Produksi gas terhambat ketersediaan infrastruktur
A
A
A
Sindonews.com - Peningkatan produksi gas bumi terhambat lantaran ketiadaan pipa transmisi maupun distribusi yang mengalirkannya ke konsumen.
Anggota Komisi VII DPR, Dito Ganinduto menilai, produksi gas di hulu akan mudah disalurkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) ke pemakai seperti industri dan pembangkit listrik, jika pipa transmisi dan distribusinya sudah terbangun.
Untuk itu, Indonesia membutuhkan banyak jaringan pipa gas. Namun, hingga kini tidak ada kemajuan berarti. "Sejauh ini, panjang pipa itu-itu saja," kata Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar itu, di Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Padahal, kata dia, potensi peningkatan produksi gas bumi khususnya untuk memenuhi kebutuhan domestik baik pembangkit listrik, pupuk, maupun industri masih cukup besar.
Sementara, Wakil Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro juga mengatakan, produksi gas menghadapi kendala keterbatasan pipa dan terminal penerima gas alam cair (LNG). Dia menilai, pengembangan insfrastruktur gas belum dilakukan dengan serius, sehingga produksi gas menjadi tidak maksimal.
"Permasalahan dan juga bagaimana solusinya sebenarnya sudah diketahui. Hanya saja, pemerintah tidak punya niat untuk menyelesaikan masalah dengan sungguh-sungguh," ujarnya.
Seharusnya, jika sudah ada niat dan kesungguhan pemerintah, maka permasalahan teknis dan pembiayaan akan lebih mudah.
Dito menambahkan, infrastruktur gas juga diperlukan mengingat sumber gas yang melimpah lokasinya berjauhan dengan pasar, seperti industri, pupuk, dan pembangkit listrik. Sumber gas sebagian besar berada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua.
Sementara, pasar gas berada di Jawa. Karena itu, dia menegaskan, infrastruktur merupakan kunci peningkatan produksi gas sekaligus pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan domestik. "Tanpa infrastruktur, gas tidak bisa tersalurkan. Pada akhirnya, menghambat peningkatan produksi," katanya.
Meski demikian, lanjut dia, alokasi gas ke pasar domestik sebenarnya dari tahun ke tahun terus meningkat. "Namun menjadi tidak maksimal karena ketiadaan infrastruktur gas," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sejak 2003, penyaluran gas ke domestik telah meningkat lebih dari 250 persen. Pada 2003, penyaluran gas ke domestik baru 1.480 billion british thermal unit (bbtud), namun di 2012 menjadi 3.550 bbtud. Sebaliknya, pasokan ke pasar ekspor pada 2003 tercatat 4.397 bbtud dan 2012 turun menjadi 3.692 bbtud.
Anggota Komisi VII DPR, Dito Ganinduto menilai, produksi gas di hulu akan mudah disalurkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) ke pemakai seperti industri dan pembangkit listrik, jika pipa transmisi dan distribusinya sudah terbangun.
Untuk itu, Indonesia membutuhkan banyak jaringan pipa gas. Namun, hingga kini tidak ada kemajuan berarti. "Sejauh ini, panjang pipa itu-itu saja," kata Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar itu, di Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Padahal, kata dia, potensi peningkatan produksi gas bumi khususnya untuk memenuhi kebutuhan domestik baik pembangkit listrik, pupuk, maupun industri masih cukup besar.
Sementara, Wakil Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro juga mengatakan, produksi gas menghadapi kendala keterbatasan pipa dan terminal penerima gas alam cair (LNG). Dia menilai, pengembangan insfrastruktur gas belum dilakukan dengan serius, sehingga produksi gas menjadi tidak maksimal.
"Permasalahan dan juga bagaimana solusinya sebenarnya sudah diketahui. Hanya saja, pemerintah tidak punya niat untuk menyelesaikan masalah dengan sungguh-sungguh," ujarnya.
Seharusnya, jika sudah ada niat dan kesungguhan pemerintah, maka permasalahan teknis dan pembiayaan akan lebih mudah.
Dito menambahkan, infrastruktur gas juga diperlukan mengingat sumber gas yang melimpah lokasinya berjauhan dengan pasar, seperti industri, pupuk, dan pembangkit listrik. Sumber gas sebagian besar berada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua.
Sementara, pasar gas berada di Jawa. Karena itu, dia menegaskan, infrastruktur merupakan kunci peningkatan produksi gas sekaligus pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan domestik. "Tanpa infrastruktur, gas tidak bisa tersalurkan. Pada akhirnya, menghambat peningkatan produksi," katanya.
Meski demikian, lanjut dia, alokasi gas ke pasar domestik sebenarnya dari tahun ke tahun terus meningkat. "Namun menjadi tidak maksimal karena ketiadaan infrastruktur gas," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sejak 2003, penyaluran gas ke domestik telah meningkat lebih dari 250 persen. Pada 2003, penyaluran gas ke domestik baru 1.480 billion british thermal unit (bbtud), namun di 2012 menjadi 3.550 bbtud. Sebaliknya, pasokan ke pasar ekspor pada 2003 tercatat 4.397 bbtud dan 2012 turun menjadi 3.692 bbtud.
(izz)