Pengamat: Subsidi Langsung Jadi Solusi Masalah Penyaluran BBM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lonjakan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi di momen-momen tertebtu, seperti mudik Lebaran dinilai sebagai momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mulai menjalankan kebijakan subsidi langsung dalam penyaluran BBM. Kebijakan itu dinilai sebagai solusi utama untuk menyelesaikan masalah lonjakan konsumsi dan membengkaknya subsidi BBM yang sudah terjadi bertahun-tahun.
"Kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi kepada produk BBM dapat dipahami, tapi cara tersebut justru menyulitkan pemerintah sendiri," ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam keterangan tertulis, Minggu (1/5/2022).
Dia mengatakan, masalah yang ditimbulkan dari mekanisme subsidi BBM ini terbukti dari fakta bahwa pemerintah malah harus menambah kuota solar bersubsidi dari 15 juta kiloliter (KL) menjadi 17 juta KL tahun ini. Demikian pula dengan pertalite yang kini menjadi BBM penugasan, kuotanya terpaksa ditingkatkan 5 juta KL dari 23 juta KL menjadi 28 juta KL.
Marwan mengatakan, meski memproduksi migas, Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara seperti Arab Saudi atau negara produsen minyak besar lainnya. Karena itu, pemerintah perlu menerapkan harga dengan prinsip keekonomian yang jelas.
"Pertimbangkan berbagai komponen pembentuk harga seperti bahan mentah, harga crude yang diimpor, biaya pengilangan, biaya penyimpanan. Belum lagi ada biaya distribusi, margin dan pajak. Itu yang menjadi harga keekonomian," katanya.
Dia mengatakan, harga keekonomian BBM saat ini bisa dirujuk pada harga produk BBM yang dipasarkan oleh badan usaha swasta. Dari situ dapat dilihat bahwa harga jual produk BBM Pertamina saat ini seluruhnya berada di bawah harga keekonomian.
Menurut Marwan, masyarakat Indonesia memang masih membutuhkan bantuan berupa subsidi untuk urusan bahan bakar. Namun, bukan dengan mekanisme seperti sekarang.
Dengan memberlakukan mekanisme subsidi langsung, Marwan mengatakan bahwa harga BBM yang dijual di pasar nantinya tak lagi ada perbedaan. Dengan demikian, persoalan penyelahgunaan BBM bersubsidi pun dapat ditekan.
"Jadi negara hanya menyubsidi orang yang memang layak. Nanti anggaran untuk subsidi itu juga akan lebih rendah ketimbang sekarang dimana yang disubsidi masih berupa barang," jelas Marwan.
Dia menambahkan, mekanisme subsidi langsung ini pun akan membuat badan usaha mampu bertahan dan beroperasi meskipun dibebani penugasan untuk menyalurkan BBM. Cara terbaik, tegas dia, adalah dengan membiarkan badan usaha menjalankan operasinya tanpa harus menanggung beban keuangan akibat subsidi.
"Sebenarnya formulanya sudah ada. Yang saya maksud itu supaya harga keekonomian yang diterapkan dan subsidinya langsung," tandasnya.
"Kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi kepada produk BBM dapat dipahami, tapi cara tersebut justru menyulitkan pemerintah sendiri," ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam keterangan tertulis, Minggu (1/5/2022).
Dia mengatakan, masalah yang ditimbulkan dari mekanisme subsidi BBM ini terbukti dari fakta bahwa pemerintah malah harus menambah kuota solar bersubsidi dari 15 juta kiloliter (KL) menjadi 17 juta KL tahun ini. Demikian pula dengan pertalite yang kini menjadi BBM penugasan, kuotanya terpaksa ditingkatkan 5 juta KL dari 23 juta KL menjadi 28 juta KL.
Marwan mengatakan, meski memproduksi migas, Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara seperti Arab Saudi atau negara produsen minyak besar lainnya. Karena itu, pemerintah perlu menerapkan harga dengan prinsip keekonomian yang jelas.
"Pertimbangkan berbagai komponen pembentuk harga seperti bahan mentah, harga crude yang diimpor, biaya pengilangan, biaya penyimpanan. Belum lagi ada biaya distribusi, margin dan pajak. Itu yang menjadi harga keekonomian," katanya.
Dia mengatakan, harga keekonomian BBM saat ini bisa dirujuk pada harga produk BBM yang dipasarkan oleh badan usaha swasta. Dari situ dapat dilihat bahwa harga jual produk BBM Pertamina saat ini seluruhnya berada di bawah harga keekonomian.
Menurut Marwan, masyarakat Indonesia memang masih membutuhkan bantuan berupa subsidi untuk urusan bahan bakar. Namun, bukan dengan mekanisme seperti sekarang.
Dengan memberlakukan mekanisme subsidi langsung, Marwan mengatakan bahwa harga BBM yang dijual di pasar nantinya tak lagi ada perbedaan. Dengan demikian, persoalan penyelahgunaan BBM bersubsidi pun dapat ditekan.
"Jadi negara hanya menyubsidi orang yang memang layak. Nanti anggaran untuk subsidi itu juga akan lebih rendah ketimbang sekarang dimana yang disubsidi masih berupa barang," jelas Marwan.
Dia menambahkan, mekanisme subsidi langsung ini pun akan membuat badan usaha mampu bertahan dan beroperasi meskipun dibebani penugasan untuk menyalurkan BBM. Cara terbaik, tegas dia, adalah dengan membiarkan badan usaha menjalankan operasinya tanpa harus menanggung beban keuangan akibat subsidi.
"Sebenarnya formulanya sudah ada. Yang saya maksud itu supaya harga keekonomian yang diterapkan dan subsidinya langsung," tandasnya.
(fai)