreativitas.
Sayang aturan regulasi sektor ini masih kaku, belum mengakomodir keluwesan dalam bekerja pada sektor yang banyak dimotori para anak muda ini. Demikian kesimpulan dari seminar terbuka bertema “RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan Prospeknya Bagi Content Creator dan Pekerja Sektor Kreatif” yang berlangsung di Jakarta.
Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Tenaga Kerja, Agatha Widianawati yang menjadi salah satu pembicara mengemukakan, revisi UU Tenaga Kerja dengan Omnibus Law Cipta Kerja justru akan menutupi banyak celah untuk kepentingan mereka yang bekerja di sektor kreatif. Dicontohkan seperti fleksibilitas waktu kerja, yang tidak perlu harus mingguan tetapi dalam jam.
Selain itu dia juga menyebutkan, RUU tersebut memberikan adanya proteksi bagi mereka yang bekerja sebagai tenaga paruh waktu yang banyak dituntut sektor kreatif jika terjadi kecelakaan kerja. "Bahkan, dalam RUU tersebut juga disebutkan adanya kompensasi bagi karyawan kontrak, jika mereka selesai masa kontraknya dan belum mendapatkan pekerjaan lagi," kata Agatha.
Sementara, Edy Budsyarso, seorang content creator mengakui bahwa sekarang trend anak muda sekarang tidak ingin bekerja di satu tempat tertentu dalam waktu lama, pekerjaan yang sama atau dengan orang-orang yang sama. "Mereka ingin lebih banyak kebebasan menyelesaikan pekerjaan di mana saja, terlibat dalam proyek yang berbeda atau bertemu dengan orang-orang yang berbeda pula," kata Edy yang juga pernah bekerja sebagai freelancer.
Menurut Edy, pada kelompok anak muda seperti itu, yang banyak terdapat di sektor kreatif, memang aturan ketenagakerjaan yang lama dianggap kurang luwes untuk mengakomodir berbagai kebutuhan dan keinginan mereka tersebut.
Sementara dari perspektif yang berbeda, praktisi komunikasi Rahmat Edi Irawan lebih menyoroti proses komunikasi yang memang beum tuntas dilakukan semua stakeholder ketenagakerjaan di Indonesia menyangkut rencana pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini di DPR. Akibatnya, pemahaman terhadap RUU ini masih sepotong-potong, tidak utuh dan tidak clear.
"Ada hal positif dari isi RUU ini yang justru tidak terlihat atau kurang mengemuka karena masing-masing pihak belum melakukan dialog yang tuntas," kata pria yang akrab disapa REI ini.
Rahmat menyatakan, ada baiknya semua pihak tidak membangun tembok ketika akan berdialog untuk merumuskan hal terbaik untuk RUU Cipa Kerja ini, karena justru pada saat ini RUU ini memerlukan masukan kritis dari berbagai stake holder ketenagakerjaan, termasuk mereka yang bergerak di sektor kreatif.
Sayang aturan regulasi sektor ini masih kaku, belum mengakomodir keluwesan dalam bekerja pada sektor yang banyak dimotori para anak muda ini. Demikian kesimpulan dari seminar terbuka bertema “RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan Prospeknya Bagi Content Creator dan Pekerja Sektor Kreatif” yang berlangsung di Jakarta.
Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Tenaga Kerja, Agatha Widianawati yang menjadi salah satu pembicara mengemukakan, revisi UU Tenaga Kerja dengan Omnibus Law Cipta Kerja justru akan menutupi banyak celah untuk kepentingan mereka yang bekerja di sektor kreatif. Dicontohkan seperti fleksibilitas waktu kerja, yang tidak perlu harus mingguan tetapi dalam jam.
Selain itu dia juga menyebutkan, RUU tersebut memberikan adanya proteksi bagi mereka yang bekerja sebagai tenaga paruh waktu yang banyak dituntut sektor kreatif jika terjadi kecelakaan kerja. "Bahkan, dalam RUU tersebut juga disebutkan adanya kompensasi bagi karyawan kontrak, jika mereka selesai masa kontraknya dan belum mendapatkan pekerjaan lagi," kata Agatha.
Sementara, Edy Budsyarso, seorang content creator mengakui bahwa sekarang trend anak muda sekarang tidak ingin bekerja di satu tempat tertentu dalam waktu lama, pekerjaan yang sama atau dengan orang-orang yang sama. "Mereka ingin lebih banyak kebebasan menyelesaikan pekerjaan di mana saja, terlibat dalam proyek yang berbeda atau bertemu dengan orang-orang yang berbeda pula," kata Edy yang juga pernah bekerja sebagai freelancer.
Menurut Edy, pada kelompok anak muda seperti itu, yang banyak terdapat di sektor kreatif, memang aturan ketenagakerjaan yang lama dianggap kurang luwes untuk mengakomodir berbagai kebutuhan dan keinginan mereka tersebut.
Sementara dari perspektif yang berbeda, praktisi komunikasi Rahmat Edi Irawan lebih menyoroti proses komunikasi yang memang beum tuntas dilakukan semua stakeholder ketenagakerjaan di Indonesia menyangkut rencana pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini di DPR. Akibatnya, pemahaman terhadap RUU ini masih sepotong-potong, tidak utuh dan tidak clear.
"Ada hal positif dari isi RUU ini yang justru tidak terlihat atau kurang mengemuka karena masing-masing pihak belum melakukan dialog yang tuntas," kata pria yang akrab disapa REI ini.
Rahmat menyatakan, ada baiknya semua pihak tidak membangun tembok ketika akan berdialog untuk merumuskan hal terbaik untuk RUU Cipa Kerja ini, karena justru pada saat ini RUU ini memerlukan masukan kritis dari berbagai stake holder ketenagakerjaan, termasuk mereka yang bergerak di sektor kreatif.
(akr)