Intip Sejarah Merpati Airlines, Maskapai Kebanggaan yang Kini Bangkrut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Merpati Airlines pernah punya sejarah sebagai salah satu maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia. Sejak berdiri pada tahun 1962, mayoritas saham maskapai ini dimiliki oleh pemerintah Indonesia.
Pada awalnya Merpati memiliki empat unit armada jenis de Havilland Otter/DHC-3 dan dua unit Dakota DC-3 hasil hibah dari Angkatan Udara Republik Indonesia (TNI AU).
Awalnya Komodor Udara, Henk Sutoyo Adiputro ditunjuk sebagai direktur utama dengan membawahi 17 orang karyawan. Pada tahun 1963, penerbangan Merpati tidak hanya menuju Kalimantan saja tapi juga menerbangi rute Jakarta-Semarang, Jakarta-Tanjung Karang, dan Jakarta-Balikpapan.
Karena terus bertumbuh, Merpati pun semakin memperkuat armadanya melalui tambahan tiga Dornier DO-28 dan enam Pilatus Porter PC-6. Dengan total armada efektif sebanyak 15 pesawat, karyawan Merpati juga ditambah menjadi 583 orang.
Pada tahun 1966, di bawah Komando Direktur Utama Capt. R.B. Wibisono (1966-1967) Merpati mulai mengkomersialkan diri. Dimasa yang sama perusahaan menambah luas wilayah operasinya di Papua. Sementara itu Merpati juga menerima bantuan tiga Twin Otter dari PBB.
Kemudian di bawah pimpinan Marsekal Pertama Udara Santoro Suharto, pemerintah melihat kemampuan Merpati untuk berdiri sendiri. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengurangi subsidi operasi penerbangan perintis.
Namun ternyata langkah yang diambil salah, pasalnya pengurangan subsidi ini berujung kepada masalah keuangan yang cukup pelik karena penerbangan komersialnya belum beroperasi dengan mantap.
Hal ini membuat pemerintah mau tidak mau kembali turun tangan dengan memberi konsesi untuk ikut ambil bagian dalam menjalankan penerbangan jarak jauh (trunk operation), jarak sedang (semi trunk), dan jarak tidak jauh (federline operation).
Maskapai ini juga menyediakan rute internasional, seperti Pontianak-Kuching (Serawak, Malaysia) dan Palembang-Singapura. Selanjutnya, Merpati juga menjalin kerjasama dengan sejumlah perusahaan penerbangan nasional dan internasional.
Pada awalnya Merpati memiliki empat unit armada jenis de Havilland Otter/DHC-3 dan dua unit Dakota DC-3 hasil hibah dari Angkatan Udara Republik Indonesia (TNI AU).
Awalnya Komodor Udara, Henk Sutoyo Adiputro ditunjuk sebagai direktur utama dengan membawahi 17 orang karyawan. Pada tahun 1963, penerbangan Merpati tidak hanya menuju Kalimantan saja tapi juga menerbangi rute Jakarta-Semarang, Jakarta-Tanjung Karang, dan Jakarta-Balikpapan.
Karena terus bertumbuh, Merpati pun semakin memperkuat armadanya melalui tambahan tiga Dornier DO-28 dan enam Pilatus Porter PC-6. Dengan total armada efektif sebanyak 15 pesawat, karyawan Merpati juga ditambah menjadi 583 orang.
Pada tahun 1966, di bawah Komando Direktur Utama Capt. R.B. Wibisono (1966-1967) Merpati mulai mengkomersialkan diri. Dimasa yang sama perusahaan menambah luas wilayah operasinya di Papua. Sementara itu Merpati juga menerima bantuan tiga Twin Otter dari PBB.
Kemudian di bawah pimpinan Marsekal Pertama Udara Santoro Suharto, pemerintah melihat kemampuan Merpati untuk berdiri sendiri. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengurangi subsidi operasi penerbangan perintis.
Namun ternyata langkah yang diambil salah, pasalnya pengurangan subsidi ini berujung kepada masalah keuangan yang cukup pelik karena penerbangan komersialnya belum beroperasi dengan mantap.
Hal ini membuat pemerintah mau tidak mau kembali turun tangan dengan memberi konsesi untuk ikut ambil bagian dalam menjalankan penerbangan jarak jauh (trunk operation), jarak sedang (semi trunk), dan jarak tidak jauh (federline operation).
Maskapai ini juga menyediakan rute internasional, seperti Pontianak-Kuching (Serawak, Malaysia) dan Palembang-Singapura. Selanjutnya, Merpati juga menjalin kerjasama dengan sejumlah perusahaan penerbangan nasional dan internasional.