Krisis Eropa dan AS ancam tekstil Yogyakarta
A
A
A
Sindonews.com - Eksistensi industri dan kerajinan pertekstilan di Yogyakarta terancam dengan kondisi pasar dunia. Krisis ekonomi di Eropa dan Amerika membuat produk tekstil sulit masuk. Sementara di dalam negeri juga dibanjiri produk dari China.
Ketua Badan Pengurus Daerah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Yogyakarta, Djadin C Djamaludin mengatakan, tekstil selama ini menjadi produk ekspor andalan dari Yogyakarta. Produk garmen ini banyak terserap di pasar Eropa dan Amerika.
“Pasar tekstil kita tergantung Amerika dan eropa,” jelas Djadin di Yogyakarta, Selasa (19/2/2013).
Krisis ekonomi yang melanda kedua benua ini, membuat industri tekstil lesu, pasar ekspor mengalami penurunan yang cukup drastis. Para perajin juga banyak dibebani dengan biaya tambahan.
Jika selama ini sample dan proses pengecekan ditanggung mereka, kini berbalik. Menurutnya, beban yang dihadapi API, bukan hanya pada sisi penjualan produk saja, namun juga bagaimana bisa melindungi para perajin lokal. Seperti tukang jahit, border dan industri terkait, juga akan terkena imbas.
Djadin mengaku sulit untuk masuk dan membidik pasar domestik menyusul banyaknya produk tekstil asal China dengan harga yang jauh lebih murah. Praktis konsumen lebih memilih membeli produk yang murah meskipun kualitasnya rendah. “Perlu adanya regulasi untuk melindungi pasar lokal, seperti pembatasan impor,” tuturnya.
Djadin pesimistis pasar tekstil akan bangkit dalam dua tiga tahun mendatang. Apalagi, pada 2013 ini gejolak politik sudah mulai terasa. Puncaknya akan terjadi pada 2014 nanti dengan digelarnya pemilu dan pilpres.
Ketua Badan Pengurus Daerah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Yogyakarta, Djadin C Djamaludin mengatakan, tekstil selama ini menjadi produk ekspor andalan dari Yogyakarta. Produk garmen ini banyak terserap di pasar Eropa dan Amerika.
“Pasar tekstil kita tergantung Amerika dan eropa,” jelas Djadin di Yogyakarta, Selasa (19/2/2013).
Krisis ekonomi yang melanda kedua benua ini, membuat industri tekstil lesu, pasar ekspor mengalami penurunan yang cukup drastis. Para perajin juga banyak dibebani dengan biaya tambahan.
Jika selama ini sample dan proses pengecekan ditanggung mereka, kini berbalik. Menurutnya, beban yang dihadapi API, bukan hanya pada sisi penjualan produk saja, namun juga bagaimana bisa melindungi para perajin lokal. Seperti tukang jahit, border dan industri terkait, juga akan terkena imbas.
Djadin mengaku sulit untuk masuk dan membidik pasar domestik menyusul banyaknya produk tekstil asal China dengan harga yang jauh lebih murah. Praktis konsumen lebih memilih membeli produk yang murah meskipun kualitasnya rendah. “Perlu adanya regulasi untuk melindungi pasar lokal, seperti pembatasan impor,” tuturnya.
Djadin pesimistis pasar tekstil akan bangkit dalam dua tiga tahun mendatang. Apalagi, pada 2013 ini gejolak politik sudah mulai terasa. Puncaknya akan terjadi pada 2014 nanti dengan digelarnya pemilu dan pilpres.
(gpr)