Harga Telur dan Daging Ayam di Bandung Mulai Turun
A
A
A
BANDUNG - Memasuki pekan kedua Ramadan tahun ini, beberapa komoditas mulai menunjukkan perubahan harga. Tercatat, penurunan harga terjadi pada harga telur dan daging ayam.
Rata-rata, harga telur ayam di Jabar per 7 Juli 2014, Rp19.100/kg turun Rp400/kg dari sepekan sebelumnya. Begitupun dengan daging ayam yang pada awal Ramadan mencapai harga Rp35.000/kg, per 7 Juli harganya menjadi Rp33.000/kg.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Barat Ferry Sofwan Arief mengatakan, perubahan harga ini lebih baik dibandingkan dengan satu bulan menjelang Ramadan.
"Jika dibandingkan, antara harga awal Ramadan dengan sebulan sebelumnya, terjadi kenaikan harga mencapai lebih dari 10% pada keduanya. 18% untuk harga daging ayam, dan 15% untuk harga telur ayam," ujarnya kepada, Selasa (8/7/2014).
Menurutnya, konsumsi daging ayam saat ini melambung tinggi mengingat relatif tingginya harga daging sapi. Di samping harga DOC (days old chicks) yang tinggi, kenaikan harga daging ayam juga dipengaruhi harga pakan dan panjangnya rantai distribusi.
"Konsumen yang membeli daging sapi relatif terbatas, karena harga daging sapi stabil tinggi pada kisaran Rp100.000/kg. Sehingga mereka beralih ke daging ayam yang masih relatif terjangkau," katanya.
Ferry membantah kalau kenaikan harga daging ayam dipengaruhi keterbatasan stok. Menurutnya, justru stok daging ayam di Jabar surplus. Jumlah ayam di Jabar mencapai 800 juta ekor/tahun, sedangkan serapannya hanya 400 juta ekor/tahun.
Menurutnya, yang patut jadi perhatian, justru daging sapi yang harga berat hidup di sentra produksi turun, tetapi harga di pasaran malah naik.
"Harga sapi di sentra produksi turun dari Rp42.000/kg menjadi Rp41.000/kg. Menurut data, hal ini disebabkan serapan jeroan yang kurang. Ramadan seperti ini cukup sulit menjual jeroan, karena jarangnya yang mengolah jeroan, sehingga dikompensasikan ke harga daging," tutur Ferry.
Dia berharap, momentum Ramadan saat ini tidak dijadikan kesempatan "memainkan" harga. Dia mengaku sulit juga untuk memutus rantai distribusi yang terlampau panjang (pedagang utama, pedagang perantara, dan pedagang pengecer).
Pihaknya mengaku harus bersinergi untuk menyelesaikan masalah ini. Situasi ini akan sangat dirasakan masyarakat, para pedagang diminta tidak sampai mencari keuntungan yang tinggi.
"Tidak menutup kemungkinan kalau merasa terlalu mahal, konsumen akan kabur dengan sendirinya. Masing-masing punya bagian keuntungan, kalau suplai banyak kenapa harus dinaikkan harganya. Harapannya semua pihak sadar akan hal itu," terang Ferry.
Rata-rata, harga telur ayam di Jabar per 7 Juli 2014, Rp19.100/kg turun Rp400/kg dari sepekan sebelumnya. Begitupun dengan daging ayam yang pada awal Ramadan mencapai harga Rp35.000/kg, per 7 Juli harganya menjadi Rp33.000/kg.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Barat Ferry Sofwan Arief mengatakan, perubahan harga ini lebih baik dibandingkan dengan satu bulan menjelang Ramadan.
"Jika dibandingkan, antara harga awal Ramadan dengan sebulan sebelumnya, terjadi kenaikan harga mencapai lebih dari 10% pada keduanya. 18% untuk harga daging ayam, dan 15% untuk harga telur ayam," ujarnya kepada, Selasa (8/7/2014).
Menurutnya, konsumsi daging ayam saat ini melambung tinggi mengingat relatif tingginya harga daging sapi. Di samping harga DOC (days old chicks) yang tinggi, kenaikan harga daging ayam juga dipengaruhi harga pakan dan panjangnya rantai distribusi.
"Konsumen yang membeli daging sapi relatif terbatas, karena harga daging sapi stabil tinggi pada kisaran Rp100.000/kg. Sehingga mereka beralih ke daging ayam yang masih relatif terjangkau," katanya.
Ferry membantah kalau kenaikan harga daging ayam dipengaruhi keterbatasan stok. Menurutnya, justru stok daging ayam di Jabar surplus. Jumlah ayam di Jabar mencapai 800 juta ekor/tahun, sedangkan serapannya hanya 400 juta ekor/tahun.
Menurutnya, yang patut jadi perhatian, justru daging sapi yang harga berat hidup di sentra produksi turun, tetapi harga di pasaran malah naik.
"Harga sapi di sentra produksi turun dari Rp42.000/kg menjadi Rp41.000/kg. Menurut data, hal ini disebabkan serapan jeroan yang kurang. Ramadan seperti ini cukup sulit menjual jeroan, karena jarangnya yang mengolah jeroan, sehingga dikompensasikan ke harga daging," tutur Ferry.
Dia berharap, momentum Ramadan saat ini tidak dijadikan kesempatan "memainkan" harga. Dia mengaku sulit juga untuk memutus rantai distribusi yang terlampau panjang (pedagang utama, pedagang perantara, dan pedagang pengecer).
Pihaknya mengaku harus bersinergi untuk menyelesaikan masalah ini. Situasi ini akan sangat dirasakan masyarakat, para pedagang diminta tidak sampai mencari keuntungan yang tinggi.
"Tidak menutup kemungkinan kalau merasa terlalu mahal, konsumen akan kabur dengan sendirinya. Masing-masing punya bagian keuntungan, kalau suplai banyak kenapa harus dinaikkan harganya. Harapannya semua pihak sadar akan hal itu," terang Ferry.
(izz)