Beban obligasi rekap berkurang

Sabtu, 30 Juni 2012 - 10:12 WIB
Beban obligasi rekap berkurang
Beban obligasi rekap berkurang
A A A
Sindonews.com – Pemerintah memastikan beban bunga obligasi rekap semakin menurun pada masa mendatang, seiring dengan berkurangnya obligasi rekap dengan tingkat bunga tetap atau fixed rate (FR).

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengungkapkan, beban bunga obligasi rekap yang harus dibayar pemerintah pada 2012 mencapai Rp11,03 triliun, atau hanya 15 persen dari total bunga utang surat berharga negara (SBN) domestik 2012 yang mencapai Rp73,32 triliun.

“Beban bunga obligasi rekap tinggal 15 persen dari total SBN. Pada tahun 2011, jumlahnya Rp13,19 triliun atau 20 persen dari total SBN, 2012 sebesar Rp11,03 triliun atau 15 persen, dan 2013 sudah semakin kecil sekitar Rp8,23 triliun atau 11 persen,” tutur Rahmat saat berdiskusi dengan wartawan, kemarin di Jakarta.

Rahmat menambahkan, saat ini saldo obligasi rekap mencapai Rp162 triliun. Saldo ini terdiri atas 17 persen obligasi rekap FR sebesar Rp26,9 triliun, sementara 83 persen sisanya adalah obligasi rekap dengan tingkat bunga bergerak atau variable rate (VR) sebesar Rp135,1 triliun. Dia menjelaskan, tingkat bunga obligasi rekap sangat bervariasi.Bila tingkat bunga obligasi rekap FR ditetapkan sebesar 13,175–14,275 persen, obligasi rekap VR disesuaikan dengan hasil lelang Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan, yang saat ini berkisar 2,2–3,3 persen.

Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Utang Bhimantara Widyajala mengungkapkan, obligasi rekap FR akan habis pada 2013 sesuai jatuh temponya sementara masa jatuh tempo VR baru habis pada 2020.Habisnya masa jatuh tempo obligasi rekap FR akan sangat membantu,karena pemerintah tidak harus membayar tingkat bunga yang sangat tinggi. “Ke depan, fix rate-nya sudah hilang semua dan sisanya VR yang bunganya di bawah 4 persen. Kalau dari sisi bunga, obligasi rekap bunganya terus menurun,”jelas Bhimantara.

Seperti diketahui, obligasi rekap diterbitkan pemerintah saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1997/1998 sebagai upaya memperkuat permodalan perbankan nasional yang terkena krisis. Saat itu, pemerintah meminta Bank Indonesia (BI) menyuntikkan dana kepada bank yang membutuhkan dana.Namun karena BI tidak bisa menyuntikkan dana secara langsung, pemerintah diminta menerbitkan obligasi negara. BI kemudian menyerahkan uang sebesar nilai obligasi negara kepada pemerintah.

Selama kurun waktu 1999–2001, pemerintah telah menerbitkan obligasi sebesar Rp422,6 triliun di mana ada 24 bank yang menerima obligasi, yang terdiri atas tujuh bank swasta, 12 bank pembangunan daerah (BPD), 6 bank swasta take over, serta 4 bank BUMN. Kebijakan obligasi rekap tersebut kerap dipertanyakan. Dalam sebulan terakhir,DPR bahkan berwacana untuk meminta pemerintah menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap karena dianggap merugikan negara.

Menyusul wacana DPR tersebut,Rahmat menegaskan bahwa pemerintah tidak mungkin membatalkan obligasi rekap, termasuk pembayaran bunganya. Anggota Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terpilih tersebut mengatakan, pembatalan obligasi rekap menimbulkan konsekuensi berat. Konsekuensi tersebut di antaranya menurunkan peringkat pemerintah, terganggunya pembiayaan APBN melalui SBN,berkurangnya kepercayaan pelaku pasar, serta meningkatnya biaya utang nasional baik pemerintah maupun swasta.

“Kalau dibatalkan itu namanya default. Kalau pemerintah default di surat utang negara (SUN) maka pasar akan menganggap global bond dan sukuk global pun dinyatakan default. Kalau kita sudah mengalami cross default maka nggak ada lagi investor yang percaya, ”tandasnya.
(and)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6619 seconds (0.1#10.140)