Penundaan larangan ekspor mineral mentah ditolak
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Komisi VII DPR Bobby Adhityo Rizaldi menolak rencana pemerintah melakukan penundaan larangan ekspor mineral mentah.
Dia mendesak pemerintah menerapkan larangan ekspor mineral mentah sesuai waktu yang telah diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Pemerintah harus konsisten menerapkan aturan itu. Jangan sampai menundanya lagi. Pemerintah jangan memberi contoh yang buruk dengan melanggar Undang-Undang. Tidak ada alasan yang kuat untuk penundaan penerapan aturan itu,” kata Bobby dalam rilisnya di Jakarta, Senin (23/12/2013).
Bobby berpendapat, jika pemerintah melakukan penundaan penerapan aturan tersebut, maka pemerintah tidak konsisten dengan semangat untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah industri dalam negeri. Selain itu, juga tidak konsisten dengan komitmen untuk memandirikan industri pertambangan dalam negeri melalui kebijakan hilirisasi yang sudah lama didengungkan pemerintah.
“Kalau terus ditunda dengan berbagai alasan, kapan negara kita bisa mandiri? Kapan kita bisa menikmati lebih banyak manfaat dari hasil pertambangan kita sendiri?,” ujar dia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sebelumnya mengindikasikan adanya penundaan penerapan larangan itu. Alasannya, untuk mengutamakan kepentingan nasional.
“Undang-undang harus ditaati, tapi kepentingan nasional juga harus diutamakan," ujar dia di sela rapat dengan Komisi VII DPR pada Senin (16/12/2013).
Dia menjelaskan, defisit neraca perdagangan yang semakin melebar dan belum siapnya pembangunan smelter bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk mengubah sikap. Dengan demikian, jadi atau tidaknya larangan itu diterapkan masih akan dibahas hingga memasuki tahun 2014.
Sesuai aturan, larangan ekspor mineral mentah akan diberlakukan mulai 12 Januari 2014. Dengan larangan itu, maka semua produk pertambangan mentah harus diolah di dalam negeri melalui smelter yang wajib dibangun oleh perusahaan yang melakukan penambangan mineral, baru kemudian bisa diekspor.
Hingga saat ini, baru sekitar 28 perusahaan yang telah memulai membangun smelter dengan progres sekitar 30 persen.
Dia mendesak pemerintah menerapkan larangan ekspor mineral mentah sesuai waktu yang telah diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Pemerintah harus konsisten menerapkan aturan itu. Jangan sampai menundanya lagi. Pemerintah jangan memberi contoh yang buruk dengan melanggar Undang-Undang. Tidak ada alasan yang kuat untuk penundaan penerapan aturan itu,” kata Bobby dalam rilisnya di Jakarta, Senin (23/12/2013).
Bobby berpendapat, jika pemerintah melakukan penundaan penerapan aturan tersebut, maka pemerintah tidak konsisten dengan semangat untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah industri dalam negeri. Selain itu, juga tidak konsisten dengan komitmen untuk memandirikan industri pertambangan dalam negeri melalui kebijakan hilirisasi yang sudah lama didengungkan pemerintah.
“Kalau terus ditunda dengan berbagai alasan, kapan negara kita bisa mandiri? Kapan kita bisa menikmati lebih banyak manfaat dari hasil pertambangan kita sendiri?,” ujar dia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sebelumnya mengindikasikan adanya penundaan penerapan larangan itu. Alasannya, untuk mengutamakan kepentingan nasional.
“Undang-undang harus ditaati, tapi kepentingan nasional juga harus diutamakan," ujar dia di sela rapat dengan Komisi VII DPR pada Senin (16/12/2013).
Dia menjelaskan, defisit neraca perdagangan yang semakin melebar dan belum siapnya pembangunan smelter bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk mengubah sikap. Dengan demikian, jadi atau tidaknya larangan itu diterapkan masih akan dibahas hingga memasuki tahun 2014.
Sesuai aturan, larangan ekspor mineral mentah akan diberlakukan mulai 12 Januari 2014. Dengan larangan itu, maka semua produk pertambangan mentah harus diolah di dalam negeri melalui smelter yang wajib dibangun oleh perusahaan yang melakukan penambangan mineral, baru kemudian bisa diekspor.
Hingga saat ini, baru sekitar 28 perusahaan yang telah memulai membangun smelter dengan progres sekitar 30 persen.
(rna)