Prospek Bisnis Properti Terkendala Koordinasi Kebijakan

Sabtu, 18 Oktober 2014 - 02:21 WIB
Prospek Bisnis Properti...
Prospek Bisnis Properti Terkendala Koordinasi Kebijakan
A A A
BANDUNG - Tingginya prospek bisnis properti di Indonesia masih terkendala koordinasi antar lembaga berwenang yang mengeluarkan kebijakan. Oleh karenanya, pada pemerintahan baru nanti, perlu pembenahan dalam koordinasi khususnya bidang perumahan.

Demikian dikatakan Ketua Dewan Kehormatan Real Estate Indonesia (REI) Enggar Triasto Lukita di sela-sela Musyawarah Daerah DPD REI Jabar yang bertema Peluang dan Tantangan Bisnis Properti di Jabar pada Era Pemerintahan Baru yang berlangsung di Hotel Harris Bandung, Kamis (16/10/2014).

"Ada kesan tumpang tindih kebijakan mengenai perumahan antarlembaga yang berwenang. Koordinasi antarlembaga tersebut mesti lebih diperbaiki lagi di era pemerintahan baru," katanya.

Menurutnya, koordinasi antarlembaga harus lebih fokus bagaimana mencapai tujuan dan hasil akhirnya. Sehingga perlu ada kebijakan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga.

Dia menyarankan, langkah yang perlu diambil oleh pemerintahan baru dalam mengatasi masalah perumahan di antaranya adalah memprioritaskan rumah-rumah kumuh seperti perumahan dan kampung nelayan.

"Misal, pengembangan perumahan bagi para nelayan yang bisa diusahakan oleh pemerintah baru. Dalam hal ini yang perlu melakukan koordinasi yang baik adalah Kementerian Perumahan dengan Kementerian Kelautan," katanya.

Contoh berikutnya, tambah pria berdarah asli Cirebon ini, pengembangan perumahan di kawasan industri. "Tentu saja, koordinasinya antara Kementerian Perumahan dan Kementerian Perindustrian," tuturnya.

Dia menambahkan, lemahnya koordinasi tidak hanya antar lembaga pemerintahan, tetapi juga pada tataran kebijakan pemerintah dengan pelaksana pembangunan baik itu dengan pemerintah, swasta, dan swadaya masyarakat.

"Ada juga ketidaksinkronan dalam kebijakan pembangunan kota dengan fasilitas umum yang bersistem transportasi umum secara nasional," sebutnya.

Selain itu, koordinasi yang lemah juga terlihat pada kebijakan serta peraturan tentang pertanahan yang berkaitan dengan penerapan tata ruang. Seperti land banking skala besar dan upaya optimalisasi pemanfaatan lahan terlantar dan tidak produktif, baik milik swasta maupun pemerintah.

"Beberapa tahun lalu telah ada kesepakatan yang berisi pengembangan kawasan industri. Dimana di kawasan industri harus terdapat perumahan. Tetapi pada kenyataannya tidak terlaksana. Padahal kesepakatannya masih berlaku," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pada pemerintahan yang baru ini, negara harus hadir untuk mengatasi beragam permasalahan perumahan. "Pada pelaksanaannya bisa dengan memberi kemudahan dalam perizinan. Atau memberi insentif seperti biaya perizinan yang murah.

Dia menambahkan, sejauh ini kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih menjadi pangsa pasar terbesar untuk bisnis properti. Namun, kata dia, MBR ini tidak perlu dipaksakan untuk membeli rumah di perkotaan. Sebab harga perumahan di kota sudah sangat tinggi.

"Beri kesempatan MBR ini agar bisa memiliki rumah. Jangan di tengah kota yang melangit harganya. Cari lokasi yang sesuai," ucapnya.

Dia berpendapat, terkait rumah mewah sebaiknya pemerintah tidak perlu banyak campur tangan. Pemerintah hanya perlu menerbitkan regulasinya.

Adapun terkait back log angkanya melebihi 10 juta unit, walaupun tidak ada angka yang pasti. Sebab selama ini belum ada data yang berdasarkan parameter dan penghitungan yang sama.

"Harus ada angka yang sama atau minimalnya mendekati. Ini untuk membantu program pembangunan perumahan. Parameter yang digunakan harus sama," katanya.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0909 seconds (0.1#10.140)