Jero Wacik klaim Freeport sudah melunak
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim Freeport–McMoran Copper&Gold Inc telah menyadari diberlakukannya kebijakan aturan teknis operasional Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 baik terkait hilirisasi maupun bea keluar progresif ekspor mineral.
“Freeport bertemu saya mereka mengerti dasar befikir kita. Dia harus melakukan pembuatan smelter (pengolahan dan pemurnian) di Indonesia,” kata Menteri ESDM Jero Wacik, usai menerima kunjungan CEO Freeport–McMoran Richard Adkerson, di kantornya, Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Sebelumnya Freeport keberatan dengan kebijakan bea keluar progresif untuk komoditas mineral karena dinilai memberatkan perusahaan. Namun, lanjut Jero, spirit UU Minerba harus tetap dijalankan dengan tidak boleh mengekspor mineral mentah tanpa diolah terlebih dahulu.
“Sudah cukup puluhan tahun ekspor mineral mentah tanah air karena timbal balik kita dapatnya sedikit karena harganya murah,” tegas Jero.
Dia menegaskan, kebijakan hilirisasi dan bea keluar progresif sebaga bagian dari penerapan ekspor mineral yang tidak akan membebani pengusaha pertambangan, baik perusahaan tambang besar maupun kecil. “Jika mereka mau bangun smelter, akhir tahun sudah normal kembali,” kata dia.
Lebih lanjut Jero memastikan, penerapan bea keluar tidak akan merugikan industri tambang. Lantaran produk mineral yang diekspor merupakan produk mineral yang sudah diolah dengan nilai jual jauh lebih tinggi. “Harus ada nilai tambah karena setelah diolah harganya 50 kali lipat,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Dagang dan Industri Natsir Mansyur mengatakan, pemegang Ijin Usaha Pertambangan pada umumnya masih keberatan. Mengingat investasi di sektor hilir sangat memberatkan karena invetasinya cukup besar.
“Bea keluar masih terlalu tinggi dapat mengakibatkan banyak masalah seperti bisnis mineral tutup, kredit macet munculnya PHK hingga mandegnya ekonomi daerah,” kata dia.
Menurut dia, kebijakan ini sangatlah berat dirasakan industri tambang. Di sisi pengembalian modal juga sangatlah lama yakni sekitar 10 tahun. “Jadi butuh kepatian hukum. Ini berat bagi pegang IUP berbeda dengan indutri tambang besar yang untungnya juga besar,” kata dia.
Selain itu, risiko bisnis mineral juga sangat besar karena tidak ada jaminan terhadap bisnis galian karena perlu pertimbangan dalam menentukan kadar konsntrat tembaga yang diperbolehkan untuk ekspor. Terutama saat kadar konsntrat rendah seperti tahun ini.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor Mineral yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar Barang Mineral memberlakukan bea keluar ekspor progresif sebesar 20-60 persen mulai tahun ini hingga 2016. Kebijakan ini diberlakukan untuk mendukung kebijakan larangan ekspor mineral.
“Freeport bertemu saya mereka mengerti dasar befikir kita. Dia harus melakukan pembuatan smelter (pengolahan dan pemurnian) di Indonesia,” kata Menteri ESDM Jero Wacik, usai menerima kunjungan CEO Freeport–McMoran Richard Adkerson, di kantornya, Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Sebelumnya Freeport keberatan dengan kebijakan bea keluar progresif untuk komoditas mineral karena dinilai memberatkan perusahaan. Namun, lanjut Jero, spirit UU Minerba harus tetap dijalankan dengan tidak boleh mengekspor mineral mentah tanpa diolah terlebih dahulu.
“Sudah cukup puluhan tahun ekspor mineral mentah tanah air karena timbal balik kita dapatnya sedikit karena harganya murah,” tegas Jero.
Dia menegaskan, kebijakan hilirisasi dan bea keluar progresif sebaga bagian dari penerapan ekspor mineral yang tidak akan membebani pengusaha pertambangan, baik perusahaan tambang besar maupun kecil. “Jika mereka mau bangun smelter, akhir tahun sudah normal kembali,” kata dia.
Lebih lanjut Jero memastikan, penerapan bea keluar tidak akan merugikan industri tambang. Lantaran produk mineral yang diekspor merupakan produk mineral yang sudah diolah dengan nilai jual jauh lebih tinggi. “Harus ada nilai tambah karena setelah diolah harganya 50 kali lipat,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Dagang dan Industri Natsir Mansyur mengatakan, pemegang Ijin Usaha Pertambangan pada umumnya masih keberatan. Mengingat investasi di sektor hilir sangat memberatkan karena invetasinya cukup besar.
“Bea keluar masih terlalu tinggi dapat mengakibatkan banyak masalah seperti bisnis mineral tutup, kredit macet munculnya PHK hingga mandegnya ekonomi daerah,” kata dia.
Menurut dia, kebijakan ini sangatlah berat dirasakan industri tambang. Di sisi pengembalian modal juga sangatlah lama yakni sekitar 10 tahun. “Jadi butuh kepatian hukum. Ini berat bagi pegang IUP berbeda dengan indutri tambang besar yang untungnya juga besar,” kata dia.
Selain itu, risiko bisnis mineral juga sangat besar karena tidak ada jaminan terhadap bisnis galian karena perlu pertimbangan dalam menentukan kadar konsntrat tembaga yang diperbolehkan untuk ekspor. Terutama saat kadar konsntrat rendah seperti tahun ini.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor Mineral yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar Barang Mineral memberlakukan bea keluar ekspor progresif sebesar 20-60 persen mulai tahun ini hingga 2016. Kebijakan ini diberlakukan untuk mendukung kebijakan larangan ekspor mineral.
(gpr)