Public Housing Tanpa Visi
A
A
A
Program Sejuta Rumah yang akan segera diluncurkan pada Aprilmendatang disambut baik oleh konsumen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) karena akan memberikan kemudahan untuk dapatmembeli rumah, khususnya untuk masyarakat yang berpenghasilan Rp4 juta per bulan.
Besarnya uang muka yang ditetapkan sebesar 1%akan memberikan dampak yang luar biasa bila terealisasi dengan baik. Belum lagi adanya bantuan uang muka dari pemerintah dan suku bunga FLPP yang diturunkan dari 7,25% menjadi 5%yang akan meningkatkan pangsa pasar rumah FLPPmenjadi naik minimal 15%. Dari sisi pembiayaan dan permintaan, agaknya sudahmulai bisa diatasi, namun ada hal yang sebenarnya sangat vital terkait sisi supply .
Artinya, sisi pembiayaan dan permintaan akan bisa berjalan bila ada rumah yang tersedia dengan harga yang sesuai. Sebelumnya Indonesia Property Watchmenilai bahwa saat ini di Indonesia belum ada yang benar-benar public housing dalam artian bahwa rumah yang diperuntukkan bagi rakyat MBR dengan harga rumah yang dapat dikendalikan. Pasalnya, saat ini harga tanah semakin hari semakin naik tanpa ada instrumen yang dapat menahannya sehingga semua diserahkan pada mekanisme pasar.
Bila ProgramSejuta Rumah ini bergulir dan harga tanah yang diperuntukkan rumah MBR semakin hari semakin naik, maka tidak ada bedanya dengan rumah komersial umum biasa sehingga semakin lama semakin tidak terjangkau juga.Dan akhirnya, Program Sejuta Rumah hanya sebatas mimpi. Hal ini sudah mulai dirasakan ketika banyak pengembang yang meminta pemerintah untukmenaikkan harga rumah FLPP. Bila terusmenerus seperti ini, maka tidak ada faktor yang dapat mengendalikan harga rumah dengan daya beli pemerintah.
Dan semakin lama akan semakin jauh dari visi untuk merumahkan rakyat. Visi yang jelas dari semua lini pasar perumahan seharusnya cepat diperhatikan pemerintah. Saat ini Indonesia PropertyWatch menilai bahwa kesiapan tata ruang sebuah daerah disertai dengan kesiapan bank tanahmilik pemerintah akan menjamin ketersediaan rumah untuk rakyat.
Coba bayangkan bila di tanah pemerintah dipatok harga tanah Rp500.000 permeter persegi, sedangkan di sebelahnya tanah komersial, maka tanah komersial yang adameskipun bisa saja dipatok lebih tinggi daripada tanah pemerintah, kenaikannya tidak akan terlalu tinggi lagi. Peran ini yang seharusnya diberlakukan pemerintah terkait konsep bank tanah. Konsep bank tanah sebenarnya sudah dilakukan zaman Orde Baru dengan konsep Lisiba (lingkungan siap bangun) dan Kasiba (kaveling siap bangun).
Peran swasta dalam penyediaan public housing sepertinya tidak boleh terlalu dominan lagi. Kebijakan bank tanah tidak bisa hanya dibicarakan dan ditetapkan dengan peraturanmenteri (Permen) melainkan presiden harus turun tangan sehingga tanah-tanah BUMN/BUMD/pemda dapat segera dimanfaatkan dan para pejabat tidak takut untuk bertindak. Karena tanpa itu, semua takut disalahkan sehingga bank tanah tidak akan pernah ada.
Penerapan public housing yang baik dapat belajar juga dari Singapura dengan Housing Development Board (HDB) yang disinergikan dengan Central Provident Fund (CPF). Hal ini juga yang bisa diterapkan di Indonesia dengan memberikan peran yang lebih besar kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk pembiayaan pembangunan rumah rakyat. Memasuki triwulan 2, pasar properti banyak dihadapi dengan berbagai masalah, menyusul perlambatan pasar yang masih diakui terjadi di sebagian besar pengembang.
Di tengah persaingan yang ketat dan pasar yang melemah—namunmelihat tren pergerakan indikator ekonomi yang ada—tidakmenutup kemungkinan pada akhir tahun 2015 pasar akan mulai bergerakmemasuki fase siklus baru dengan tren kenaikan. Dalam jangka panjang, pemerintah harus dapat merealisasikan beberapa programinfrastrukturnya untuk dapat membuat pasar properti tetap sustain .
Namun, Indonesia PropertyWatch terusmengingatkan pemerintah akan pentingnya untuk segera dibentuk bank tanah yang akan menjadi instrumen pengendalian harga tanah. Tanpa adanya konsep bank tanah yang jelas, maka harga tanah akan menjadi semakin tidak terkendali dan Program Sejuta Rumah tidak akan berjalan optimal. ??
Ali TRanghanda
Direktur Indonesia Property Watch (IPW)
Besarnya uang muka yang ditetapkan sebesar 1%akan memberikan dampak yang luar biasa bila terealisasi dengan baik. Belum lagi adanya bantuan uang muka dari pemerintah dan suku bunga FLPP yang diturunkan dari 7,25% menjadi 5%yang akan meningkatkan pangsa pasar rumah FLPPmenjadi naik minimal 15%. Dari sisi pembiayaan dan permintaan, agaknya sudahmulai bisa diatasi, namun ada hal yang sebenarnya sangat vital terkait sisi supply .
Artinya, sisi pembiayaan dan permintaan akan bisa berjalan bila ada rumah yang tersedia dengan harga yang sesuai. Sebelumnya Indonesia Property Watchmenilai bahwa saat ini di Indonesia belum ada yang benar-benar public housing dalam artian bahwa rumah yang diperuntukkan bagi rakyat MBR dengan harga rumah yang dapat dikendalikan. Pasalnya, saat ini harga tanah semakin hari semakin naik tanpa ada instrumen yang dapat menahannya sehingga semua diserahkan pada mekanisme pasar.
Bila ProgramSejuta Rumah ini bergulir dan harga tanah yang diperuntukkan rumah MBR semakin hari semakin naik, maka tidak ada bedanya dengan rumah komersial umum biasa sehingga semakin lama semakin tidak terjangkau juga.Dan akhirnya, Program Sejuta Rumah hanya sebatas mimpi. Hal ini sudah mulai dirasakan ketika banyak pengembang yang meminta pemerintah untukmenaikkan harga rumah FLPP. Bila terusmenerus seperti ini, maka tidak ada faktor yang dapat mengendalikan harga rumah dengan daya beli pemerintah.
Dan semakin lama akan semakin jauh dari visi untuk merumahkan rakyat. Visi yang jelas dari semua lini pasar perumahan seharusnya cepat diperhatikan pemerintah. Saat ini Indonesia PropertyWatch menilai bahwa kesiapan tata ruang sebuah daerah disertai dengan kesiapan bank tanahmilik pemerintah akan menjamin ketersediaan rumah untuk rakyat.
Coba bayangkan bila di tanah pemerintah dipatok harga tanah Rp500.000 permeter persegi, sedangkan di sebelahnya tanah komersial, maka tanah komersial yang adameskipun bisa saja dipatok lebih tinggi daripada tanah pemerintah, kenaikannya tidak akan terlalu tinggi lagi. Peran ini yang seharusnya diberlakukan pemerintah terkait konsep bank tanah. Konsep bank tanah sebenarnya sudah dilakukan zaman Orde Baru dengan konsep Lisiba (lingkungan siap bangun) dan Kasiba (kaveling siap bangun).
Peran swasta dalam penyediaan public housing sepertinya tidak boleh terlalu dominan lagi. Kebijakan bank tanah tidak bisa hanya dibicarakan dan ditetapkan dengan peraturanmenteri (Permen) melainkan presiden harus turun tangan sehingga tanah-tanah BUMN/BUMD/pemda dapat segera dimanfaatkan dan para pejabat tidak takut untuk bertindak. Karena tanpa itu, semua takut disalahkan sehingga bank tanah tidak akan pernah ada.
Penerapan public housing yang baik dapat belajar juga dari Singapura dengan Housing Development Board (HDB) yang disinergikan dengan Central Provident Fund (CPF). Hal ini juga yang bisa diterapkan di Indonesia dengan memberikan peran yang lebih besar kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk pembiayaan pembangunan rumah rakyat. Memasuki triwulan 2, pasar properti banyak dihadapi dengan berbagai masalah, menyusul perlambatan pasar yang masih diakui terjadi di sebagian besar pengembang.
Di tengah persaingan yang ketat dan pasar yang melemah—namunmelihat tren pergerakan indikator ekonomi yang ada—tidakmenutup kemungkinan pada akhir tahun 2015 pasar akan mulai bergerakmemasuki fase siklus baru dengan tren kenaikan. Dalam jangka panjang, pemerintah harus dapat merealisasikan beberapa programinfrastrukturnya untuk dapat membuat pasar properti tetap sustain .
Namun, Indonesia PropertyWatch terusmengingatkan pemerintah akan pentingnya untuk segera dibentuk bank tanah yang akan menjadi instrumen pengendalian harga tanah. Tanpa adanya konsep bank tanah yang jelas, maka harga tanah akan menjadi semakin tidak terkendali dan Program Sejuta Rumah tidak akan berjalan optimal. ??
Ali TRanghanda
Direktur Indonesia Property Watch (IPW)
(ars)