Revisi UU Pasar Modal Mendesak Perkuat Peran OJK
A
A
A
JAKARTA - Aturan main di sektor jasa keuangan semakin membutuhkan pembaruan regulasi, khususnya Undang-undang (UU) Pasar Modal Nomor 8 tahun 1995.
Hal ini sangat penting dalam memperkuat peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai penegak hukum dan melindungi konsumen.
Pakar Hukum pasar modal Indra Safitri menilai otoritas perlu mendesak DPR untuk secepatnya membahas revisi UU Pasar Modal dan industri jasa keuangan lainnya. Banyak hal dalam regulasi yang sudah ketinggalan zaman dan hanya diatasi oleh peraturan OJK.
"Semua subsektor jasa keuangan sudah ada aturannya. Dan OJK perlu merevisinya demi memperkuat perannya sebagai penegak hukum," ujar Indra.
Dia mengatakan OJK memang masih muda dan perlu terus menperkuat posisinya, sehingga walaupun telah memiliki UU, namun setiap sub sektor jasa keuangan telah berkembang. Ini perlu diharmonisasi antara satu dan lainnya, sehingga tercipta pengawasan terintegrasi.
Menurut dia, saat ini industri tidak memerlukan peleburan UU seperti Financial Act di luar negeri.
"UU yang lama masih ada dan tidak perlu dilebur dalam satu UU seperti Financial Act. Kalau sekarang dirombak pasti rumit dan belum tentu sama aplikasi satu sama lainnya," ujarnya.
Dia mencontohkan, kelemahan UU Pasar Modal seperti masalah kejahatan pasar modal yang saat ini sudah semakin variatif. Nilai hukuman yang diancamkan hanya Rp15 miliar, sehingga dirasa sudah tidak lagi menakutkan.
Tidak hanya itu, namun juga soal keterbukaan informasi, penggunaan IT dan kecanggihan teknologi lainnya.
Dia juga mengkritisi OJK yang diharapkan mampu bertindak tegas dalam mencegah berbagai isu yang dapat mempengaruhi fluktuasi harga saham perusahaan publik.
Salah satunya, terkait isu merger PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI). Ini seharusnya dipersiapkan sejak lama dan perlu dilakukan dengan hati-hati karena kedua perbankan tersebut adalah emiten.
"OJK harus berikan peringatan semua pihak. Khususnya pejabat publik karena setiap ucapan mempengaruhi harga saham. Dua bank BUMN tersebut merupakan emiten yang tinggi kapitalisasi pasarnya dan sektornya sensitif," ujarnya.
Dia menilai, persoalan marger antara BNI dan Mandiri berbeda dengan dulu sewaktu perbankan digabungkan menjadi Mandiri. pasalnya, waktu dulu Mandiri bukan perusahaan publik.
"Jadi bukan kepentingan perseroan saja yang diutamakan, akan tetapi juga kepentingan khalayak," terangnya.
Diketahui, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah mengungkapkan bahwa BNI dan Bank Mandiri perlu digabung atau marger guna menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sektor perbankan pada 2020 mendatang.
Hal ini disinyalir sebagai awal dari isu merger yang ditentang oleh pekerja BNI. Sebelumnya Bank Mandiri diisukan akan merger dengan Bank BTN. Hal ini juga ditentang oleh BTN yang merasa memiliki peran penting dalam kredit perumahan di Tanah Air.
Hal ini sangat penting dalam memperkuat peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai penegak hukum dan melindungi konsumen.
Pakar Hukum pasar modal Indra Safitri menilai otoritas perlu mendesak DPR untuk secepatnya membahas revisi UU Pasar Modal dan industri jasa keuangan lainnya. Banyak hal dalam regulasi yang sudah ketinggalan zaman dan hanya diatasi oleh peraturan OJK.
"Semua subsektor jasa keuangan sudah ada aturannya. Dan OJK perlu merevisinya demi memperkuat perannya sebagai penegak hukum," ujar Indra.
Dia mengatakan OJK memang masih muda dan perlu terus menperkuat posisinya, sehingga walaupun telah memiliki UU, namun setiap sub sektor jasa keuangan telah berkembang. Ini perlu diharmonisasi antara satu dan lainnya, sehingga tercipta pengawasan terintegrasi.
Menurut dia, saat ini industri tidak memerlukan peleburan UU seperti Financial Act di luar negeri.
"UU yang lama masih ada dan tidak perlu dilebur dalam satu UU seperti Financial Act. Kalau sekarang dirombak pasti rumit dan belum tentu sama aplikasi satu sama lainnya," ujarnya.
Dia mencontohkan, kelemahan UU Pasar Modal seperti masalah kejahatan pasar modal yang saat ini sudah semakin variatif. Nilai hukuman yang diancamkan hanya Rp15 miliar, sehingga dirasa sudah tidak lagi menakutkan.
Tidak hanya itu, namun juga soal keterbukaan informasi, penggunaan IT dan kecanggihan teknologi lainnya.
Dia juga mengkritisi OJK yang diharapkan mampu bertindak tegas dalam mencegah berbagai isu yang dapat mempengaruhi fluktuasi harga saham perusahaan publik.
Salah satunya, terkait isu merger PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI). Ini seharusnya dipersiapkan sejak lama dan perlu dilakukan dengan hati-hati karena kedua perbankan tersebut adalah emiten.
"OJK harus berikan peringatan semua pihak. Khususnya pejabat publik karena setiap ucapan mempengaruhi harga saham. Dua bank BUMN tersebut merupakan emiten yang tinggi kapitalisasi pasarnya dan sektornya sensitif," ujarnya.
Dia menilai, persoalan marger antara BNI dan Mandiri berbeda dengan dulu sewaktu perbankan digabungkan menjadi Mandiri. pasalnya, waktu dulu Mandiri bukan perusahaan publik.
"Jadi bukan kepentingan perseroan saja yang diutamakan, akan tetapi juga kepentingan khalayak," terangnya.
Diketahui, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah mengungkapkan bahwa BNI dan Bank Mandiri perlu digabung atau marger guna menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sektor perbankan pada 2020 mendatang.
Hal ini disinyalir sebagai awal dari isu merger yang ditentang oleh pekerja BNI. Sebelumnya Bank Mandiri diisukan akan merger dengan Bank BTN. Hal ini juga ditentang oleh BTN yang merasa memiliki peran penting dalam kredit perumahan di Tanah Air.
(rna)