OJK: 15% BPR di Jateng tidak sehat
A
A
A
Sindonews.com - Sebanyak 15 persen dari total 340 jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Tengah (Jateng) dalam kategori tidak sehat.
Kepala Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wilayah Jateng-DIY, Santoso Wibowo mengatakan, di Jateng sendiri saat ini ada 340 BPR, yang terdiri dari 305 BPR konvensional dan 35 BPR syariah.
Dari laporan kinerjanya, 85 persen BPR termasuk dalam kategori sehat, dan sisanya 15 persen dalam kategori cukup sehat, kurang sehat, tidak sehat, serta dalam pengawasan.
"Saat ini BPR di Jateng relatif cukup sehat, hanya ada sekitar 15 persen yang kurang sehat, dan dalam pengawasan," katanya, Selasa (14/1/2014).
Menurutnya, dari data Bank Indonesia (BI) pada 2013 tercatat tiga BPR dalam pengawasan khusus. Adapun satu BPR izin usahanya dicabut, dan dua BPR lainnya kini telah kembali sehat. Salah satu BPR yang dicabut izin usahanya ada di Kota Solo. Pencabutan ini dikarenakan, BPR tidak mampu berkembang.
"Pencabutan izin BPR di Solo ini salah satunya karena sudah tidak bisa diperbaiki lagi kinerjanya, dengan NPL atau tingkat bermasalah lebih dari 5 persen dan faktor-faktor lainnya," jelasnya.
Santoso mengatakan, pada 2013 kewenangan pencabutan izin BPR masih ada di BI. Namun, sejak beroperasinya OJK pada 1 Januari 2014, kini kinerja BPR berada di bawah pengawasan OJK. "Untuk 2014 ini belum ada BPR dalam pengawasan khusus," ujarnya.
BPR sebagai bank prekreditan rakyat, kata dia, sejauh ini cukup memberikan peran dalam kinerja keuangan perbankan di Jateng. "Pada 2013, share BPR di Jateng mencapai Rp17 triliun dan ini cukup bagus untuk mengembangkan prekonomian di Jateng," pungkasnya.
Kepala Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wilayah Jateng-DIY, Santoso Wibowo mengatakan, di Jateng sendiri saat ini ada 340 BPR, yang terdiri dari 305 BPR konvensional dan 35 BPR syariah.
Dari laporan kinerjanya, 85 persen BPR termasuk dalam kategori sehat, dan sisanya 15 persen dalam kategori cukup sehat, kurang sehat, tidak sehat, serta dalam pengawasan.
"Saat ini BPR di Jateng relatif cukup sehat, hanya ada sekitar 15 persen yang kurang sehat, dan dalam pengawasan," katanya, Selasa (14/1/2014).
Menurutnya, dari data Bank Indonesia (BI) pada 2013 tercatat tiga BPR dalam pengawasan khusus. Adapun satu BPR izin usahanya dicabut, dan dua BPR lainnya kini telah kembali sehat. Salah satu BPR yang dicabut izin usahanya ada di Kota Solo. Pencabutan ini dikarenakan, BPR tidak mampu berkembang.
"Pencabutan izin BPR di Solo ini salah satunya karena sudah tidak bisa diperbaiki lagi kinerjanya, dengan NPL atau tingkat bermasalah lebih dari 5 persen dan faktor-faktor lainnya," jelasnya.
Santoso mengatakan, pada 2013 kewenangan pencabutan izin BPR masih ada di BI. Namun, sejak beroperasinya OJK pada 1 Januari 2014, kini kinerja BPR berada di bawah pengawasan OJK. "Untuk 2014 ini belum ada BPR dalam pengawasan khusus," ujarnya.
BPR sebagai bank prekreditan rakyat, kata dia, sejauh ini cukup memberikan peran dalam kinerja keuangan perbankan di Jateng. "Pada 2013, share BPR di Jateng mencapai Rp17 triliun dan ini cukup bagus untuk mengembangkan prekonomian di Jateng," pungkasnya.
(izz)