Pembatasan Kalori Batu Bara Mulut Tambang Tak Tepat
A
A
A
JAKARTA - Pengamat energi Iwa Garniwa menilai pembatasan kalori batu bara dalam tender internasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang Sumatera Selatan 9 dan 10 yang digelar PT PLN (Persero) tidak tepat.
"Apabila yang membangun pembangkit adalah swasta atau memakai skema IPP (independent power producer), maka PLN tidak perlu menerapkan kebijakan pembatasan kalori karena itu urusan IPP," katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (13/8/2014).
Menurut dia, PLN hanya perlu mengetahui harga beli listrik per kWh yang ditawarkan peserta tender sudah kompetitif atau tidak. Berbeda, jika pembangun pembangkit adalah PLN.
"Maka, PLN memang perlu melihat kalorinya karena terkait dengan besarnya emisi dan luas area untuk stok batu bara," katanya.
Dia menambahkan, batu bara berkalori rendah membutuhkan teknologi penurun emisi, sehingga biaya menjadi lebih besar dibandingkan memakai batu bara kadar tinggi.
Demikian pula, kebutuhan area atau lahan sebagai tempat stok batu bara kalori rendah akan lebih luas, sehingga memerlukan biaya yang juga lebih mahal ketimbang kalori tinggi.
Tender PLTU Sumsel 9 berkapasitas 2x600 MW dan 10 1x600 MW dilakukan dengan skema kemitraan pemerintah-swasta (KPS). Sejumlah investor dalam dan luar negeri sudah dinyatakan lolos proses prakualifikasi proyek dengan perkiraan investasi USD3 miliar tersebut.
Saat tahap prakualifikasi itu, peserta tidak dibatasi pada batu bara kategori tertentu. Namun, belakangan dalam dokumen tender request for proposal (RFP), peserta dibatasi hanya yang memiliki batu bara di bawah 3.000 kkal/kg.
PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) sebagai salah satu peserta lolos prakualifikasi mempertanyakan kebijakan pembatasan kalori batu bara tersebut. Pembatasan tersebut dinilai bakal mengurangi kompetisi dan kredibilitas proses tender.
"Kami sudah sampaikan ke PLN untuk lebih concern pada tarif listrik yang kompetitif dan bukan dengan membatasi kadar batu baranya," kata Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Joko Pramono.
Menurut dia, pembatasan kadar batu bara hanya di bawah 3.000 kkal/kg justru membuat tarif listrik kemungkinan menjadi tidak kompetitif. Alasannya, harga batu bara kalori rendah dan tinggi tidak terlalu berbeda jauh. Sementara, kebutuhan batu bara untuk membangkitkan listrik dengan daya yang sama antara kalori tinggi dan rendah berbeda cukup jauh.
"Untuk kalori rendah membutuhkan batu bara hingga 8 juta ton per tahun, sementara kalau kalori tinggi cukup 5 juta ton," ungkap dia.
"Apabila yang membangun pembangkit adalah swasta atau memakai skema IPP (independent power producer), maka PLN tidak perlu menerapkan kebijakan pembatasan kalori karena itu urusan IPP," katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (13/8/2014).
Menurut dia, PLN hanya perlu mengetahui harga beli listrik per kWh yang ditawarkan peserta tender sudah kompetitif atau tidak. Berbeda, jika pembangun pembangkit adalah PLN.
"Maka, PLN memang perlu melihat kalorinya karena terkait dengan besarnya emisi dan luas area untuk stok batu bara," katanya.
Dia menambahkan, batu bara berkalori rendah membutuhkan teknologi penurun emisi, sehingga biaya menjadi lebih besar dibandingkan memakai batu bara kadar tinggi.
Demikian pula, kebutuhan area atau lahan sebagai tempat stok batu bara kalori rendah akan lebih luas, sehingga memerlukan biaya yang juga lebih mahal ketimbang kalori tinggi.
Tender PLTU Sumsel 9 berkapasitas 2x600 MW dan 10 1x600 MW dilakukan dengan skema kemitraan pemerintah-swasta (KPS). Sejumlah investor dalam dan luar negeri sudah dinyatakan lolos proses prakualifikasi proyek dengan perkiraan investasi USD3 miliar tersebut.
Saat tahap prakualifikasi itu, peserta tidak dibatasi pada batu bara kategori tertentu. Namun, belakangan dalam dokumen tender request for proposal (RFP), peserta dibatasi hanya yang memiliki batu bara di bawah 3.000 kkal/kg.
PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) sebagai salah satu peserta lolos prakualifikasi mempertanyakan kebijakan pembatasan kalori batu bara tersebut. Pembatasan tersebut dinilai bakal mengurangi kompetisi dan kredibilitas proses tender.
"Kami sudah sampaikan ke PLN untuk lebih concern pada tarif listrik yang kompetitif dan bukan dengan membatasi kadar batu baranya," kata Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Joko Pramono.
Menurut dia, pembatasan kadar batu bara hanya di bawah 3.000 kkal/kg justru membuat tarif listrik kemungkinan menjadi tidak kompetitif. Alasannya, harga batu bara kalori rendah dan tinggi tidak terlalu berbeda jauh. Sementara, kebutuhan batu bara untuk membangkitkan listrik dengan daya yang sama antara kalori tinggi dan rendah berbeda cukup jauh.
"Untuk kalori rendah membutuhkan batu bara hingga 8 juta ton per tahun, sementara kalau kalori tinggi cukup 5 juta ton," ungkap dia.
(rna)