Perbanas Perkuat Industri Produk Substitusi Impor
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) mendorong peran aktif perbankan dalam mengembangkan substitusi impor untuk memperkuat perekonomian nasional. Hal itu disampaikan Perbanas dengan menyelenggarakan Indonesia Banking Expo (IBEX) 2014 pada tanggal 28-30 Agustus 2014 yang diikuti sekitar 70 bank dan perusahaan lainnya.
Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono menyatakan besarnya defisit neraca perdagangan disebabkan banyaknya barang yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Sementara diyakini barang-barang yang dibutuhkan tersebut sedianya dapat diproduksi di dalam negeri.
“Kami ingin mendukung pembangunan melalui pengurangan beban impor dalam neraca pembayaran. Strateginya dengan mendorong industri substitusi impor di Indonesia,” ujar Sigit dalam pembukaan IBEX 2014 di Jakarta, Kamis (28/8/2014).
Dia mengatakan, dalam IBEX ini Perbanas ingin memfasilitasi diskusi antara masyarakat dan industri perbankan. Diharapkan muncul solusi untuk mendukung industri substitusi produk-produk impor dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
“Semoga ada inovasi baru dari generasi muda untuk melihat secara langsung sejarah dan kontribusi perbankan terhadap perekonomian bangsa. Ini yang akan kita sampaikan ke pemerintahan baru,” ujarnya.
Dia berharap masyarakat dapat lebih sadar memanfaatkan bank untuk mengembangkan potensi perekonomian dalam negeri. Terlebih Indonesia disebut sebagai pasar terbesar ketiga di Asia, yang artinya juga pasar potensial bagi industri lokal. Terlebih lagi proyeksi di 2025, terdapat puncak bonus demografi dimana usia produktif yang mendominasi.
“Perbankan memiliki peran strategis untuk mendorong peran penduduk usia produktif. Tidak hanya secara finansial, namun juga memproduksi produk-produk buatan sendiri yang berkualitas," terangnya.
Lebih lanjut Sigit berharap kedepan akan ada peningkatan tren pembiayaan yang mendukung pembiayaan industri produk subsitusi impor. Hal ini harus diprioritaskan sebab peran perbankan sebagai sumber pembiayaan akan terus meningkat. Sehingga nantinya dapat membantu mengurangi tekanan devisa dalam APBN.
"Kami membiayai industri yang selama ini jadi nasabah kami, yang menghasilkan barang substitusi impor. Mengutamakan industri yang bisa diproduksi di dalam negeri," ujarnya.
Namun dia juga mengingatkan penyaluran kredit perbankan untuk industri substitusi impor masih belum terdata. Hal ini disebabkan belum adanya definisi dan kriteria resmi industri substitusi impor dari sejumlah regulator Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Perindustrian.
"Sampai saat ini belum ada kesamaan persepsi apa saja yang termasuk industri substitusi impor. Kalau kami melihatnya sebagai industri yang mengolah bahan baku menjadi produk jadi. Dan selama ini pemenuhannya bergantung pada impor,” katanya.
Kondisi ini mempersulit pemetaan data serta rekapitulasi nilai penyaluran kredit perbankan untuk industri substitusi impor. Kalaupun ada, data tersebut tersebar berserakan di masing-masing bank yang tentu bisa saja memiliki kriteria yang berbeda-beda.
“Itu sebabnya sampai akhir semester I 2014, kami sendiri belum mengetahui secara persis berapa nilai penyaluran kredit industri substitusi impor serta pertumbuhannya dibanding periode yang sama tahun lalu. Di data OJK maupun BPS juga tidak ada,” ujarnya.
Namun Sigit mengakui porsi kredit perbankan untuk industri substitusi impor secara umum masih minim. Ada tiga faktor penyebab banyak bank masih enggan menyalurkan kredit dalam jumlah besar. Antara lain pembayaran angsuran kredit yang belum lancar, laporan keuangan yang belum sehat, dan prospek bisnis industri substitusi impor yang belum bagus.
“Tak cukup hanya mengandalkan peran perbankan, harus juga diikuti sejumlah kebijakan dari pemerintah untuk mendorong peningkatan pembiayaan perbankan di industri substitusi impor,” terangnya.
Kebijakan yang dimaksud adalah memperketat keran impor agar pasar Indonesia tak terlalu dibanjiri produk impor dengan harga yang murah. Selain itu juga harus ada insentif seperti keringanan pajak, keringanan bea masuk, dan pembangunan infrastruktur.Kombinasi berbagai kebijakan tersebut diyakini akan membuat produk industri substitusi impor mampu bersaing di pasar domestik.
“Jika prospek industri substitusi impor semakin bagus, saya yakin perbankan akan semakin gencar menyalurkan kredit,” sebutnya.
Dalam acara ini, Perbanas juga melibatkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan serta lembaga pemerintahan lainnya. Dengan hadirnya pemangku kepentingan utama dan pelaku industri perbankan, diharapkan akan terjadi pertukaran pemikirian yang memiliki nilai strategis bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono menyatakan besarnya defisit neraca perdagangan disebabkan banyaknya barang yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Sementara diyakini barang-barang yang dibutuhkan tersebut sedianya dapat diproduksi di dalam negeri.
“Kami ingin mendukung pembangunan melalui pengurangan beban impor dalam neraca pembayaran. Strateginya dengan mendorong industri substitusi impor di Indonesia,” ujar Sigit dalam pembukaan IBEX 2014 di Jakarta, Kamis (28/8/2014).
Dia mengatakan, dalam IBEX ini Perbanas ingin memfasilitasi diskusi antara masyarakat dan industri perbankan. Diharapkan muncul solusi untuk mendukung industri substitusi produk-produk impor dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
“Semoga ada inovasi baru dari generasi muda untuk melihat secara langsung sejarah dan kontribusi perbankan terhadap perekonomian bangsa. Ini yang akan kita sampaikan ke pemerintahan baru,” ujarnya.
Dia berharap masyarakat dapat lebih sadar memanfaatkan bank untuk mengembangkan potensi perekonomian dalam negeri. Terlebih Indonesia disebut sebagai pasar terbesar ketiga di Asia, yang artinya juga pasar potensial bagi industri lokal. Terlebih lagi proyeksi di 2025, terdapat puncak bonus demografi dimana usia produktif yang mendominasi.
“Perbankan memiliki peran strategis untuk mendorong peran penduduk usia produktif. Tidak hanya secara finansial, namun juga memproduksi produk-produk buatan sendiri yang berkualitas," terangnya.
Lebih lanjut Sigit berharap kedepan akan ada peningkatan tren pembiayaan yang mendukung pembiayaan industri produk subsitusi impor. Hal ini harus diprioritaskan sebab peran perbankan sebagai sumber pembiayaan akan terus meningkat. Sehingga nantinya dapat membantu mengurangi tekanan devisa dalam APBN.
"Kami membiayai industri yang selama ini jadi nasabah kami, yang menghasilkan barang substitusi impor. Mengutamakan industri yang bisa diproduksi di dalam negeri," ujarnya.
Namun dia juga mengingatkan penyaluran kredit perbankan untuk industri substitusi impor masih belum terdata. Hal ini disebabkan belum adanya definisi dan kriteria resmi industri substitusi impor dari sejumlah regulator Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Perindustrian.
"Sampai saat ini belum ada kesamaan persepsi apa saja yang termasuk industri substitusi impor. Kalau kami melihatnya sebagai industri yang mengolah bahan baku menjadi produk jadi. Dan selama ini pemenuhannya bergantung pada impor,” katanya.
Kondisi ini mempersulit pemetaan data serta rekapitulasi nilai penyaluran kredit perbankan untuk industri substitusi impor. Kalaupun ada, data tersebut tersebar berserakan di masing-masing bank yang tentu bisa saja memiliki kriteria yang berbeda-beda.
“Itu sebabnya sampai akhir semester I 2014, kami sendiri belum mengetahui secara persis berapa nilai penyaluran kredit industri substitusi impor serta pertumbuhannya dibanding periode yang sama tahun lalu. Di data OJK maupun BPS juga tidak ada,” ujarnya.
Namun Sigit mengakui porsi kredit perbankan untuk industri substitusi impor secara umum masih minim. Ada tiga faktor penyebab banyak bank masih enggan menyalurkan kredit dalam jumlah besar. Antara lain pembayaran angsuran kredit yang belum lancar, laporan keuangan yang belum sehat, dan prospek bisnis industri substitusi impor yang belum bagus.
“Tak cukup hanya mengandalkan peran perbankan, harus juga diikuti sejumlah kebijakan dari pemerintah untuk mendorong peningkatan pembiayaan perbankan di industri substitusi impor,” terangnya.
Kebijakan yang dimaksud adalah memperketat keran impor agar pasar Indonesia tak terlalu dibanjiri produk impor dengan harga yang murah. Selain itu juga harus ada insentif seperti keringanan pajak, keringanan bea masuk, dan pembangunan infrastruktur.Kombinasi berbagai kebijakan tersebut diyakini akan membuat produk industri substitusi impor mampu bersaing di pasar domestik.
“Jika prospek industri substitusi impor semakin bagus, saya yakin perbankan akan semakin gencar menyalurkan kredit,” sebutnya.
Dalam acara ini, Perbanas juga melibatkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan serta lembaga pemerintahan lainnya. Dengan hadirnya pemangku kepentingan utama dan pelaku industri perbankan, diharapkan akan terjadi pertukaran pemikirian yang memiliki nilai strategis bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
(gpr)