Pembangunan rumah murah terkendala birokrasi dan lahan
A
A
A
Sindonews.com - Kebutuhan rumah murah di Jakarta sangat mendesak, namun pengusaha properti terkendala terbatasnya lahan serta ribetnya birokrasi yang berlaku di Ibukota. Sehingga rumah murah di Jakarta sangat sulit diwujudkan.
Sekjen DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Anton Radiumanto Santoso mengatakan, kebutuhan terhadap rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terus meningkat setiap tahun.
Saat ini, secara nasional backlog hunian bagi MBR sangat tinggi mencapai 13,6 juta unit, dan setiap tahun dibutuhkan 800 ribu unit hunian. Namun, yang dapat dipenuhi saat ini hanya sekitar 500 ribu unit. Untuk DKI Jakarta sendiri, kebutuhan 100 ribu unit per tahun.
Ketersediaan lahan dan masalah perizinan, merupakan beberapa faktor penghambat pembangunan hunian murah di DKI oleh pengusaha properti. Untuk membangun hunian murah, seperti rumah susun hak milik (rusunami) di wilayah Jakarta diperlukan anggaran sebesar Rp1,5 juta per meter dengan luas lahan minimal 10.000 meter persegi atau satu hektare.
Dengan harga tanah setinggi itu, anggota Apersi sulit membangun hunian di Ibukota. "Kalau beli lahan jelas tidak mungkin. Kalaupun ada yang berani, jelas harganya tidak akan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah," katanya di Kantor DPD Apersi DKI Jakarta, Jakarta, Selasa (11/6/2013).
Selain harga tanah yang terbilang mahal, birokrasi perizinan untuk membangun rusunami atau hunian murah lainnya tidak jauh berbeda dengan membangun hunian mewah. Hal itu membuat para pengembang memilih membangun hunian seperti apartemen atau perumahan mewah yang lebih menguntungkan.
"Dalam hal perizinan, tidak ada dispensasi antara hunian mewah dan murah. Jelas banyak pengembang memilih membangun apartemen," tegasnya.
Untuk itu, pihaknya berharap adanya terobosan dalam menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dikatakan Apersi terbuka untuk bekerja sama dengan Pemprov DKI agar dapat mengupayakan penyediaan lahan milik aset Pemda yang dapat digunakan membangun hunian murah.
Anton yang akan maju bertarung dalam pemilihan Ketua Apersi periode 2013-2016 dalam Munas ke IV Apersi mendatang ini berharap, pihaknya dapat bertemu dengan Pemprov DKI untuk membicarakan penyediaan lahan pembangunan hunian murah ini.
"Kami minta waktu menghadap Gubernur Jokowi belum dapat waktunya. Apersi tetap ingin program Pemprov menyediakan hunian bagi pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah menjadi program Apersi. Kami ingin bekerja sama dengan Pemprov DKI," jelas dia.
Anton menuturkan, sebagian besar anggota Apersi yang mencapai sekitar 2.050 pengembang, memang fokus terhadap penyediaan hunian bagi MBR. Pihaknya akan terus membuka ruang komunikasi dengan Pemprov DKI agar dapat menyiasati berbagai kendala dalam penyediaan
hunian murah di Ibukota.
Para pengembang lebih tertarik membangun hunian murah di daerah penyangga Ibukota seperti Depok, Tangerang, Bogor, atau Bekasi yang harga tanahnya masih jauh lebih murah dibanding Jakarta.
"Pasti kita mencari yang lebih murah, kami berharap birokrasi di Jakarta juga bisa lebih bersahabat," pungkas Anton.
Sekjen DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Anton Radiumanto Santoso mengatakan, kebutuhan terhadap rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terus meningkat setiap tahun.
Saat ini, secara nasional backlog hunian bagi MBR sangat tinggi mencapai 13,6 juta unit, dan setiap tahun dibutuhkan 800 ribu unit hunian. Namun, yang dapat dipenuhi saat ini hanya sekitar 500 ribu unit. Untuk DKI Jakarta sendiri, kebutuhan 100 ribu unit per tahun.
Ketersediaan lahan dan masalah perizinan, merupakan beberapa faktor penghambat pembangunan hunian murah di DKI oleh pengusaha properti. Untuk membangun hunian murah, seperti rumah susun hak milik (rusunami) di wilayah Jakarta diperlukan anggaran sebesar Rp1,5 juta per meter dengan luas lahan minimal 10.000 meter persegi atau satu hektare.
Dengan harga tanah setinggi itu, anggota Apersi sulit membangun hunian di Ibukota. "Kalau beli lahan jelas tidak mungkin. Kalaupun ada yang berani, jelas harganya tidak akan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah," katanya di Kantor DPD Apersi DKI Jakarta, Jakarta, Selasa (11/6/2013).
Selain harga tanah yang terbilang mahal, birokrasi perizinan untuk membangun rusunami atau hunian murah lainnya tidak jauh berbeda dengan membangun hunian mewah. Hal itu membuat para pengembang memilih membangun hunian seperti apartemen atau perumahan mewah yang lebih menguntungkan.
"Dalam hal perizinan, tidak ada dispensasi antara hunian mewah dan murah. Jelas banyak pengembang memilih membangun apartemen," tegasnya.
Untuk itu, pihaknya berharap adanya terobosan dalam menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dikatakan Apersi terbuka untuk bekerja sama dengan Pemprov DKI agar dapat mengupayakan penyediaan lahan milik aset Pemda yang dapat digunakan membangun hunian murah.
Anton yang akan maju bertarung dalam pemilihan Ketua Apersi periode 2013-2016 dalam Munas ke IV Apersi mendatang ini berharap, pihaknya dapat bertemu dengan Pemprov DKI untuk membicarakan penyediaan lahan pembangunan hunian murah ini.
"Kami minta waktu menghadap Gubernur Jokowi belum dapat waktunya. Apersi tetap ingin program Pemprov menyediakan hunian bagi pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah menjadi program Apersi. Kami ingin bekerja sama dengan Pemprov DKI," jelas dia.
Anton menuturkan, sebagian besar anggota Apersi yang mencapai sekitar 2.050 pengembang, memang fokus terhadap penyediaan hunian bagi MBR. Pihaknya akan terus membuka ruang komunikasi dengan Pemprov DKI agar dapat menyiasati berbagai kendala dalam penyediaan
hunian murah di Ibukota.
Para pengembang lebih tertarik membangun hunian murah di daerah penyangga Ibukota seperti Depok, Tangerang, Bogor, atau Bekasi yang harga tanahnya masih jauh lebih murah dibanding Jakarta.
"Pasti kita mencari yang lebih murah, kami berharap birokrasi di Jakarta juga bisa lebih bersahabat," pungkas Anton.
(izz)