RUU Panas Bumi Disahkan Jadi Undang-Undang

Selasa, 26 Agustus 2014 - 17:50 WIB
RUU Panas Bumi Disahkan Jadi Undang-Undang
RUU Panas Bumi Disahkan Jadi Undang-Undang
A A A
JAKARTA - Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengagendakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Panas Bumi menjadi UU Panas Bumi. Pimpinan Rapat Paripurna Pramono Anung menyampaikan, melalui pendapat akhir pemerintah atas RUU Panas Bumi, maka dengan ini beleid tersebut sah menjadi UU.

"Apakah RUU Panas Bumi sah dalam UU? Ya semua sepakat," kata Pramono sembari mengetok palu, tanda telah disahkannya RUU Panas Bumi menjadi UU, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/8/2014).

Sebelum pengesahan, Menteri ESDM, Jero Wacik menyampaikan beberapa konsepsi dan pokok-pokok pengaturan yang terkandung dalam RUU tentang Panas Bumi hasil pembahasan bersama DPR dan pemerintah.

Dia menyebut, pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan dalam pengertian kegiatan pertambangan. "Kemudian landasan filosofis kegiatan panas bumi sebagai bagian pemanfaatan sumber daya alam bertumpu pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Ini merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara serta penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah," katanya.

Jero menambahkan, kewenangan penyelenggaran panas bumi dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten kota untuk pemanfaatan langsung dan tidak langsung.

Pihaknya menyebut, kewenangan pemerintah untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan pemanfaatan dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Layanan Umum.

"Dalam beleid panas bumi juga ada pengaturan yang lebih rinci mengenai pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung maupun tidak langsung," ujarnya.

Di samping itu, pembinaan dan pengawasan terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) Panas Bumi akibat dari perubahan yang semula dilakukan oleh pemeritah daerah beralih menjadi kewenangan pemerintah.

"Dalam aturan panas bumi juga ada pengaturan ketentuan peralihan yang lebih jelas untuk pengelolaan wilayah kerja panas bumi yang telah ada sebelum diterbitkannya UU ini," ujarnya.

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Rida Mulyana menyampaikan, setelah disahkan Kementerian ESDM kemudian menunggu respon investor terhadap pengesahaan tersebut. Melalui beleid ini diharapkan proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) kian masif.

"Sekarang tinggal investornya saja berbondong-bondong. Nanti kita akan melakukan lelang kembali Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP)," kata dia.

Dia mengatakan, sebelum adanya UU Panas Bumi yang baru, pemerintah mengacu pada UU No. 7/2003 tentang panas bumi dalam menjalankan proyek geothermal bagi pembangkit listrik. Acuan ini berdampak pada persoalan lahan.

"Potensi geothermal banyak berada di hutan konservasi. Kemudian acuan UU yang lama menegaskan bahwa panas bumi itu merupakan kegiatan pertambangan. Jadi ini bertabrakan," kata Rida.

Selain persoalan lahan, swasta juga mempertanyakan dengan harga jual beli listrik yang nanti dibeli oleh PT PLN (Persero). Swasta menganggap harga jual beli listrik melalui geothermal kurang kompetitif sehingga memengaruhi Internal Rate of Return (IRR) dalam investasi.

Guna menyelesaikan persoalan tarif ini, Kementerian ESDM sejak 1 Juni 2014 lalu telah menerbitkan Permen ESDM No. 17/2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik Dari PLTP Dan Uap Panas Bumi Untuk PLTP Oleh PLN.

"Pak Menteri sudah sampaikan sudah keluarkan Permen tentang tarif. Jadi seharusnya memang tidak ada masalah lagi. Tinggal investor saja melakukan investasi pada PLTP," tutup Rida.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0355 seconds (0.1#10.140)