Pemerintah Diminta Fokus Perpanjangan Kontrak Freeport
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta tidak lengah terhadap masalah utama PT Freeport Indonesia, yakni perpanjangan kontrak yang akan berakhir pada 2021.
Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso menilai, pemerintah terlalu asyik terhadap amandemen kontrak karya (KK) pertambagangan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), namun pemerintah lupa masalah strategis justru perpanjangan kontrak.
"Langkah pemerintah memperpanjang negosiasi amendemen kontrak dengan Freeport menunjukan pemerintah terjebak pada substansi kontrak karya," kata dia di Jakarta, Kamis (5/2/2015).
Padahal, menurut dia, Freeport selama hampir 50 tahun tidak memberi manfaat ekonomi yang lebih besar. Freeport, kata dia, seharusnya tidak hanya memberikan kontribusi pada pemerintah, tetapi juga memberikan multiplier effect yang lebih besar.
"Pemerintah harus lebih banyak menyiapkan strategi bagaimana manfaat ekonomi lebih besar bagi bangsa ini dan tidak merengek-rengek lagi tentang smelter," ungkapnya.
Menurut Budi, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kemampuan mengelola sumber daya alam sendiri. Dia berpendapat, kontribusi Freeport terhadap negara perlu ditingkatkan untuk memperbaiki pendapatan asli daerah (PAD).
"Manfaat ekonomi harus dilihat dari value chain. Industri yang harus dibangun, sehingga kegiatan ekonomi nasional terlibat. Ini memang harus merubah paradigma pemerintah yang hanya fokus pada pendapatan pemerintah menjadi economic booster," tutur Budi.
Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin mengatakan, Freeport tetap akan menghormati kedaulatan negara melalui aturan yang berlaku.
"Pada akhir kontrak di 2021 Freeport tidak akan mengenal kontrak karya tapi izin pertambangan khusus," jelasnya.
Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso menilai, pemerintah terlalu asyik terhadap amandemen kontrak karya (KK) pertambagangan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), namun pemerintah lupa masalah strategis justru perpanjangan kontrak.
"Langkah pemerintah memperpanjang negosiasi amendemen kontrak dengan Freeport menunjukan pemerintah terjebak pada substansi kontrak karya," kata dia di Jakarta, Kamis (5/2/2015).
Padahal, menurut dia, Freeport selama hampir 50 tahun tidak memberi manfaat ekonomi yang lebih besar. Freeport, kata dia, seharusnya tidak hanya memberikan kontribusi pada pemerintah, tetapi juga memberikan multiplier effect yang lebih besar.
"Pemerintah harus lebih banyak menyiapkan strategi bagaimana manfaat ekonomi lebih besar bagi bangsa ini dan tidak merengek-rengek lagi tentang smelter," ungkapnya.
Menurut Budi, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kemampuan mengelola sumber daya alam sendiri. Dia berpendapat, kontribusi Freeport terhadap negara perlu ditingkatkan untuk memperbaiki pendapatan asli daerah (PAD).
"Manfaat ekonomi harus dilihat dari value chain. Industri yang harus dibangun, sehingga kegiatan ekonomi nasional terlibat. Ini memang harus merubah paradigma pemerintah yang hanya fokus pada pendapatan pemerintah menjadi economic booster," tutur Budi.
Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin mengatakan, Freeport tetap akan menghormati kedaulatan negara melalui aturan yang berlaku.
"Pada akhir kontrak di 2021 Freeport tidak akan mengenal kontrak karya tapi izin pertambangan khusus," jelasnya.
(rna)