Kebijakan nilai tambah mineral sarat kepentingan
A
A
A
Sindonews.com - Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) menuntut keadilan terkait kesenjangan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Pemegang Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) terhadap para pemegang kontrak karya (KK) pertambangan dalam melaksanakan kebijakan peningkatakan nilai tambah mineral.
Direktur Eksekutif Apemindo, Lajiman Damanik menilai pemerintah sarat dengan kepentingan dalam menjalankan kebijakan peningkatan nilai tambah mineral.
Lantaran, para pemgeang IUP dan PKP2B hanya diberikan batas waktu hingga lima tahun untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) sedangkan para pemegang kontrak karya seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara diberikan kelonggaran untuk tetap bisa ekspor walaupun hanya memiliki pengolahannya saja tetepai tidak memilki pemurniannya.
“Ini terkesan memaksa pemegang IUP/PKP2B untuk membangun smelter dalam waktu lima tahun sedangkan Freeport dan Newmont baru punya pengolahan tapi tidak ada pemurnian padahal sudah beroperasi lama di Indonesia,” kata dia, di Jakarta, Minggu (23/2/2014).
Dia meminta pemerintah adil dalam menjalankan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang mengamanatkan pengelolaan dan pemurnian mineral tersebut.
“Aturan Undang-undang harus dilaksanakan penuh dengan rasa keadilan tidak tebang pilih,” ungkapnya.
Senada, Pengamat Pertambangan dari Indonesia Mining Energi Studi Erwin Usman mengatakan, pemerintah diminta adil dalam menjalankan peraturan tersebut. Selain itu, pemerintah harus menyediakan infrasturktur untuk mendukung kebijakan ini karena kebanyakan industri pertambangan berada di daerah terpencil sehingga akses operasionalnya sulit dicapai.
“Pemerintah harus menyediakan infrastruktur karena jauh dari akses kabupaten sehingga untuk mencapai kesana-nya itu cukup sulit,” kata dia.
Tidak hanya itu, menurut Erwin, pemerintah juga harus menjamin pasokan listriknya, jangan sampai para pengusaha kesulitan mendapatkan pasokan listrik. “Jangan sampai mereka nanti kesulitan mendapatkan pasokan listrik,” kata dia.
Sebelumnya, Kepala Divisi Biaga PLN Benny Marbun mengatakan, PT PLN (persero) telah berkomitmen siap memasok kebutuhan listrik untuk smelter. Adapun daerah yang saat ini kuat untuk memenuhi kebutuhan smelter antara lain, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
“Jawa-Bali sudah terkoneksi dengan pembangkit listrik tenaga batu bara gas air kalau untuk melayani smelter ini sudah cukup kuat. Sedangkan untuk Sulawesi Selatan dominannya batu bara,” kata dia.
Sedangkan untuk lokasi lain, Benny mengatakan, siap memasok listrik untuk smelter walaupun dengan business to business yaitu kesepakatan dilakukan melalui kesepakatan bisnis antara PLN dengan pengelola smelter.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik secara tegas mengatakan bahwa penerapan kebijakan peningkatan nilai tambah mineral ini telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sehingga harus dijalankan melalui proses yang telah diatur oleh pemerintah.
Maka dari itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. “Ada proses dari mentah menjadi pemurnian, proses ini harus dijalankan,” kata dia.
Data Kementerian ESDM menyebutkan, saat ini tercatat 66 perusahaan nasional yang sedang membangun pabrik smelter.
Perusahaan yang sudah menyelesaikan pembangunan smelter hingga 100 persen antara lain PT Monokem Surya yang mengolah zircon di Cikarang, Jawa Barat, PT Delta Prima Jaya Steel mengolah pasir besi di Kalimantan Selatan, PT Indoferro mengolah nikel di Kalimantan Selatan, PT Krakatau Posco, perusahaan joint venture Pohang Iron and Steel Company (Posco), Korea Selatan dengan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), yang mengolah bijih besi di Cilegon.
Kemudian ada PT Indotama Ferro Alloy yang mengolah mangan di Purwakarta, Jawa Barat dan PT Indonesia Tayan yang mengolah bauksit menjadi alumina di Kalimantan Barat.
Direktur Eksekutif Apemindo, Lajiman Damanik menilai pemerintah sarat dengan kepentingan dalam menjalankan kebijakan peningkatan nilai tambah mineral.
Lantaran, para pemgeang IUP dan PKP2B hanya diberikan batas waktu hingga lima tahun untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) sedangkan para pemegang kontrak karya seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara diberikan kelonggaran untuk tetap bisa ekspor walaupun hanya memiliki pengolahannya saja tetepai tidak memilki pemurniannya.
“Ini terkesan memaksa pemegang IUP/PKP2B untuk membangun smelter dalam waktu lima tahun sedangkan Freeport dan Newmont baru punya pengolahan tapi tidak ada pemurnian padahal sudah beroperasi lama di Indonesia,” kata dia, di Jakarta, Minggu (23/2/2014).
Dia meminta pemerintah adil dalam menjalankan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang mengamanatkan pengelolaan dan pemurnian mineral tersebut.
“Aturan Undang-undang harus dilaksanakan penuh dengan rasa keadilan tidak tebang pilih,” ungkapnya.
Senada, Pengamat Pertambangan dari Indonesia Mining Energi Studi Erwin Usman mengatakan, pemerintah diminta adil dalam menjalankan peraturan tersebut. Selain itu, pemerintah harus menyediakan infrasturktur untuk mendukung kebijakan ini karena kebanyakan industri pertambangan berada di daerah terpencil sehingga akses operasionalnya sulit dicapai.
“Pemerintah harus menyediakan infrastruktur karena jauh dari akses kabupaten sehingga untuk mencapai kesana-nya itu cukup sulit,” kata dia.
Tidak hanya itu, menurut Erwin, pemerintah juga harus menjamin pasokan listriknya, jangan sampai para pengusaha kesulitan mendapatkan pasokan listrik. “Jangan sampai mereka nanti kesulitan mendapatkan pasokan listrik,” kata dia.
Sebelumnya, Kepala Divisi Biaga PLN Benny Marbun mengatakan, PT PLN (persero) telah berkomitmen siap memasok kebutuhan listrik untuk smelter. Adapun daerah yang saat ini kuat untuk memenuhi kebutuhan smelter antara lain, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
“Jawa-Bali sudah terkoneksi dengan pembangkit listrik tenaga batu bara gas air kalau untuk melayani smelter ini sudah cukup kuat. Sedangkan untuk Sulawesi Selatan dominannya batu bara,” kata dia.
Sedangkan untuk lokasi lain, Benny mengatakan, siap memasok listrik untuk smelter walaupun dengan business to business yaitu kesepakatan dilakukan melalui kesepakatan bisnis antara PLN dengan pengelola smelter.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik secara tegas mengatakan bahwa penerapan kebijakan peningkatan nilai tambah mineral ini telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sehingga harus dijalankan melalui proses yang telah diatur oleh pemerintah.
Maka dari itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. “Ada proses dari mentah menjadi pemurnian, proses ini harus dijalankan,” kata dia.
Data Kementerian ESDM menyebutkan, saat ini tercatat 66 perusahaan nasional yang sedang membangun pabrik smelter.
Perusahaan yang sudah menyelesaikan pembangunan smelter hingga 100 persen antara lain PT Monokem Surya yang mengolah zircon di Cikarang, Jawa Barat, PT Delta Prima Jaya Steel mengolah pasir besi di Kalimantan Selatan, PT Indoferro mengolah nikel di Kalimantan Selatan, PT Krakatau Posco, perusahaan joint venture Pohang Iron and Steel Company (Posco), Korea Selatan dengan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), yang mengolah bijih besi di Cilegon.
Kemudian ada PT Indotama Ferro Alloy yang mengolah mangan di Purwakarta, Jawa Barat dan PT Indonesia Tayan yang mengolah bauksit menjadi alumina di Kalimantan Barat.
(gpr)