Penyebab Garuda Indonesia Alami Kerugian Besar
A
A
A
JAKARTA - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) harus menghadapi kenyataan menanggung kerugian cukup besar karena nilai tukar rupiah yang tidak stabil.
Pasalnya, hampir 75% pembiayaan perusahaan berasal dari mata uang dolar Amerika Serikat (USD), sedangkan pendapatannya menggunakan nilai tukar rupiah.
Direktur Keuangan Garuda Indonesia, Hendrito Hardjono mengatakan, sebagian laba perseroan harus berkurang jika nilai nilai tukar rupiah terdepresiasi.
"Benar sekali, pendapatan operasi kita sebagian itu rupiah dan dolar, efeknya adalah jika kelemahan Rp100 sama saja kita rugi sekitar Rp10 juta sampai Rp12 juta per USD per tahun," ujarnya di Kantor Pusat Garuda, Jakarta, Jumat (8/8/2014).
Menurutnya, bukan hanya maskapai milik negara ini saja yang mengeluhkan mengenai gejolak nilai tukar, bahkan semua airlines juga pasti merasakan hal yang serupa.
"Semua airlines itu tertekan, bahkan malah ada yang tertutup, ini pertanda bahwa industri penerbangan sedang tertekan," ujarnya.
Dia mengatakan, bahwa terkait dengan kerugian yang dialami pada semester I/2014 diakui perseroan adalah hal yang sangat wajar.
"Semester pertama selalu lebih rendah dan tertekan, selalu kinerja lebih rendah dari semester dua, karena di semester dua ditambah ada penerbangan haji lalu impactnya itu dari sudut kurs di semester pertama," pungkasnya.
Pasalnya, hampir 75% pembiayaan perusahaan berasal dari mata uang dolar Amerika Serikat (USD), sedangkan pendapatannya menggunakan nilai tukar rupiah.
Direktur Keuangan Garuda Indonesia, Hendrito Hardjono mengatakan, sebagian laba perseroan harus berkurang jika nilai nilai tukar rupiah terdepresiasi.
"Benar sekali, pendapatan operasi kita sebagian itu rupiah dan dolar, efeknya adalah jika kelemahan Rp100 sama saja kita rugi sekitar Rp10 juta sampai Rp12 juta per USD per tahun," ujarnya di Kantor Pusat Garuda, Jakarta, Jumat (8/8/2014).
Menurutnya, bukan hanya maskapai milik negara ini saja yang mengeluhkan mengenai gejolak nilai tukar, bahkan semua airlines juga pasti merasakan hal yang serupa.
"Semua airlines itu tertekan, bahkan malah ada yang tertutup, ini pertanda bahwa industri penerbangan sedang tertekan," ujarnya.
Dia mengatakan, bahwa terkait dengan kerugian yang dialami pada semester I/2014 diakui perseroan adalah hal yang sangat wajar.
"Semester pertama selalu lebih rendah dan tertekan, selalu kinerja lebih rendah dari semester dua, karena di semester dua ditambah ada penerbangan haji lalu impactnya itu dari sudut kurs di semester pertama," pungkasnya.
(izz)