Tanggapan Andy Noorsaman Wacana Pembubaran BPH Migas
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disinyalir akan membubarkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas).
Wacana tersebut muncul lantaran dalam draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah tak menyinggung lagi soal keberadaan Badan Pengatur, yang dalam hal ini BPH Migas dan badan pelaksana Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Menanggapi hal itu, Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng mengungkapkan bahwa pembubaran BPH Migas memicu timbulnya monopoli usaha.
Dia menjelaskan, di awal pembentukan UU tersebut, keberadaan badan pengatur pada dasarnya berkaitan dengan sektor yang memiliki sifat monopoli ilmiah (natural monopoly). Sehingga, jangan hanya badan usaha yang mengejar keuntungan, namun melihat kebijakan pemerintah yang dibutuhkan masyarakat, seperti pengaturan pipa gas.
"Di satu sisi dulu kita masih menganut rezim subsidi, sehingga BBM subsidi perlu diatur. Nah, dengan dasar itu maka BPH Migas tidak hanya mengatur pipa, tetapi juga mengatur penyediaan dan distribusi BBM subsidi," tuturnya di gedung BPH Migas, Jakarta, Selasa (7/4/2015).
Menurutnya, jika BPH Migas tidak ikut mengatur distribusi BBM, sementara pelaku usaha di sektor tersebut semakin besar maka potensi munculnya kartel akan semakin besar.
"Jadi ke depan diharapkan, bahwa harus berubah jangan lari di tempat. Padahal semangat UU itu untuk menghilangkan monopoli, deregulasi, dan debirokrasi," tandas Andy.
Wacana tersebut muncul lantaran dalam draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah tak menyinggung lagi soal keberadaan Badan Pengatur, yang dalam hal ini BPH Migas dan badan pelaksana Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Menanggapi hal itu, Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng mengungkapkan bahwa pembubaran BPH Migas memicu timbulnya monopoli usaha.
Dia menjelaskan, di awal pembentukan UU tersebut, keberadaan badan pengatur pada dasarnya berkaitan dengan sektor yang memiliki sifat monopoli ilmiah (natural monopoly). Sehingga, jangan hanya badan usaha yang mengejar keuntungan, namun melihat kebijakan pemerintah yang dibutuhkan masyarakat, seperti pengaturan pipa gas.
"Di satu sisi dulu kita masih menganut rezim subsidi, sehingga BBM subsidi perlu diatur. Nah, dengan dasar itu maka BPH Migas tidak hanya mengatur pipa, tetapi juga mengatur penyediaan dan distribusi BBM subsidi," tuturnya di gedung BPH Migas, Jakarta, Selasa (7/4/2015).
Menurutnya, jika BPH Migas tidak ikut mengatur distribusi BBM, sementara pelaku usaha di sektor tersebut semakin besar maka potensi munculnya kartel akan semakin besar.
"Jadi ke depan diharapkan, bahwa harus berubah jangan lari di tempat. Padahal semangat UU itu untuk menghilangkan monopoli, deregulasi, dan debirokrasi," tandas Andy.
(izz)