Ini yang menekan neraca perdagangan migas
A
A
A
Sindonews.com - Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Bayu Krisnamurthi menyebut, dari sisi perdagangan terdapat tiga hal yang menekan neraca perdagangan minyak dan gas bumi (migas).
"Tekanan terhadap neracanya (migas) ada tiga. Kami hanya bicara pada level perdagangan, bagaimana policy-nya kita serahkan ke (Kementerian) ESDM," kata Bayu Krisnamurthi dalam konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (4/3/2013).
Pertama, Bayu menyatakan, bahwa asumsi harga minyak bumi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 yang berada di bawah harga minyak saat ini sebagai pendorong utama terjadinya defisit neraca perdagangan migas. "Pertama, asumsi harga minyak berada pada USD90-100 per barel. Sekarang sudah USD110-115 per barel. Jadi sudah naik 15 persen," ujarnya.
Kedua, lanjut dia, asumsi kurs rupiah terhadap USD yang terlalu rendah dalam APBN 2013 juga membuat nilai impor minyak semakin tak terkendali. Akibatnya, nilai impor migas menjadi di luar perkiraan. "(Asumsi) kurs masih berada di kisaran Rp9.500 sampai Rp9.600 (per USD), sekarang sudah Rp9.600 sampai Rp9.700," tambahnya.
Ketiga, kuota BBM subsidi sebesar 48 juta kiloliter (KL) diperkirakan akan jebol hingga 50 juta KL. Tentu saja impor minyak akan semakin banyak jika hal ini sampai menjadi kenyataan. "Kemudian konsumsi BBM, kalau tidak melakukan penghematan, diperkirakan dari alokasi 48 juta KL, bisa 50 juta KL konsumsinya," pungkas Bayu.
Mengenai ini, Kemendag menyerahkan segala keputusan kebijakan pada Kementerian ESDM. Kemendag meminta hal ini agar segera mendapat perhatian. "Dari tiga sisi ini, tekanan neraca migas masih cukup berat kalau policy masih seperti sekarang. Tentu Kemendag akan menyerahkan sepenuhnya pada otoritas (ESDM)," tutur Wamendag.
Sebagai informasi, ekspor non migas Indonesia pada 2012 mengalami surplus hingga USD3,9 miliar. Namun, ekspor migas defisit USD5,6 miliar. Akibatnya, neraca perdagangan tercatat defisit USD1,6 miliar. "Pada 2013, kita optimis non migas masih surplus mendekati USD5 miliar. Tapi migas masih akan mengalami tekanan yang berat," pungkas Bayu.
"Tekanan terhadap neracanya (migas) ada tiga. Kami hanya bicara pada level perdagangan, bagaimana policy-nya kita serahkan ke (Kementerian) ESDM," kata Bayu Krisnamurthi dalam konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (4/3/2013).
Pertama, Bayu menyatakan, bahwa asumsi harga minyak bumi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 yang berada di bawah harga minyak saat ini sebagai pendorong utama terjadinya defisit neraca perdagangan migas. "Pertama, asumsi harga minyak berada pada USD90-100 per barel. Sekarang sudah USD110-115 per barel. Jadi sudah naik 15 persen," ujarnya.
Kedua, lanjut dia, asumsi kurs rupiah terhadap USD yang terlalu rendah dalam APBN 2013 juga membuat nilai impor minyak semakin tak terkendali. Akibatnya, nilai impor migas menjadi di luar perkiraan. "(Asumsi) kurs masih berada di kisaran Rp9.500 sampai Rp9.600 (per USD), sekarang sudah Rp9.600 sampai Rp9.700," tambahnya.
Ketiga, kuota BBM subsidi sebesar 48 juta kiloliter (KL) diperkirakan akan jebol hingga 50 juta KL. Tentu saja impor minyak akan semakin banyak jika hal ini sampai menjadi kenyataan. "Kemudian konsumsi BBM, kalau tidak melakukan penghematan, diperkirakan dari alokasi 48 juta KL, bisa 50 juta KL konsumsinya," pungkas Bayu.
Mengenai ini, Kemendag menyerahkan segala keputusan kebijakan pada Kementerian ESDM. Kemendag meminta hal ini agar segera mendapat perhatian. "Dari tiga sisi ini, tekanan neraca migas masih cukup berat kalau policy masih seperti sekarang. Tentu Kemendag akan menyerahkan sepenuhnya pada otoritas (ESDM)," tutur Wamendag.
Sebagai informasi, ekspor non migas Indonesia pada 2012 mengalami surplus hingga USD3,9 miliar. Namun, ekspor migas defisit USD5,6 miliar. Akibatnya, neraca perdagangan tercatat defisit USD1,6 miliar. "Pada 2013, kita optimis non migas masih surplus mendekati USD5 miliar. Tapi migas masih akan mengalami tekanan yang berat," pungkas Bayu.
(izz)