Kualitas gula Indonesia di bawah Thailand
A
A
A
Sindonews.com - Produksi gula Indonesia terus menjadi sorotan, karena kualitasnya masih buruk. Indonesia masih kalah dengan Thailand sebagai pengekspor gula utama dunia dalam perdagangan internasional.
Fakta ini sangat mengkhawatirkan, untuk itu daya saing industri gula nasional perlu ditingkatkan untuk menghadapi persaingan global. Sebab, dalam perdagangan bebas semua produk gula bisa masuk ke Indonesia.
"Kita harus tingkatkan kualitas produksi gula," kata Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono, Kamis (24/4/2014).
Saat ini, ujar dia, tantangan industri gula nasional sangat berat. Di mana konsumsi gula terus meningkat tetapi tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk. Kondisi industri gula nasional saat ini sulit bersaing. Terlebih dengan Thailand yang kini menjadi salah satu eksportir utama gula dunia.
Untuk produksi gula Thailand sekitar 10,6 juta ton per tahun. Sementara, data terakhir di Indonesia pada 2013 mencatat produksi gula 2,55 juta ton. Rendemen (kadar gula dalam tebu) Thailand mencapai 11,82 persen, sementara Indonesia berkutat pada level 7 persen.
"Belum lagi menyangkut kapasitas produksi gula di Thailand sekitar 940.000 ton tebu per hari (tons of cane per day/TCD). Angka tersebut masih jauh di atas Indonesia yang berkisar 205.000 TCD," ujarnya.
Ekspor gula Thailand mencapai delapan juta ton, 30 persennya mengalir ke Indonesia. Sedangkan Indonesia merupakan importir gula, untuk memenuhi kebutuhan industri yang terus meningkat. Untuk mendorong daya saing industri gula nasional, kuncinya ada tiga hal.
Pertama, efisiensi, disusul diversifikasi. Ketiga, optimalisasi alias EDO. Tiga hal ini yang mampu mendorong industri gula secara nasional meningkat. Selama ini, industri gula nasional belum efisien, terbukti dari biaya produksi gula yang masih mahal dibanding gula impor.
Indonesia juga belum serius menggarap diversifikasi produk turunan tebu non gula, seperti bioetanol dan listrik dari ampas tebu melalui program co-generation.
"Padahal, di sejumlah negara lain seperti Brazil, India, atau Thailand, diversifikasi produk sudah menjadi andalan pendapatan industri berbasis tebu," imbuhnya.
Subiyono mencontohkan, sebagian perusahaan berbasis tebu di luar negeri, pendapatan non gula seperti bioetanol dan listrik dari ampas tebu lebih besar dibanding pendapatan produk gula. Brazil sendiri 18 persen kebutuhan energinya disumbang oleh bahan bakar berbasis tanaman tebu.
Uang hasil diversifikasi produk ikut menyangga ekspansi pabrik gula di luar negeri untuk modernisasi mesin dan riset budidaya tebu. Di Indonesia, diversifikasi produk belum digarap serius.
Padahal, kata dia, setiap 1 ton tebu pasca proses bisa menghasilkan surplus listrik 100 kWh, bioetanol sebanyak 12 liter, dan biokompos sebesar 40 kilogram.
Fakta ini sangat mengkhawatirkan, untuk itu daya saing industri gula nasional perlu ditingkatkan untuk menghadapi persaingan global. Sebab, dalam perdagangan bebas semua produk gula bisa masuk ke Indonesia.
"Kita harus tingkatkan kualitas produksi gula," kata Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono, Kamis (24/4/2014).
Saat ini, ujar dia, tantangan industri gula nasional sangat berat. Di mana konsumsi gula terus meningkat tetapi tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk. Kondisi industri gula nasional saat ini sulit bersaing. Terlebih dengan Thailand yang kini menjadi salah satu eksportir utama gula dunia.
Untuk produksi gula Thailand sekitar 10,6 juta ton per tahun. Sementara, data terakhir di Indonesia pada 2013 mencatat produksi gula 2,55 juta ton. Rendemen (kadar gula dalam tebu) Thailand mencapai 11,82 persen, sementara Indonesia berkutat pada level 7 persen.
"Belum lagi menyangkut kapasitas produksi gula di Thailand sekitar 940.000 ton tebu per hari (tons of cane per day/TCD). Angka tersebut masih jauh di atas Indonesia yang berkisar 205.000 TCD," ujarnya.
Ekspor gula Thailand mencapai delapan juta ton, 30 persennya mengalir ke Indonesia. Sedangkan Indonesia merupakan importir gula, untuk memenuhi kebutuhan industri yang terus meningkat. Untuk mendorong daya saing industri gula nasional, kuncinya ada tiga hal.
Pertama, efisiensi, disusul diversifikasi. Ketiga, optimalisasi alias EDO. Tiga hal ini yang mampu mendorong industri gula secara nasional meningkat. Selama ini, industri gula nasional belum efisien, terbukti dari biaya produksi gula yang masih mahal dibanding gula impor.
Indonesia juga belum serius menggarap diversifikasi produk turunan tebu non gula, seperti bioetanol dan listrik dari ampas tebu melalui program co-generation.
"Padahal, di sejumlah negara lain seperti Brazil, India, atau Thailand, diversifikasi produk sudah menjadi andalan pendapatan industri berbasis tebu," imbuhnya.
Subiyono mencontohkan, sebagian perusahaan berbasis tebu di luar negeri, pendapatan non gula seperti bioetanol dan listrik dari ampas tebu lebih besar dibanding pendapatan produk gula. Brazil sendiri 18 persen kebutuhan energinya disumbang oleh bahan bakar berbasis tanaman tebu.
Uang hasil diversifikasi produk ikut menyangga ekspansi pabrik gula di luar negeri untuk modernisasi mesin dan riset budidaya tebu. Di Indonesia, diversifikasi produk belum digarap serius.
Padahal, kata dia, setiap 1 ton tebu pasca proses bisa menghasilkan surplus listrik 100 kWh, bioetanol sebanyak 12 liter, dan biokompos sebesar 40 kilogram.
(izz)