BI Genjot Pengenalan Pembayaran Non Tunai
A
A
A
SURABAYA - Bank Indonesia (BI) serius memperkenalkan pembayaran melalui elektronik atau non tunai kepada masyarakat.
Saat ini, proses pemakaian pembayaran non tunai di Indonesia mencapai 0,6% dalam perdagangan ritel.
Jumlah pengguna pembayaran non tunai masih relatif kecil dibandingkan pembayaran tunai. Fakta ini berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Karena, negara-negara tersebut sudah menggunakan pembayaran elektronik di toko-toko maupun keperluan umum lainnya.
"Indonesia pembayaran non tunai hanya 0,6%, sedangkan pembayaran tunai mencapai 99,4%," kata Kepala Divisi Kebijakan dan Pengembangan Sistim Pembayaran BI Yura A Djalins, Rabu (15/10/2014).
Yura mengatakan, dari catatan yang ada, Indonesia tertinggal dari negara lain. Untuk Thailand penggunaan non tunai mencapai 97,2%, sedangkan Malaysia sebesar 92,3%, Singapura sebesar 55,5%.
Atas fakta ini, BI ingin agar masyarakat mengenal sistem pembayaran tersebut. Untuk itu, BI aktif mensosialisasikan di beberapa Perguruan Tinggi (PT) di Jawa Timur.
Uang elektronik, kata dia, merupakan uang digital yang digunakan untuk transaksi internet dengan cara elektronik.
Biasanya, transaksi ini melibatkan penggunaan jaringan internet dan sistm penyimpanan harga digital.
Memiliki nilai tersimpan atau prabayar, di mana sejumlah nilai uang disimpan pada saat konsumen menggunakannya untuk pembayaran dengan berbagai macam jenis pembayaran.
Tercatat hingga kuartal II/2014, uang eletronik yang digunakan orang Indonesia masih di bawah Rp12 miliar, dengan jumlah transaksi sebanyak 25 juta.
Sementara, penggunaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), yaitu kartu kredit, ATM, dan debet, juga masih rendah. Untuk kartu kredit tercatat sebanyak Rp750 miliar. Kemudian karti debet atau ATM sebanyak Rp12 triliun hingga Rp14 triliun.
Rendahnya penggunaan uang elektronik dan non tunai lainnya, karena masih adanya perilaku masyarakat yang lebih percaya dengan uang tunai.
"Masyarakat juga belum memahami keberadaan instrument non-tunai. Kemudian infrastruktur yang belum merata sebarannya dan belum terstandarisasi, serta interkoneksi yang masih terbatas," jelas Yura.
Saat ini, BI terus menggandeng perbankan dan sosialisasi ke kalangan akademisi sebagai level dasar yang bisa menjadi alat edukasi ke masyarakat umum.
Lebih lanjut, dia menyebutkan, beberapa langkah yang bisa memengarui demand penggunaan uang elektronik adalah dengan mendorong perubahan prilaku dengan kewajiban penggunaan uang elektronik, seperti untuk pembayaran ongkos Transjakarta dan Kereta Cepat Jakarta (KCJ).
"Kemudian adanya pembatasan transaksi tunai, program bantuan pemerintah secara non tunai. Salah satu pilot projectnya ada di Beji Pasuruan, dan lembaga pemerintahan yang menggunakan pembayaran non tunai untuk PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak)," ungkapnya.
Saat ini, proses pemakaian pembayaran non tunai di Indonesia mencapai 0,6% dalam perdagangan ritel.
Jumlah pengguna pembayaran non tunai masih relatif kecil dibandingkan pembayaran tunai. Fakta ini berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Karena, negara-negara tersebut sudah menggunakan pembayaran elektronik di toko-toko maupun keperluan umum lainnya.
"Indonesia pembayaran non tunai hanya 0,6%, sedangkan pembayaran tunai mencapai 99,4%," kata Kepala Divisi Kebijakan dan Pengembangan Sistim Pembayaran BI Yura A Djalins, Rabu (15/10/2014).
Yura mengatakan, dari catatan yang ada, Indonesia tertinggal dari negara lain. Untuk Thailand penggunaan non tunai mencapai 97,2%, sedangkan Malaysia sebesar 92,3%, Singapura sebesar 55,5%.
Atas fakta ini, BI ingin agar masyarakat mengenal sistem pembayaran tersebut. Untuk itu, BI aktif mensosialisasikan di beberapa Perguruan Tinggi (PT) di Jawa Timur.
Uang elektronik, kata dia, merupakan uang digital yang digunakan untuk transaksi internet dengan cara elektronik.
Biasanya, transaksi ini melibatkan penggunaan jaringan internet dan sistm penyimpanan harga digital.
Memiliki nilai tersimpan atau prabayar, di mana sejumlah nilai uang disimpan pada saat konsumen menggunakannya untuk pembayaran dengan berbagai macam jenis pembayaran.
Tercatat hingga kuartal II/2014, uang eletronik yang digunakan orang Indonesia masih di bawah Rp12 miliar, dengan jumlah transaksi sebanyak 25 juta.
Sementara, penggunaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), yaitu kartu kredit, ATM, dan debet, juga masih rendah. Untuk kartu kredit tercatat sebanyak Rp750 miliar. Kemudian karti debet atau ATM sebanyak Rp12 triliun hingga Rp14 triliun.
Rendahnya penggunaan uang elektronik dan non tunai lainnya, karena masih adanya perilaku masyarakat yang lebih percaya dengan uang tunai.
"Masyarakat juga belum memahami keberadaan instrument non-tunai. Kemudian infrastruktur yang belum merata sebarannya dan belum terstandarisasi, serta interkoneksi yang masih terbatas," jelas Yura.
Saat ini, BI terus menggandeng perbankan dan sosialisasi ke kalangan akademisi sebagai level dasar yang bisa menjadi alat edukasi ke masyarakat umum.
Lebih lanjut, dia menyebutkan, beberapa langkah yang bisa memengarui demand penggunaan uang elektronik adalah dengan mendorong perubahan prilaku dengan kewajiban penggunaan uang elektronik, seperti untuk pembayaran ongkos Transjakarta dan Kereta Cepat Jakarta (KCJ).
"Kemudian adanya pembatasan transaksi tunai, program bantuan pemerintah secara non tunai. Salah satu pilot projectnya ada di Beji Pasuruan, dan lembaga pemerintahan yang menggunakan pembayaran non tunai untuk PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak)," ungkapnya.
(izz)