KPPU Tetap Awasi Persaingan Pelaku Usaha Bapok Saat Pandemi Corona
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan tetap mengawasi persaingan terhadap pelaku usaha meski DKI Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Secara khusus, pengawasan itu mencakup komoditas bahan pokok (bapok) yang meliputi gula, beras, daging sapi dan ayam, telur, dan sebagainya.
Anggota KPPU Guntur S Saragih menyampaikan, pihaknya telah melakukan berbagai kegiatan pengumpulan data terkait bahan pokok tersebut. Dalam masa darurat Covid-19 saat ini, ketersediaan bahan pokok dan alat kesehatan dalam harga yang wajar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat krusial.
"Lonjakan harga yang sangat tinggi merupakan pintu masuk bagi upaya penegakan hukum kami. Karena itu, data terkait harga dan pasokan bahan pokok kepada pemerintah dan berbagai pihak sudah dikumpulkan," jelas Guntur lewat keterangan tertulisnya, Rabu (8/4).
Dia melanjutkan, KPPU telah berkoordinasi dalam hal data dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Sekretariat Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok, Badan Pusat Statistik, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, pihaknya juga melakukan pengumpulan data kepada 250 pelaku usaha di berbagai bahan pokok tersebut.
Guntur menyebutkan, gula menjadi prioritas utama yang ditangani KPPU saat ini. Setelah melalui kajian internal, ternyata ditemukan persoalan terkait mahalnya harga gula di masyarakat. Bahkan di pasar, pelaku usaha ritel melakukan pembatasan jumlah pembelian gula oleh konsumen.
"Kalau bahan pokok lain belum menunjukkan lonjakan harga yang sangat tinggi (excessive). Lonjakan dapat terjadi karena permasalahan data produksi nasional yang kurang tepat, hambatan logistik di masa wabah Covid-19, dan perilaku pelaku usaha sendiri," ujar dia.
Sambung Guntur menjelaskan, kebutuhan gula nasional hingga Lebaran tahun ini dapat mencapai 1,14 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 650 ribu ton dipenuhi stok akhir tahun lalu. Adapun sisanya sekitar 500 ribu ton diperoleh dari impor.
Untuk itu, waktu pengeluaran surat persetujuan impor menjadi penting dalam mempengaruhi harga di pasar. Kementerian Perdagangan pada 3 Maret 2020 telah mengeluarkan Surat Perizinan Impor (SPI) sebesar 438,8 ribu ton untuk gula kristal merah yang digunakan sebagai bahan baku gula kristal putih untuk konsumsi.
"Seharusnya jumlah kuota impor gula cukup. Tapi karena pengeluarannya agak terlambat, baru sedikit yang terealisasikan. Sebaiknya pemerintah mengeluarkan izin tersebut lebih awal, karena besaran kebutuhan telah diketahui sejak awal tahun," cetus Guntur.
Menurut pantaunnya, kekurangan pasokan ini mengakibatkan harga gula pasir di seluruh provinsi berada di atas harga eceran tertinggi di tingkat konsumen sejak 24 Maret 2020. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga gula berada di kisaran Rp18.000/kg di pasar tradisional, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi di tingkat konsumen yang berada pada harga Rp12.500/kg.
Anggota KPPU Guntur S Saragih menyampaikan, pihaknya telah melakukan berbagai kegiatan pengumpulan data terkait bahan pokok tersebut. Dalam masa darurat Covid-19 saat ini, ketersediaan bahan pokok dan alat kesehatan dalam harga yang wajar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat krusial.
"Lonjakan harga yang sangat tinggi merupakan pintu masuk bagi upaya penegakan hukum kami. Karena itu, data terkait harga dan pasokan bahan pokok kepada pemerintah dan berbagai pihak sudah dikumpulkan," jelas Guntur lewat keterangan tertulisnya, Rabu (8/4).
Dia melanjutkan, KPPU telah berkoordinasi dalam hal data dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Sekretariat Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok, Badan Pusat Statistik, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, pihaknya juga melakukan pengumpulan data kepada 250 pelaku usaha di berbagai bahan pokok tersebut.
Guntur menyebutkan, gula menjadi prioritas utama yang ditangani KPPU saat ini. Setelah melalui kajian internal, ternyata ditemukan persoalan terkait mahalnya harga gula di masyarakat. Bahkan di pasar, pelaku usaha ritel melakukan pembatasan jumlah pembelian gula oleh konsumen.
"Kalau bahan pokok lain belum menunjukkan lonjakan harga yang sangat tinggi (excessive). Lonjakan dapat terjadi karena permasalahan data produksi nasional yang kurang tepat, hambatan logistik di masa wabah Covid-19, dan perilaku pelaku usaha sendiri," ujar dia.
Sambung Guntur menjelaskan, kebutuhan gula nasional hingga Lebaran tahun ini dapat mencapai 1,14 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 650 ribu ton dipenuhi stok akhir tahun lalu. Adapun sisanya sekitar 500 ribu ton diperoleh dari impor.
Untuk itu, waktu pengeluaran surat persetujuan impor menjadi penting dalam mempengaruhi harga di pasar. Kementerian Perdagangan pada 3 Maret 2020 telah mengeluarkan Surat Perizinan Impor (SPI) sebesar 438,8 ribu ton untuk gula kristal merah yang digunakan sebagai bahan baku gula kristal putih untuk konsumsi.
"Seharusnya jumlah kuota impor gula cukup. Tapi karena pengeluarannya agak terlambat, baru sedikit yang terealisasikan. Sebaiknya pemerintah mengeluarkan izin tersebut lebih awal, karena besaran kebutuhan telah diketahui sejak awal tahun," cetus Guntur.
Menurut pantaunnya, kekurangan pasokan ini mengakibatkan harga gula pasir di seluruh provinsi berada di atas harga eceran tertinggi di tingkat konsumen sejak 24 Maret 2020. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga gula berada di kisaran Rp18.000/kg di pasar tradisional, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi di tingkat konsumen yang berada pada harga Rp12.500/kg.
(akr)