Sukses mencetak ratusan juta dari kopiah anak
A
A
A
USAHA kopiah boleh saja dianggap tidak menarik bagi mayoritas orang. Tapi hal ini bukan soal biasa di tangan Ahmad Irwan yang kreatif mengolahnya menjadi kopiah anak-anak.
Akibat kemampuannya tersebut, pria ini mampu menyulap kopiah anak-anak menjadi bisnis dengan omzet ratusan juta.
Pria kelahiran Bogor tersebut mengaku, menjalani bisnis kopiah anak-anak karena meneruskan usaha keluarga yang dirintis ayahnya. Usaha yang dibangun di Gresik sejak 1970an harus berpindah tangan kepadanya ketika ayahnya meninggal.
Pada 1991, dia mulai mewarisi usaha dengan 10 orang pekerja saat masih duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dia mengaku, saat itu perusahaannya memproduksi peci tradisional berwarna hitam tanpa corak. Pasar utama produk peci saat itu adalah Jawa Barat.
"Saat itu, produksi mencapai 300 kodi setiap bulannya dengan omzet Rp50 juta dalam sebulan. Saya saat itu masih buta soal bisnis dan mempercayakan usaha kepada para pegawai sebelumnya," ujar Irwan saat ditemui beberapa waktu lalu di Surabaya, Jawa Timur.
Kebutaan pada bisnis harus dibayarnya dengan pelajaran pertama saat pegawai kepercayaan keluarganya merugikan bisnisnya. Setelah beberapa lama, dia mulai mengetahui pegawai tersebut mengalihkan rekening pembayaran klien atas namanya.
Hal itu membuatnya harus kehilangan 30 persen dari setiap transaksi. Belajar dari pengalaman itu, dia meminta waktu khusus kepada kepala sekolah untuk mengurus usahanya.
"Saya diberikan izin untuk mengurus urusan di bank yang biasanya beroperasi di bawah jam 12 siang. Dua tahun selepas SMA barulah saya total mengurus bisnis tersebut," ujar anak sulung dari dua bersaudara tersebut.
Pria kelahiran 1974 init akhirnya mengakui bahwa menjalankan bisnis tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pada tahun 1998, berbagai cobaan berdatangan, seperti saat krisis moneter yang membuat harga bahan baku melonjak dan harga jual yang tidak bisa dipastikan.
Selain itu, cobaan lainnya yang menerpa adalah saat tiga toko distributornya di pasar Anyer, Bogor terbakar sekaligus. Hal ini membuatnya rugi besar karena banyak stoknya dipasok dari distributor tersebut.
"Saat krisis moneter, saya juga harus kehilangan barang. Saya merugi lebih dari Rp180 juta karena banyak barang yang ikut terbakar. Tapi produksi tetap jalan walaupun minim," ujar ayah empat anak ini.
Tidak berhenti di situ, cobaan lainnya menyusul enam tahun setelahnya. Dua toko distributornya di pasar Tanah Abang ikut terbakar. Kerugiannya kali ini mencapai Rp100 juta, sehingga langsung membuatnya trauma untuk berbisnis.
Bahkan karena musibah itu, selama delapan bulan, dia mengaku berhenti berproduksi dan lebih memilih menganggur. Di sisi lain, kondisi merugi tersebut membuatnya semakin giat berusaha karena ingin membuktikan diri.
"Dalam kondisi di bawah, saya terpacu untuk bangkit karena tidak ingin diremehkan, bahkan oleh keluarga sendiri. Ini yang membuat saya mulai berproduksi lagi," ujar pria yang berdomisili di Gresik itu.
Dengan modal bantuan CSR dari Petrokimia sebesar Rp10 juta, dia mulai berproduksi dan aktif kembali mengikuti sejumlah pameran. Dengan bendera UD Gading Gajah dan merek produk NYIL dan Al Ichsan, dia mulai berani melakukan ekspansi bisnis.
Dari mengikuti berbagai pameran tersebut, dia akhirnya mulai memahami selera pasar untuk menyempurnakan produknya. Produksi selanjutnya, dia mulai melakukan eksplorasi pada motif hingga mencapai 30 motif.
Bahkan dia mulai memantapkan diri untuk menggarap kopiah untuk segmen anak-anak. Setidaknya terdapat beberapa tema untuk desain motif kopiahnya, yaitu biasa, batik, klub bola dan karakter kartun.
Awalnya dia mengaku menciptakan tokoh kartun karena beberapa pembeli tertarik dengan motif yang mirip dengan karakter Naruto. Melihat daya tarik pasar, dia mulai serius mengembangkan karakter kartun tersebut dan terbukti digandrungi anak anak.
Tidak hanya itu, dia juga mengembangkan kopiah dengan motif klub bola. Pembelinya pun suka karena ingin mengkoleksi pernak- pernik klub bola kesayangannya.
"Pembelinya merupakan kolektor pernak pernik klub bola. Bahkan ada juga yang ingin terlihat kompak dengan atribut klub yang sama," ujarnya.
Bisnisnya semakin berkembang setelah mengalihkan pasar utamanya ke Sumatera dan masuk ke segmen butik. Segmen tersebut dinilainya lebih menguntungkan karena harga jual yang lebih tinggi dengan menjamin kualitas produknya.
Awalnya dia mengaku masuk ke segmen butik karena pesanan dari pusat perbelanjaan Sarinah yang membuka wawasannya. Hal ini membuatnya mempunyai dua jenis pasar, yaitu butik dan pasar tradisional.
Pasarnya di Sumatera tersebar di Medan, Pekanbaru, Palembang dan Batam. Sementara pasar lainnya terdapat di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Saat ini setiap bulannya, dia mengaku memproduksi 500 kodi dengan omzet mencapai Rp130 juta. Bahkan dua bulan menjelang puasa, omzet bisa mencapai dua kali lipat menjadi Rp300 juta.
Dari nilai omzet tersebut, perusahaanya meraih 60 persen pemasukan dari pasar butik yang nilai jualnya lebih tinggi. Harga jual untuk produk butiknya di kisaran Rp600 ribu-Rp1 juta per kodi. Sedangkan untuk harga pasar tradisional di kisaran Rp320 ribu per kodinya.
"Kami bisa melihat kondisi pasar di suatu lokasi dan menyarankan produk yang cocok. Kami sangat fleksibel dalam bermitra supaya sama sama menguntungkan," kata dia.
Ahmad juga mengaku senang dengan banyak produk serupa yang bermunculan di pasar. Hal ini justru membanggakannya karena menjadikannya sebagai pelopor dan harus selalu lebih kreatif supaya tidak ketinggalan.
Kunci suksesnya terus berkembang disebutnya adalah selalu fokus dalam mengerjakan sesuatu. Hal itu, menurut dia, akan membuat lebih kreatif dalam menyajikan produk yang disukai konsumen.
"Saya bahkan mendesain manekin dan interior pameran supaya menjadi produk yang terbaik di mata konsumen," ujar peraih berbagai penghargaan untuk produknya tersebut.
Akibat kemampuannya tersebut, pria ini mampu menyulap kopiah anak-anak menjadi bisnis dengan omzet ratusan juta.
Pria kelahiran Bogor tersebut mengaku, menjalani bisnis kopiah anak-anak karena meneruskan usaha keluarga yang dirintis ayahnya. Usaha yang dibangun di Gresik sejak 1970an harus berpindah tangan kepadanya ketika ayahnya meninggal.
Pada 1991, dia mulai mewarisi usaha dengan 10 orang pekerja saat masih duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dia mengaku, saat itu perusahaannya memproduksi peci tradisional berwarna hitam tanpa corak. Pasar utama produk peci saat itu adalah Jawa Barat.
"Saat itu, produksi mencapai 300 kodi setiap bulannya dengan omzet Rp50 juta dalam sebulan. Saya saat itu masih buta soal bisnis dan mempercayakan usaha kepada para pegawai sebelumnya," ujar Irwan saat ditemui beberapa waktu lalu di Surabaya, Jawa Timur.
Kebutaan pada bisnis harus dibayarnya dengan pelajaran pertama saat pegawai kepercayaan keluarganya merugikan bisnisnya. Setelah beberapa lama, dia mulai mengetahui pegawai tersebut mengalihkan rekening pembayaran klien atas namanya.
Hal itu membuatnya harus kehilangan 30 persen dari setiap transaksi. Belajar dari pengalaman itu, dia meminta waktu khusus kepada kepala sekolah untuk mengurus usahanya.
"Saya diberikan izin untuk mengurus urusan di bank yang biasanya beroperasi di bawah jam 12 siang. Dua tahun selepas SMA barulah saya total mengurus bisnis tersebut," ujar anak sulung dari dua bersaudara tersebut.
Pria kelahiran 1974 init akhirnya mengakui bahwa menjalankan bisnis tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pada tahun 1998, berbagai cobaan berdatangan, seperti saat krisis moneter yang membuat harga bahan baku melonjak dan harga jual yang tidak bisa dipastikan.
Selain itu, cobaan lainnya yang menerpa adalah saat tiga toko distributornya di pasar Anyer, Bogor terbakar sekaligus. Hal ini membuatnya rugi besar karena banyak stoknya dipasok dari distributor tersebut.
"Saat krisis moneter, saya juga harus kehilangan barang. Saya merugi lebih dari Rp180 juta karena banyak barang yang ikut terbakar. Tapi produksi tetap jalan walaupun minim," ujar ayah empat anak ini.
Tidak berhenti di situ, cobaan lainnya menyusul enam tahun setelahnya. Dua toko distributornya di pasar Tanah Abang ikut terbakar. Kerugiannya kali ini mencapai Rp100 juta, sehingga langsung membuatnya trauma untuk berbisnis.
Bahkan karena musibah itu, selama delapan bulan, dia mengaku berhenti berproduksi dan lebih memilih menganggur. Di sisi lain, kondisi merugi tersebut membuatnya semakin giat berusaha karena ingin membuktikan diri.
"Dalam kondisi di bawah, saya terpacu untuk bangkit karena tidak ingin diremehkan, bahkan oleh keluarga sendiri. Ini yang membuat saya mulai berproduksi lagi," ujar pria yang berdomisili di Gresik itu.
Dengan modal bantuan CSR dari Petrokimia sebesar Rp10 juta, dia mulai berproduksi dan aktif kembali mengikuti sejumlah pameran. Dengan bendera UD Gading Gajah dan merek produk NYIL dan Al Ichsan, dia mulai berani melakukan ekspansi bisnis.
Dari mengikuti berbagai pameran tersebut, dia akhirnya mulai memahami selera pasar untuk menyempurnakan produknya. Produksi selanjutnya, dia mulai melakukan eksplorasi pada motif hingga mencapai 30 motif.
Bahkan dia mulai memantapkan diri untuk menggarap kopiah untuk segmen anak-anak. Setidaknya terdapat beberapa tema untuk desain motif kopiahnya, yaitu biasa, batik, klub bola dan karakter kartun.
Awalnya dia mengaku menciptakan tokoh kartun karena beberapa pembeli tertarik dengan motif yang mirip dengan karakter Naruto. Melihat daya tarik pasar, dia mulai serius mengembangkan karakter kartun tersebut dan terbukti digandrungi anak anak.
Tidak hanya itu, dia juga mengembangkan kopiah dengan motif klub bola. Pembelinya pun suka karena ingin mengkoleksi pernak- pernik klub bola kesayangannya.
"Pembelinya merupakan kolektor pernak pernik klub bola. Bahkan ada juga yang ingin terlihat kompak dengan atribut klub yang sama," ujarnya.
Bisnisnya semakin berkembang setelah mengalihkan pasar utamanya ke Sumatera dan masuk ke segmen butik. Segmen tersebut dinilainya lebih menguntungkan karena harga jual yang lebih tinggi dengan menjamin kualitas produknya.
Awalnya dia mengaku masuk ke segmen butik karena pesanan dari pusat perbelanjaan Sarinah yang membuka wawasannya. Hal ini membuatnya mempunyai dua jenis pasar, yaitu butik dan pasar tradisional.
Pasarnya di Sumatera tersebar di Medan, Pekanbaru, Palembang dan Batam. Sementara pasar lainnya terdapat di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Saat ini setiap bulannya, dia mengaku memproduksi 500 kodi dengan omzet mencapai Rp130 juta. Bahkan dua bulan menjelang puasa, omzet bisa mencapai dua kali lipat menjadi Rp300 juta.
Dari nilai omzet tersebut, perusahaanya meraih 60 persen pemasukan dari pasar butik yang nilai jualnya lebih tinggi. Harga jual untuk produk butiknya di kisaran Rp600 ribu-Rp1 juta per kodi. Sedangkan untuk harga pasar tradisional di kisaran Rp320 ribu per kodinya.
"Kami bisa melihat kondisi pasar di suatu lokasi dan menyarankan produk yang cocok. Kami sangat fleksibel dalam bermitra supaya sama sama menguntungkan," kata dia.
Ahmad juga mengaku senang dengan banyak produk serupa yang bermunculan di pasar. Hal ini justru membanggakannya karena menjadikannya sebagai pelopor dan harus selalu lebih kreatif supaya tidak ketinggalan.
Kunci suksesnya terus berkembang disebutnya adalah selalu fokus dalam mengerjakan sesuatu. Hal itu, menurut dia, akan membuat lebih kreatif dalam menyajikan produk yang disukai konsumen.
"Saya bahkan mendesain manekin dan interior pameran supaya menjadi produk yang terbaik di mata konsumen," ujar peraih berbagai penghargaan untuk produknya tersebut.
(rna)