Pelemahan Rupiah Paling Tajam dari Mata Uang Lain
A
A
A
JAKARTA - Dalam sepekan terakhir rupiah terpuruk hingga melampaui level Rp13.000 per dolar AS (USD). Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistiyaningsih mengatakan, dari sisi ekternal jika dilihat dari 12 mata uang, ada sekitar enam mata uang yang melemah termasuk rupiah.
Menurutnya, pelemahan rupiah paling tajam di antara mata uang lain. "Artinya, selain faktor eksternal, ada faktor domestik yang menekan rupiah dan itu yang harus dikritisi," ungkapnya, Rabu (11/3/2015).
Lana menyebutkan, faktor domestik yang mendorong yakni karena mereka yang butuh USD. Misalnya, satu bulan yang akan datang juga perlu beli USD sekarang.
"Kan kita sudah masuk mau puasa nih, bulan Juni dan perusahaan juga sudah antisipasi permintaan untuk puasa. Dan biasanya bulan-bulan puasa itu butuh impor seperti untuk keperluan bahan baku pembuatan kue castangel. Kemudian korma dan lain-lain," jelasnya.
Dia mengatakan, selain karena impor yang meningkat pelemahan rupiah dikarenakan adanya pembayaran utang karena bulan-bulan ini ada bayar utang.
Jadi dalam jangka pendek, pemerintah bisa mendeteksi siapa saja yang membeli USD, tanpa ada kebutuhan. "Nah itu bisa dideteksi lah. Jadi, bisa datangi bank-bank siapa saja yang melakukan transaksi USD saat ini siapa saja dan untuk apa saja," ujarnya.
Pelemahan USD, lanjut dia, bisa berdampak pada inflasi antaran Maret ini ada panen raya sehingga meskipun ada inflasi, namun bisa kecil.
"Di atas kertas itu bisa naik, karena ada barang-barang yang turun karena panen. Tapi, kalau harga beras turun dan yang lain naik itu bisa terkompensasi. Yang kita lihat harga tempe itu apakah naik atau tidak, tempe kan karena kedelai itu diimpor," ungkapnya.
Lana menilai, jika dilihat pelemahan yang terjadi beberapa pekan terakhir ini, Bank Indonesia (BI) telah melakukan intervensi. Namun, intervensi yang dilakukan bukan dengan valas melainkan rupiah.
"Kan menguatkan rupiah itu bisa dua macam, menambah valas USD atau menarik rupiah. Nah, mungkin BI menarik rupiahnya dan itu bisa membantu menguatkan rupiah," tandasnya.
Menurutnya, pelemahan rupiah paling tajam di antara mata uang lain. "Artinya, selain faktor eksternal, ada faktor domestik yang menekan rupiah dan itu yang harus dikritisi," ungkapnya, Rabu (11/3/2015).
Lana menyebutkan, faktor domestik yang mendorong yakni karena mereka yang butuh USD. Misalnya, satu bulan yang akan datang juga perlu beli USD sekarang.
"Kan kita sudah masuk mau puasa nih, bulan Juni dan perusahaan juga sudah antisipasi permintaan untuk puasa. Dan biasanya bulan-bulan puasa itu butuh impor seperti untuk keperluan bahan baku pembuatan kue castangel. Kemudian korma dan lain-lain," jelasnya.
Dia mengatakan, selain karena impor yang meningkat pelemahan rupiah dikarenakan adanya pembayaran utang karena bulan-bulan ini ada bayar utang.
Jadi dalam jangka pendek, pemerintah bisa mendeteksi siapa saja yang membeli USD, tanpa ada kebutuhan. "Nah itu bisa dideteksi lah. Jadi, bisa datangi bank-bank siapa saja yang melakukan transaksi USD saat ini siapa saja dan untuk apa saja," ujarnya.
Pelemahan USD, lanjut dia, bisa berdampak pada inflasi antaran Maret ini ada panen raya sehingga meskipun ada inflasi, namun bisa kecil.
"Di atas kertas itu bisa naik, karena ada barang-barang yang turun karena panen. Tapi, kalau harga beras turun dan yang lain naik itu bisa terkompensasi. Yang kita lihat harga tempe itu apakah naik atau tidak, tempe kan karena kedelai itu diimpor," ungkapnya.
Lana menilai, jika dilihat pelemahan yang terjadi beberapa pekan terakhir ini, Bank Indonesia (BI) telah melakukan intervensi. Namun, intervensi yang dilakukan bukan dengan valas melainkan rupiah.
"Kan menguatkan rupiah itu bisa dua macam, menambah valas USD atau menarik rupiah. Nah, mungkin BI menarik rupiahnya dan itu bisa membantu menguatkan rupiah," tandasnya.
(dmd)