Pertumbuhan Ekonomi Bergantung Penyerapan APBN
A
A
A
SEMARANG - Bank Indonesia (BI) memandang pertumbuhan ekonomi nasional hanya bertumpu pada kekuatan fiskal. Hal ini menyangkut kemampuan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah dalam proyek-proyek infrastruktur yang dijanjikan.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kebijakan fiskal akan menjadi mesin pendorong perekonomian dalam negeri hingga tahun depan. Hal ini berkaca pada perlambatan perekonomian di sepanjang kuartal pertama, khususnya penyaluran kredit perbankan.
"Kredit perbankan melambat karena semua menunggu mulainya proyek infrastruktur. Kita menunggu realisasi Kementerian Keuangan untuk meningkatkan penyerapan anggaran. Kuncinya mempercepat belanja modal oleh Kemenkeu dan tidak hanya menunggu pendapatan pajak yang ditargetkan naik," ujar Perry dalam acara peluncuran buku Sejarah BI Periode VII 2004-2011 di Semarang, Kamis (30/4/2015).
Dia mengatakan kebijakan fiskal tahun ini sangat berbeda dari periode sebelumnya. Diharapkan dapat memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan kesinambungan fiskal. Antara lain, melalui reformasi subsidi, reformasi pajak, dan realokasi anggaran pada kegiatan pembangunan infrastruktur.
Dalam rangka memperkuat fondasi stabilitas ekonomi makro, pemerintah akan menjaga rasio utang pemerintah agar berada di bawah 30% dari PDB dan selanjutnya terus menurun menjadi sekitar 20% PDB pada 2019.
Kemudian mengupayakan defisit keseimbangan primer (primary balance) terus menurun dan menjadi positif pada 2019. Selain itu, juga menjaga defisit anggaran terus berada di bawah 3% dari PDB sampai akhirnya pada 2019 menjadi sekitar 1% dari PDB.
Menurutnya, di kuartal kedua perekonomian akan tumbuh bila janji Menkeu dapat terealisasi sehingga mendorong perekonomian. Prospek ekonomi disebutnya dapat tumbuh dari 5% menjadi 5,4% hingga 5,8%.
Komitmen pemerintah akan sangat menentukan strategi moneter-fiskal dalam kebijakan Bank Indonesia. Langkah ini akan berhasil dengan strategi terukur, serta koordinasi yang erat dengan pemerintah melalui bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Diponegoro FX Sugiyanto menilai pilihan mengandalkan fiskal adalah opsi yang terbaik untuk mendorong pertumbuhan saat ini. Hal ini karena instrumen moneter tidak dapat diandalkan dalam kondisi moneter ketat seperti sekarang. Dalam jangka pendek setidaknya sampai pada kuartal ketiga atau akhir tahun ini, tingkat bunga yang sesungguhnya sudah cukup tinggi terpaksa harus dipertahankan.
"Ini menjadi beban bagi pemerintah untuk mempercepat pencairan APBN hingga akhir tahun. Karena moneter tidak bisa diharapkan saat ini," ujar Fx Sugianto.
Dia menilai pada kuartal kedua pertumbuhan belum akan signifikan karena instrumen moneter masih akan tersandera dan mempertahankan suku bunga tinggi. Hal ini demi berjaga-jaga mengantisipasi kebijakan Bank Sentral AS (FED) yang diperkirakan akan menaikan suku bunga. Saat ini, suku bunga AS mendekati 0%, dan telah berhasil menggairahkan ekonomi domestik AS.
Namun, FED juga mengkhawatirkan inflasi akan meningkat dalam jangka menengah. "Selain The Fed juga faktor politik saling sandera dapat menggagalkan skenario fiskal tersebut," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, harga minyak diperkirakan naik hingga USD67 per barel pada 2018. Kenaikan suku bunga dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan meningkatnya inflasi, yang diperkirakan bisa mencapai angka 2%. Jika akhirnya FED menaikkan suku bunga, maka otoritas moneter Indonesia akan semakin sulit mengatasi melemahnya rupiah. Selisih tingkat bunga rupiah dengan USD akan semakin besar. Sebab itu, USD akan semakin diminati di pasar uang.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kebijakan fiskal akan menjadi mesin pendorong perekonomian dalam negeri hingga tahun depan. Hal ini berkaca pada perlambatan perekonomian di sepanjang kuartal pertama, khususnya penyaluran kredit perbankan.
"Kredit perbankan melambat karena semua menunggu mulainya proyek infrastruktur. Kita menunggu realisasi Kementerian Keuangan untuk meningkatkan penyerapan anggaran. Kuncinya mempercepat belanja modal oleh Kemenkeu dan tidak hanya menunggu pendapatan pajak yang ditargetkan naik," ujar Perry dalam acara peluncuran buku Sejarah BI Periode VII 2004-2011 di Semarang, Kamis (30/4/2015).
Dia mengatakan kebijakan fiskal tahun ini sangat berbeda dari periode sebelumnya. Diharapkan dapat memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan kesinambungan fiskal. Antara lain, melalui reformasi subsidi, reformasi pajak, dan realokasi anggaran pada kegiatan pembangunan infrastruktur.
Dalam rangka memperkuat fondasi stabilitas ekonomi makro, pemerintah akan menjaga rasio utang pemerintah agar berada di bawah 30% dari PDB dan selanjutnya terus menurun menjadi sekitar 20% PDB pada 2019.
Kemudian mengupayakan defisit keseimbangan primer (primary balance) terus menurun dan menjadi positif pada 2019. Selain itu, juga menjaga defisit anggaran terus berada di bawah 3% dari PDB sampai akhirnya pada 2019 menjadi sekitar 1% dari PDB.
Menurutnya, di kuartal kedua perekonomian akan tumbuh bila janji Menkeu dapat terealisasi sehingga mendorong perekonomian. Prospek ekonomi disebutnya dapat tumbuh dari 5% menjadi 5,4% hingga 5,8%.
Komitmen pemerintah akan sangat menentukan strategi moneter-fiskal dalam kebijakan Bank Indonesia. Langkah ini akan berhasil dengan strategi terukur, serta koordinasi yang erat dengan pemerintah melalui bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Diponegoro FX Sugiyanto menilai pilihan mengandalkan fiskal adalah opsi yang terbaik untuk mendorong pertumbuhan saat ini. Hal ini karena instrumen moneter tidak dapat diandalkan dalam kondisi moneter ketat seperti sekarang. Dalam jangka pendek setidaknya sampai pada kuartal ketiga atau akhir tahun ini, tingkat bunga yang sesungguhnya sudah cukup tinggi terpaksa harus dipertahankan.
"Ini menjadi beban bagi pemerintah untuk mempercepat pencairan APBN hingga akhir tahun. Karena moneter tidak bisa diharapkan saat ini," ujar Fx Sugianto.
Dia menilai pada kuartal kedua pertumbuhan belum akan signifikan karena instrumen moneter masih akan tersandera dan mempertahankan suku bunga tinggi. Hal ini demi berjaga-jaga mengantisipasi kebijakan Bank Sentral AS (FED) yang diperkirakan akan menaikan suku bunga. Saat ini, suku bunga AS mendekati 0%, dan telah berhasil menggairahkan ekonomi domestik AS.
Namun, FED juga mengkhawatirkan inflasi akan meningkat dalam jangka menengah. "Selain The Fed juga faktor politik saling sandera dapat menggagalkan skenario fiskal tersebut," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, harga minyak diperkirakan naik hingga USD67 per barel pada 2018. Kenaikan suku bunga dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan meningkatnya inflasi, yang diperkirakan bisa mencapai angka 2%. Jika akhirnya FED menaikkan suku bunga, maka otoritas moneter Indonesia akan semakin sulit mengatasi melemahnya rupiah. Selisih tingkat bunga rupiah dengan USD akan semakin besar. Sebab itu, USD akan semakin diminati di pasar uang.
(dmd)