APBI nilai pengembangan PLTP belum optimal
A
A
A
Sindonews.com - Assosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI) menyatakan, pengembangan pembangkit listrik panas bumi (PLTP) di Indonesia belum optimal. Hal itu disebabkan karena masih banyak terkendala perizinan lahan.
Ketua APBI, Abadi Purnomo menuturkan, masih banyak kendala terkait pengembangan energi panas bumi. Salah satunya dengan pengadaan lahan yang pada umumnya terdapat di daerah terisolir. Belum lagi, lanjut dia, proses perizinan yang berbelit serta kurang koordinasi antara pemerintah daerah dengan pusat membuat pengembangan PLTP jauh panggang dari api.
"Harapan mendukung energi bersih (energi baru terbarukan) menjadi suram," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Kamis (3/4/2014).
Abadi meragukan, jika proyek percepatan 10.000 megawatt tahap II ini dapat terpenuhi jika ketidakpastian aspek legal dan koordinasi lintas sektoral tidak dibenahi. Selain itu, kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni akan menjadi kendala pencapaian target pengembangan pembangkit listrik panas bumi.
"Potensi panas bumi 28.617 megawatt. Tapi kapasitas terpasang baru sekitar 1.341 megawatt atau setara 4,7 persen," ujarnya.
Selain itu, masalah harga jual listrik panas bumi yang masih rendah juga menjadi kendala utama investor mengembangkan energi ini. Sehingga, para investor panas bumi meminta agar pemerintah segera merealisasikan penyesuaian harga. "Masalah ini sebenarnya sederhana, tinggal dinaikkan saja," kata dia.
Namun, mengakui penyesuaian harga akan menjadi sangat dilematis lantaran pemerintah berhubungan langsung dengan PT PLN (persero). Adapun biaya produksi perseroan hanya USD8 sen mix antara batu bara, panas bumi, gas dan bahan bakar minyak. "Tentu kalau harga jualnya tinggi PLN nantinya yang kena salah," jelas Abadi.
Sementara menanggapi rekomendasi harga dari Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia (World Bank) selaku konsultan independent pemerintah dalam menentukan tarif listrik panas bumi berdasarkan celling price, tidak menjadi masalah.
Meski demikian, dia meminta agar pembanding harga tidak hanya menggunakan batu bara, tapi dibandingkan dengan harga gas. "Kalau dibandingkan dengan batu bara celling price-nya terlalu rendah tapi kalau dinaikan bisa fast bidding," pungkasnya.
Ketua APBI, Abadi Purnomo menuturkan, masih banyak kendala terkait pengembangan energi panas bumi. Salah satunya dengan pengadaan lahan yang pada umumnya terdapat di daerah terisolir. Belum lagi, lanjut dia, proses perizinan yang berbelit serta kurang koordinasi antara pemerintah daerah dengan pusat membuat pengembangan PLTP jauh panggang dari api.
"Harapan mendukung energi bersih (energi baru terbarukan) menjadi suram," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Kamis (3/4/2014).
Abadi meragukan, jika proyek percepatan 10.000 megawatt tahap II ini dapat terpenuhi jika ketidakpastian aspek legal dan koordinasi lintas sektoral tidak dibenahi. Selain itu, kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni akan menjadi kendala pencapaian target pengembangan pembangkit listrik panas bumi.
"Potensi panas bumi 28.617 megawatt. Tapi kapasitas terpasang baru sekitar 1.341 megawatt atau setara 4,7 persen," ujarnya.
Selain itu, masalah harga jual listrik panas bumi yang masih rendah juga menjadi kendala utama investor mengembangkan energi ini. Sehingga, para investor panas bumi meminta agar pemerintah segera merealisasikan penyesuaian harga. "Masalah ini sebenarnya sederhana, tinggal dinaikkan saja," kata dia.
Namun, mengakui penyesuaian harga akan menjadi sangat dilematis lantaran pemerintah berhubungan langsung dengan PT PLN (persero). Adapun biaya produksi perseroan hanya USD8 sen mix antara batu bara, panas bumi, gas dan bahan bakar minyak. "Tentu kalau harga jualnya tinggi PLN nantinya yang kena salah," jelas Abadi.
Sementara menanggapi rekomendasi harga dari Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia (World Bank) selaku konsultan independent pemerintah dalam menentukan tarif listrik panas bumi berdasarkan celling price, tidak menjadi masalah.
Meski demikian, dia meminta agar pembanding harga tidak hanya menggunakan batu bara, tapi dibandingkan dengan harga gas. "Kalau dibandingkan dengan batu bara celling price-nya terlalu rendah tapi kalau dinaikan bisa fast bidding," pungkasnya.
(izz)