Iuran 8%, Industri Dana Pensiun Terancam Tutup
A
A
A
JAKARTA - Industri dana pensiun terancam tutup jika pemerintah memberlakukan iuran Jaminan Pensiun (JP) sebesar 8%. Untuk itu, Asosiasi Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) mendesak pemerintah merevisi iuran tersebut menjadi kurang dari 2%.
Plt Ketua Asosiasi DPPK Suheri mengatakan, iuran program JP seharusnya di bawah angka 2% dan meningkat bertahap. Menurutnya, jumlah iuran 8% untuk program pensiun terlalu besar dan tidak wajar.
Saat ini, iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sudah memberatkan pemberi kerja dan pekerja. "Kalau ditambah 8% bisa jadi 13,7% totalnya. Harusnya pemerintah memikirkan beban yang harus ditanggung perusahaan," ujar Suheri dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/4/2015).
Menurutnya, industri dana pensiun (dapen) memiliki hak berkembang sesuai UU 11/1992 tentang Dapen. Sehingga sudah seharusnya kebijakan pemerintah tidak mematikan industri melalui penetapan iuran wajib dalam BPJS Ketenagakerjaan yang tinggi.
"Peran negara hanya menyediakan manfaat dasar serta edukasi pemberi kerja, pekerja, dan masyarakat agar sadar merencanakan masa pensiun. Bukannya malah menjadi kanibal bagi industri dapen," tegasnya.
Besaran jumlah iuran wajib dalam program pensiun yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan sebesar 8%. Bila sudah diterapkan nanti, ada iuran dana sebesar 8% dari gaji masing-masing tenaga kerja yang dibayar secara patungan. Sebanyak 3% oleh tenaga kerja dan 5% oleh perusahaan pemberi kerja.
Pengurus Asosiasi DPLK Betty Alwi berpendapat apabila pemerintah bersikeras menetapkan iuran sebesar 8%, seperti dalam RPP maka akan banyak pengelola dapen tutup karena pengusaha lebih memilih BPJS Ketenagakerjaan yang diwajibkan. "Padahal peserta berhak memilih untuk menyiapkan manfaat pensiun yang sesuai dengan profil risiko masing-masing," ujarnya.
Para pengelola dana pensiun sendiri khawatir tidak lagi mendapat pekerjaan mengelola dana pensiun. Karena perusahaan tentu akan lebih mendahulukan iuran wajib ke BPJS Ketenagakerjaan ketimbang lembaga pensiun yang mereka kelola.
"BPJS itu kan iurannya wajib. Perusahaan tentu harus mendahulukan yang wajib. Jumlahnya kami minta jangan terlalu signifikan agar bisa berbagi dengan yang volunteer (pengelola dana pensiun swadaya)," ujarnya.
Kekhawatiran ini wajar, mengingat saat ini perusahaan sudah dibebani dengan iuran yang cukup besar untuk berbagai program kesejahteraan pekerja ketika pensiun kelak. Ada iuran Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Itu saja totalnya sudah 18,24-20,7%. Ditambah Jaminan Pensiun (JP) bisa menjadi 24-26%.
Atas kekhawatiran tersebut, pihaknya mengklaim sejumlah pengelola dana pensiun bakal menutup lembaga pengelola dana pensiun mereka bila aturan ini tetap diberlakukan. Pembubaran ini, lanjut dia, akan memberikan kerugian besar karena ada dana Rp191 triliun yang dikelola DPLK dan DPPK di Tanah Air.
Plt Ketua Asosiasi DPPK Suheri mengatakan, iuran program JP seharusnya di bawah angka 2% dan meningkat bertahap. Menurutnya, jumlah iuran 8% untuk program pensiun terlalu besar dan tidak wajar.
Saat ini, iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sudah memberatkan pemberi kerja dan pekerja. "Kalau ditambah 8% bisa jadi 13,7% totalnya. Harusnya pemerintah memikirkan beban yang harus ditanggung perusahaan," ujar Suheri dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/4/2015).
Menurutnya, industri dana pensiun (dapen) memiliki hak berkembang sesuai UU 11/1992 tentang Dapen. Sehingga sudah seharusnya kebijakan pemerintah tidak mematikan industri melalui penetapan iuran wajib dalam BPJS Ketenagakerjaan yang tinggi.
"Peran negara hanya menyediakan manfaat dasar serta edukasi pemberi kerja, pekerja, dan masyarakat agar sadar merencanakan masa pensiun. Bukannya malah menjadi kanibal bagi industri dapen," tegasnya.
Besaran jumlah iuran wajib dalam program pensiun yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan sebesar 8%. Bila sudah diterapkan nanti, ada iuran dana sebesar 8% dari gaji masing-masing tenaga kerja yang dibayar secara patungan. Sebanyak 3% oleh tenaga kerja dan 5% oleh perusahaan pemberi kerja.
Pengurus Asosiasi DPLK Betty Alwi berpendapat apabila pemerintah bersikeras menetapkan iuran sebesar 8%, seperti dalam RPP maka akan banyak pengelola dapen tutup karena pengusaha lebih memilih BPJS Ketenagakerjaan yang diwajibkan. "Padahal peserta berhak memilih untuk menyiapkan manfaat pensiun yang sesuai dengan profil risiko masing-masing," ujarnya.
Para pengelola dana pensiun sendiri khawatir tidak lagi mendapat pekerjaan mengelola dana pensiun. Karena perusahaan tentu akan lebih mendahulukan iuran wajib ke BPJS Ketenagakerjaan ketimbang lembaga pensiun yang mereka kelola.
"BPJS itu kan iurannya wajib. Perusahaan tentu harus mendahulukan yang wajib. Jumlahnya kami minta jangan terlalu signifikan agar bisa berbagi dengan yang volunteer (pengelola dana pensiun swadaya)," ujarnya.
Kekhawatiran ini wajar, mengingat saat ini perusahaan sudah dibebani dengan iuran yang cukup besar untuk berbagai program kesejahteraan pekerja ketika pensiun kelak. Ada iuran Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Itu saja totalnya sudah 18,24-20,7%. Ditambah Jaminan Pensiun (JP) bisa menjadi 24-26%.
Atas kekhawatiran tersebut, pihaknya mengklaim sejumlah pengelola dana pensiun bakal menutup lembaga pengelola dana pensiun mereka bila aturan ini tetap diberlakukan. Pembubaran ini, lanjut dia, akan memberikan kerugian besar karena ada dana Rp191 triliun yang dikelola DPLK dan DPPK di Tanah Air.
(dmd)