Ini dua usulan untuk menghidupkan kembali Merpati
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Sunarsip mengungkapkan, ada dua usulan untuk menghidupkan kembali PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) yang saat ini mengalami kebangkrutan.
Pertama, melalui pembentukan induk usaha baru yang secara khusus membawahi Merpati. Sementara, skema yang kedua yaitu memberi injeksi modal penyertaan kepada Merpati. Dalam hal ini pemerintah mempunyai kekuatan untuk mengambil alih utang Merpati.
"Usulan untuk menjual dua anak usaha Merpati yang sehat adalah langkah yang salah, total asetnya hanya sekitar Rp300 miliar, sedangkan utang Merpati mencapai Rp7 triliun. Perpaduan keduanya adalah skema yang tepat untuk membangkitkan kembali Merpati, harus ada jaminan dari pemerintah sehingga Merpati bisa menghapuskan utangnya kembali," kata dia dalam talkshow Sindo Trijaya Network bertopik "Sayap Patah Merpati" di Jakarta, Sabtu (8/2/2014).
Dia menjelaskan, proses penyehatan Merpati sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak 2005. Sunarsip mengungkapkan, maskapai plat merah tersebut telah mengalami kerugian sejak 2001, sehingga pada 2007 ekuitas keuangannya mengalami negatif hingga Rp1,2 triliun dan terus merugi sebesar Rp100 miliar per tahun.
"Salah satu opsi saat itu adalah privatisasi stategic sales melalui penjualan, namun apakah ada investor stategis yang mau menanggung utang Merpati? Lalu dibuat hak konsesi untuk dirubah dengan suntikan modal Rp450 miliar pada 2007, kalau ditutup pemerintah harus mengeluarkan modal yang lebih besar Rp3 triliun untuk karyawan dan pembayaran utang," jelasnya.
Dia menerangkan, penyelesaian utang Merpati harus dilakukan sama halnya dengan Garuda Indonesia pada saat mengalami kebangkrutan. Sunarsip bahkan mengungkapkan, utang Merpati lebih terkontrol karena sebagian besar piutang adalah perusahaan BUMN dan pemerintah.
Sementara, hampir 100 persen saham Merpati dimiliki oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN. "Kunci utamanya ada di tangan pemerintah, saat itu utang Garuda lebih besar dibandingkan Merpati yaitu pada saat krisis Garuda berutang USD1,2 miliar, dan sebagain besar kreditur berasal dari investor asing," pungkas Sunarsip.
Pertama, melalui pembentukan induk usaha baru yang secara khusus membawahi Merpati. Sementara, skema yang kedua yaitu memberi injeksi modal penyertaan kepada Merpati. Dalam hal ini pemerintah mempunyai kekuatan untuk mengambil alih utang Merpati.
"Usulan untuk menjual dua anak usaha Merpati yang sehat adalah langkah yang salah, total asetnya hanya sekitar Rp300 miliar, sedangkan utang Merpati mencapai Rp7 triliun. Perpaduan keduanya adalah skema yang tepat untuk membangkitkan kembali Merpati, harus ada jaminan dari pemerintah sehingga Merpati bisa menghapuskan utangnya kembali," kata dia dalam talkshow Sindo Trijaya Network bertopik "Sayap Patah Merpati" di Jakarta, Sabtu (8/2/2014).
Dia menjelaskan, proses penyehatan Merpati sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak 2005. Sunarsip mengungkapkan, maskapai plat merah tersebut telah mengalami kerugian sejak 2001, sehingga pada 2007 ekuitas keuangannya mengalami negatif hingga Rp1,2 triliun dan terus merugi sebesar Rp100 miliar per tahun.
"Salah satu opsi saat itu adalah privatisasi stategic sales melalui penjualan, namun apakah ada investor stategis yang mau menanggung utang Merpati? Lalu dibuat hak konsesi untuk dirubah dengan suntikan modal Rp450 miliar pada 2007, kalau ditutup pemerintah harus mengeluarkan modal yang lebih besar Rp3 triliun untuk karyawan dan pembayaran utang," jelasnya.
Dia menerangkan, penyelesaian utang Merpati harus dilakukan sama halnya dengan Garuda Indonesia pada saat mengalami kebangkrutan. Sunarsip bahkan mengungkapkan, utang Merpati lebih terkontrol karena sebagian besar piutang adalah perusahaan BUMN dan pemerintah.
Sementara, hampir 100 persen saham Merpati dimiliki oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN. "Kunci utamanya ada di tangan pemerintah, saat itu utang Garuda lebih besar dibandingkan Merpati yaitu pada saat krisis Garuda berutang USD1,2 miliar, dan sebagain besar kreditur berasal dari investor asing," pungkas Sunarsip.
(izz)