Maraknya impor boron ilegal rugikan RI Rp439 M
A
A
A
Sindonews.com - Praktik importasi boron ilegal asal China marak terjadi di Indonesia, terutama sejak diberlakukannya implementasi ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) pada 2010 lalu. Akibatnya, tiap tahun negara dirugikan hingga Rp439 miliar.
"Baja itu kalau tidak memasukkan unsur-unsur itu (boron) namanya baja murni, baja murni itu impornya mahal. Nah, importir itu memasukkan baja yang ada boronnya biar tarif impornya murah, padahal mereka tidak membutuhkan boron untuk industri baja di sini," ujar Komisi Standardisasi dan Sertifikasi Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesia Iron & Steel Industry Association/IISIA) Basso D Makanahap saat menjadi pembicara pada diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) 'Prospek dan Tantangan Industri Baja Nasional' di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Jakarta, Senin (5/5/2014).
Baja boron adalah baja paduan yang biasanya digunakan dalam proyek infrastruktur. Saat ini, impor baja boron bebas bea masuk (BM). Basso menduga, beberapa produsen baja dunia memanfaatkan aturan bebas BM baja boron untuk mengekspor produk baja jenis lain seperti baja canai panas (hot rolled coil/HRC) dan baja canai dingin (cold rolled coil/CRC) ke Indonesia. Impor HRC dan CRC saat ini dikenai BM 5 persen.
Modusnya, produsen, terutama yang berasal dari China, menambahkan sedikit kandungan boron dalam HRC dan CRC. Selanjutnya, produsen bekerja sama dengan importir baja lokal untuk memanipulasi nomor HS. Dalam dokumen kepabeanan, importir menyebut baja jenis HRC dan CRC memiliki kandungan boron. Padahal, berdasarkan penelitian IISIA, kandungan boron dalam baja impor tersebut sangat kecil, hanya 0,0008 persen, sehingga tidak mengubah sifat fisik maupun mekanik.
Banjir baja boron membuat industri baja lokal kesulitan menentukan harga jual. Sebab, harga baja boron lebih murah dibanding baja lokal. Di saat yang sama, ongkos produksi baja terus membengkak, seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Selain karena soal importasi boron tersebut, industri besi dan baja lokal terpukul akibat kenaikan tarif listrik industri per 1 Mei 2014 lalu. Kenaikan ini mempengaruhi biaya produksi pengolahan baja nasional hingga daya saing dengan produk impor sangat lemah.
Juru bicara PT Gunung Garuda, Ketut Setiawan mengatakan, sebelum ada kenaikan tarif listrik, harga produk baja impor seperti baja paduan (alloy steel) antara lain untuk bahan pembuatan velg, dari China jauh lebih murah daripada produk sejenis buatan lokal. PT Gunung Garuda adalah produsen baja swasta terbesar di Indonesia.
"Produk impor di pasaran lebih murah 15 persen karena biaya masuk nol persen, seperti alloy steel kalau kita USD600-700 per ton, kalau dia (alloy steel)lebih murah 15 persen," katanya.
Dia mengatakan selain BM nol, industri baja di China sangat efisien, dengan kapasitas produksi mencapai 700 juta ton per tahun.
Data IISIA menyebutkan, tiap tahun importasi boron mencapai 400.000 ton. Pada 2012, impor untuk industri baja nasional sebesar 2,02 juta ton dengan nilai USD13,4 juta.
Menurut Basso, impor tersebut untuk menutup kebutuhan baja nasional yang kurang 2,6 juta ton dari produksi nasional yang hanya 6 juta ton.
"Produksi baja kita hanya 6 juta ton, sedangkan kebutuhan 8,6 juta ton. Kebutuhan per kapita kita pada 2012 sebesar 29,6 kg," ujarnya.
Basso menjelaskan pada 2015 nanti kebutuhan baja per kapita diperkirakan sebesar 49,6 kg dengan kebutuhan baja per tahun sebanyak 13,8 juta ton. Sedangkan pada 2025 dengan perkiraan PDB sebesar USD4-4,5 triliun, maka konsumsi baja per kapita akan semakin naik menjadi 100 kg dan kebutuhan baja nasional sebesar 26,2 juta ton.
"Program MP3EI membutuhkan baja dalam jumlah besar dengan kenaikan tingkat kebutuhan yang besar pula. Hal ini akan mendorong kenaikan investasi dan multiplier effect lainnya yang akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
"Baja itu kalau tidak memasukkan unsur-unsur itu (boron) namanya baja murni, baja murni itu impornya mahal. Nah, importir itu memasukkan baja yang ada boronnya biar tarif impornya murah, padahal mereka tidak membutuhkan boron untuk industri baja di sini," ujar Komisi Standardisasi dan Sertifikasi Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesia Iron & Steel Industry Association/IISIA) Basso D Makanahap saat menjadi pembicara pada diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) 'Prospek dan Tantangan Industri Baja Nasional' di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Jakarta, Senin (5/5/2014).
Baja boron adalah baja paduan yang biasanya digunakan dalam proyek infrastruktur. Saat ini, impor baja boron bebas bea masuk (BM). Basso menduga, beberapa produsen baja dunia memanfaatkan aturan bebas BM baja boron untuk mengekspor produk baja jenis lain seperti baja canai panas (hot rolled coil/HRC) dan baja canai dingin (cold rolled coil/CRC) ke Indonesia. Impor HRC dan CRC saat ini dikenai BM 5 persen.
Modusnya, produsen, terutama yang berasal dari China, menambahkan sedikit kandungan boron dalam HRC dan CRC. Selanjutnya, produsen bekerja sama dengan importir baja lokal untuk memanipulasi nomor HS. Dalam dokumen kepabeanan, importir menyebut baja jenis HRC dan CRC memiliki kandungan boron. Padahal, berdasarkan penelitian IISIA, kandungan boron dalam baja impor tersebut sangat kecil, hanya 0,0008 persen, sehingga tidak mengubah sifat fisik maupun mekanik.
Banjir baja boron membuat industri baja lokal kesulitan menentukan harga jual. Sebab, harga baja boron lebih murah dibanding baja lokal. Di saat yang sama, ongkos produksi baja terus membengkak, seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Selain karena soal importasi boron tersebut, industri besi dan baja lokal terpukul akibat kenaikan tarif listrik industri per 1 Mei 2014 lalu. Kenaikan ini mempengaruhi biaya produksi pengolahan baja nasional hingga daya saing dengan produk impor sangat lemah.
Juru bicara PT Gunung Garuda, Ketut Setiawan mengatakan, sebelum ada kenaikan tarif listrik, harga produk baja impor seperti baja paduan (alloy steel) antara lain untuk bahan pembuatan velg, dari China jauh lebih murah daripada produk sejenis buatan lokal. PT Gunung Garuda adalah produsen baja swasta terbesar di Indonesia.
"Produk impor di pasaran lebih murah 15 persen karena biaya masuk nol persen, seperti alloy steel kalau kita USD600-700 per ton, kalau dia (alloy steel)lebih murah 15 persen," katanya.
Dia mengatakan selain BM nol, industri baja di China sangat efisien, dengan kapasitas produksi mencapai 700 juta ton per tahun.
Data IISIA menyebutkan, tiap tahun importasi boron mencapai 400.000 ton. Pada 2012, impor untuk industri baja nasional sebesar 2,02 juta ton dengan nilai USD13,4 juta.
Menurut Basso, impor tersebut untuk menutup kebutuhan baja nasional yang kurang 2,6 juta ton dari produksi nasional yang hanya 6 juta ton.
"Produksi baja kita hanya 6 juta ton, sedangkan kebutuhan 8,6 juta ton. Kebutuhan per kapita kita pada 2012 sebesar 29,6 kg," ujarnya.
Basso menjelaskan pada 2015 nanti kebutuhan baja per kapita diperkirakan sebesar 49,6 kg dengan kebutuhan baja per tahun sebanyak 13,8 juta ton. Sedangkan pada 2025 dengan perkiraan PDB sebesar USD4-4,5 triliun, maka konsumsi baja per kapita akan semakin naik menjadi 100 kg dan kebutuhan baja nasional sebesar 26,2 juta ton.
"Program MP3EI membutuhkan baja dalam jumlah besar dengan kenaikan tingkat kebutuhan yang besar pula. Hal ini akan mendorong kenaikan investasi dan multiplier effect lainnya yang akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
(gpr)