Pemerintah Dinilai Lebih Takut Kelas Menengah-Atas
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan bahwa masalah bahan bakar minyak (BBM) seperti kanker ganas karena sudah mempengaruhi ke perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Soal BBM bersubsidi, menurut dia, pemerintah lebih takut kepada masyarakat kelas menengah dan atas ketimbang rakyat kecil. "Pemerintah itu takut terhadap rakyat menengah ke atas, bukan rakyat kecil," kata dia di Jakarta, Minggu (7/9/2014).
Dia menjelaskan, konsumsi premium naik terus selama 5 tahun mencapai 29,3 kiloliter (KL) dan premium yang mendapat subsidi. Sementara solar tidak mengalami hal serupa dan justru kuotanya dikurangi untuk angkutan-angkutan umum.
Padalah, Faisal menuturkan, subsisidi BBM itu saat ini lebih besar daripada APBN.
"APBN kita saja sebagian besar digunakan untuk membiayai subsidi BBM. Kalau itu (susbsidi BBM) semakin membesar, APBN kita akan berutang. Secara tidak langsung, subsidi BBM kita sudah dibayar dari utang. Artinya, kalau tidak ada subsidi BBM, APBN kita surplus," ujarnya.
Faisal menuturkan, Indonesia jangan sampai kehilangan kemandirian karena semakin banyak impor minyak akibat cadangan minyak yang semakin menyusut.
"Artinya, yang kita keruk itu, lebih banyak dari yang kita dapat. Produksi turun terus di bawah 800 barel per hari, sedangkan harga makin tinggi," ujarnya.
Untuk itu, menurut dia, seharusnya pemerintah Indonesia dan masyarakat Indonesia harus menata diri agar memiliki kemampuan untuk mandiri.
"Kita harus tata diri kita agar kita punya kemampuan, tidak terombang ambing terhadap situasi seperti ini khususnya terhadap kondisi geopolitik dunia yang akan mengganggu impor kita," tutur dia.
Soal BBM bersubsidi, menurut dia, pemerintah lebih takut kepada masyarakat kelas menengah dan atas ketimbang rakyat kecil. "Pemerintah itu takut terhadap rakyat menengah ke atas, bukan rakyat kecil," kata dia di Jakarta, Minggu (7/9/2014).
Dia menjelaskan, konsumsi premium naik terus selama 5 tahun mencapai 29,3 kiloliter (KL) dan premium yang mendapat subsidi. Sementara solar tidak mengalami hal serupa dan justru kuotanya dikurangi untuk angkutan-angkutan umum.
Padalah, Faisal menuturkan, subsisidi BBM itu saat ini lebih besar daripada APBN.
"APBN kita saja sebagian besar digunakan untuk membiayai subsidi BBM. Kalau itu (susbsidi BBM) semakin membesar, APBN kita akan berutang. Secara tidak langsung, subsidi BBM kita sudah dibayar dari utang. Artinya, kalau tidak ada subsidi BBM, APBN kita surplus," ujarnya.
Faisal menuturkan, Indonesia jangan sampai kehilangan kemandirian karena semakin banyak impor minyak akibat cadangan minyak yang semakin menyusut.
"Artinya, yang kita keruk itu, lebih banyak dari yang kita dapat. Produksi turun terus di bawah 800 barel per hari, sedangkan harga makin tinggi," ujarnya.
Untuk itu, menurut dia, seharusnya pemerintah Indonesia dan masyarakat Indonesia harus menata diri agar memiliki kemampuan untuk mandiri.
"Kita harus tata diri kita agar kita punya kemampuan, tidak terombang ambing terhadap situasi seperti ini khususnya terhadap kondisi geopolitik dunia yang akan mengganggu impor kita," tutur dia.
(rna)