Batik Madura Joko Tole Tembus Pasar Mancanegara
A
A
A
BERAWAL dari kepeduliannya menjaga ikon masyarakat Madura dari kepunahan, Uswatun Hasanah berhasil mengembangkan usaha batik tulis.
Mengusung nama Joko Tole Collection, batik khas Madura yang dirintisnya tersebut sukses menembus pasar mancanegara dengan omzet hingga Rp106 juta per bulan.
Uswatun menuturkan, awal usahanya pada 2011. Saat itu, dia mendengar keluhan para perajin batik Madura di daerahnya yang sudah putus asa. Wanita kelahiran Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura ini tergerak hatinya untuk turun tangan membantu penjualan.
Padahal, saat itu profesinya adalah seorang dosen. Namun, dia tidak bisa berdiam diri mendengar para perajin batik di Desa Tanjung Bumi sepi order. Mereka kalah bersaing dengan batik-batik impor dan batik lokal lainnya.
"Penjualan yang saya lakukan ternyata laris. Lalu, saya merekrut dua perajin menjadi karyawan ditambah dua pekerja lepas. Hingga akhirnya saat ini ada enam perajin tetap dan didukung 22 komunitas perajin lepas," ujar Uswatun saat ditemui di Desa Macajah, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur (Jatim).
Niat awal untuk menyelamatkan nasib batik Madura dan membantu masyarakat sekitar itu kini menjadi usaha yang sangat menguntungkan.
Batik-batik produk Uswatun dan komunitasnya, kini sudah bisa menembus pasar ekspor ke tiga negara di Asia, yaitu Jepang, Malaysia dan China.
Sampai saat ini, usahanya hanya dilakukan dengan bendera usaha kecil dan menengah (UKM) Joko Tole Collection.
Nama itu dia ambil dari pahlawan daerah Madura dengan harapan, usaha batik yang dibangunnya memberi manfaat dan menyelamatkan kehidupan masyarakat.
"Awalnya juga tidak pakai modal. Konsepnya hanya rumah produksi batik tulis, berbentuk UKM karena ternyata rumit mengurus izin usaha. Pokoknya ikon Madura jangan berhenti," tegas Uswatun.
Berbekal ilmu akademisnya sebagai dosen kewirausahaan di Universitas Trunojoyo, Madura, dia terus mengembangkan usaha. Uswatun mengumpulkan para perajin di daerahnya untuk kembali membatik dengan modal yang dikeluarkannya sendiri.
Dia mengatakan ada dua jenis batik yang diproduksi Joko Tole, yakni batik tulis Madura dan batik Gentongan yang harganya lebih mahal. Warna batik Madura biasanya didominasi kesan warna yang ‘berani’, seperti merah, kuning, hijau.
Pemilihan warna tersebut bukan tanpa alasan. Warna merah merupakan perlambang keberanian masyarakat Madura untuk membela harga dirinya. Warna hijau melambangkan religi masyarakat.
Selanjutnya, warna kuning pertanda kesuburan dari padi yang dibutuhkan masyarakat agraris. Biru identik dengan laut yang menjadi kultur masyarakat setempat.
"Khususnya di Jepang, mereka membutuhkan nilai sejarah dan filosofis batik yang kami produksi. Ini yang harus dikembangkan untuk mendorong nilai jual kita," terangnya.
Keunikan batik Madura adalah proses pembuatannya. Batik Gentongan merupakan salah satu tradisi membatik di Madura yang paling terkenal. Istilah gentongan karena proses pewarnaan yang terlebih dahulu direndam dalam wadah mirip gentong.
Kain direndam selama dua bulan, kemudian lembaran kain batik disikat untuk menghilangkan sisa lilin/malamnya. Proses macam ini, selain untuk membuat warna batik lebih awet, juga memunculkan warna terang dan gelap pada kain batik.
Batik Gentongan cukup dikenal luas karena kekuatan warnanya yang bisa bertahan hingga puluhan tahun. Karena itu, jangan heran bila batik ini harganya cukup mahal dibandingkan dengan batik biasa.
"Proses membuatnya bisa sampai satu tahun tergantung detail. Warna juga bisa tahan bertahun-tahun asalkan tidak menggunakan deterjen atau mesin cuci," terang Uswatun.
Selain bahan kain dipilih yang terbaik, pewarnaan juga menggunakan bahan alami. Misalnya, dari kayu secang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan warna merah. Atau akar mahoni untuk warna merah bata atau biru dari daun indigo. Namun, ini juga harus dicampur pewarna buatan agar tahan lama.
Dia menuturkan, pada awalnya membangun bisnis batik di daerahnya itu tidak mudah. Persaingan di pasar batik cukup ketat, karena selain harus bersaing dengan batik tulis asli Madura lainnya, pihaknya harus bersaing dengan produk batik dari daerah lain, termasuk batik impor dari China.
Namun dengan cara melakukan promosi, batik Joko Tole perlahan diterima pasar. Sedikit demi sedikit, order pun mulai meningkat.
Usahanya makin berkembang setelah pada 2014, Uswatun terpilih sebagai Wirausaha Binaan Bank Indonesia (WUBI). Produk Jokotole pun semakin dibanjiri pesanan karena BI memberi bantuan dalam promosi.
Pada Agustus 2014, BI Jatim memberikan kesempatan bagi UKM-UKM untuk mendapatkan fasilitas berupa seminar, pelatihan, dan mentoring. Tidak hanya itu, mereka juga disertakan dalam pameran-pameran, baik skala regional maupun nasional.
Setelah ada permintaan buyer potensial dari Jepang, China, dan Malaysia, dia pun mencoba mengurus perizinan untuk ekspor dan ternyata tidak mudah.
"Banyak yang harus saya lalui. Akhirnya saya berinisiatif memakai bendera orang lain untuk ekspor, agar order buyer dari luar bisa terpenuhi. Sementara ini, untuk batik yang dikirim ke luar masih dalam skala kecil, berkisar 60 potong (Jepang), 50 potong (China), dan lebih dari 100 potong (Malaysia)," ungkap Uswatun.
Dia mengungkapkan, untuk batik tulis biasa omzetnya bisa mencapai Rp106 juta per bulan. Namun, Uswatun mengaku sulit menghitung omzet penjualan batik gentongan karena hanya diproduksi berdasarkan pesanan.
Proses pembuatan yang lebih lama membuat batik gentongan menjadi lebih eksklusif. Harga jual batik ini berkisar Rp1,7 juta per helai. Sementara batik celup hanya Rp200 ribu per helai.
Mengusung nama Joko Tole Collection, batik khas Madura yang dirintisnya tersebut sukses menembus pasar mancanegara dengan omzet hingga Rp106 juta per bulan.
Uswatun menuturkan, awal usahanya pada 2011. Saat itu, dia mendengar keluhan para perajin batik Madura di daerahnya yang sudah putus asa. Wanita kelahiran Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura ini tergerak hatinya untuk turun tangan membantu penjualan.
Padahal, saat itu profesinya adalah seorang dosen. Namun, dia tidak bisa berdiam diri mendengar para perajin batik di Desa Tanjung Bumi sepi order. Mereka kalah bersaing dengan batik-batik impor dan batik lokal lainnya.
"Penjualan yang saya lakukan ternyata laris. Lalu, saya merekrut dua perajin menjadi karyawan ditambah dua pekerja lepas. Hingga akhirnya saat ini ada enam perajin tetap dan didukung 22 komunitas perajin lepas," ujar Uswatun saat ditemui di Desa Macajah, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur (Jatim).
Niat awal untuk menyelamatkan nasib batik Madura dan membantu masyarakat sekitar itu kini menjadi usaha yang sangat menguntungkan.
Batik-batik produk Uswatun dan komunitasnya, kini sudah bisa menembus pasar ekspor ke tiga negara di Asia, yaitu Jepang, Malaysia dan China.
Sampai saat ini, usahanya hanya dilakukan dengan bendera usaha kecil dan menengah (UKM) Joko Tole Collection.
Nama itu dia ambil dari pahlawan daerah Madura dengan harapan, usaha batik yang dibangunnya memberi manfaat dan menyelamatkan kehidupan masyarakat.
"Awalnya juga tidak pakai modal. Konsepnya hanya rumah produksi batik tulis, berbentuk UKM karena ternyata rumit mengurus izin usaha. Pokoknya ikon Madura jangan berhenti," tegas Uswatun.
Berbekal ilmu akademisnya sebagai dosen kewirausahaan di Universitas Trunojoyo, Madura, dia terus mengembangkan usaha. Uswatun mengumpulkan para perajin di daerahnya untuk kembali membatik dengan modal yang dikeluarkannya sendiri.
Dia mengatakan ada dua jenis batik yang diproduksi Joko Tole, yakni batik tulis Madura dan batik Gentongan yang harganya lebih mahal. Warna batik Madura biasanya didominasi kesan warna yang ‘berani’, seperti merah, kuning, hijau.
Pemilihan warna tersebut bukan tanpa alasan. Warna merah merupakan perlambang keberanian masyarakat Madura untuk membela harga dirinya. Warna hijau melambangkan religi masyarakat.
Selanjutnya, warna kuning pertanda kesuburan dari padi yang dibutuhkan masyarakat agraris. Biru identik dengan laut yang menjadi kultur masyarakat setempat.
"Khususnya di Jepang, mereka membutuhkan nilai sejarah dan filosofis batik yang kami produksi. Ini yang harus dikembangkan untuk mendorong nilai jual kita," terangnya.
Keunikan batik Madura adalah proses pembuatannya. Batik Gentongan merupakan salah satu tradisi membatik di Madura yang paling terkenal. Istilah gentongan karena proses pewarnaan yang terlebih dahulu direndam dalam wadah mirip gentong.
Kain direndam selama dua bulan, kemudian lembaran kain batik disikat untuk menghilangkan sisa lilin/malamnya. Proses macam ini, selain untuk membuat warna batik lebih awet, juga memunculkan warna terang dan gelap pada kain batik.
Batik Gentongan cukup dikenal luas karena kekuatan warnanya yang bisa bertahan hingga puluhan tahun. Karena itu, jangan heran bila batik ini harganya cukup mahal dibandingkan dengan batik biasa.
"Proses membuatnya bisa sampai satu tahun tergantung detail. Warna juga bisa tahan bertahun-tahun asalkan tidak menggunakan deterjen atau mesin cuci," terang Uswatun.
Selain bahan kain dipilih yang terbaik, pewarnaan juga menggunakan bahan alami. Misalnya, dari kayu secang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan warna merah. Atau akar mahoni untuk warna merah bata atau biru dari daun indigo. Namun, ini juga harus dicampur pewarna buatan agar tahan lama.
Dia menuturkan, pada awalnya membangun bisnis batik di daerahnya itu tidak mudah. Persaingan di pasar batik cukup ketat, karena selain harus bersaing dengan batik tulis asli Madura lainnya, pihaknya harus bersaing dengan produk batik dari daerah lain, termasuk batik impor dari China.
Namun dengan cara melakukan promosi, batik Joko Tole perlahan diterima pasar. Sedikit demi sedikit, order pun mulai meningkat.
Usahanya makin berkembang setelah pada 2014, Uswatun terpilih sebagai Wirausaha Binaan Bank Indonesia (WUBI). Produk Jokotole pun semakin dibanjiri pesanan karena BI memberi bantuan dalam promosi.
Pada Agustus 2014, BI Jatim memberikan kesempatan bagi UKM-UKM untuk mendapatkan fasilitas berupa seminar, pelatihan, dan mentoring. Tidak hanya itu, mereka juga disertakan dalam pameran-pameran, baik skala regional maupun nasional.
Setelah ada permintaan buyer potensial dari Jepang, China, dan Malaysia, dia pun mencoba mengurus perizinan untuk ekspor dan ternyata tidak mudah.
"Banyak yang harus saya lalui. Akhirnya saya berinisiatif memakai bendera orang lain untuk ekspor, agar order buyer dari luar bisa terpenuhi. Sementara ini, untuk batik yang dikirim ke luar masih dalam skala kecil, berkisar 60 potong (Jepang), 50 potong (China), dan lebih dari 100 potong (Malaysia)," ungkap Uswatun.
Dia mengungkapkan, untuk batik tulis biasa omzetnya bisa mencapai Rp106 juta per bulan. Namun, Uswatun mengaku sulit menghitung omzet penjualan batik gentongan karena hanya diproduksi berdasarkan pesanan.
Proses pembuatan yang lebih lama membuat batik gentongan menjadi lebih eksklusif. Harga jual batik ini berkisar Rp1,7 juta per helai. Sementara batik celup hanya Rp200 ribu per helai.
(dmd)