Revisi UU Migas Jangan Jadi Eksperimen

Selasa, 05 Mei 2015 - 06:15 WIB
Revisi UU Migas Jangan...
Revisi UU Migas Jangan Jadi Eksperimen
A A A
SAMARINDA - Sejumlah kalangan berharap revisi Undang-undang (UU) Migas No 22/2001 bukan menjadi kelinci percobaan alias eksperimen dalam pengelolaan minyak dan gas. Hal ini justru menjadi momentum untuk perbaikan tata kelola migas nasional yang sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Rektor Universitas Mulawarman, Masjaya mengatakan, dalam revisi UU Migas tidak perlu ada eksperimen baru. Menurutnya, SKK Migas harus dikembalikan ke Pertamina, sehingga untuk mengelola hulu tidak perlu lagi membentuk BUMN baru.

"Dalam revisi UU Migas harus kembali ke Pasal 33 UUD 1945. Kita tolak RUU Migas yang melanggar konstitusi yang sangat ribet dan ruwet," ujarnya di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (4/5/2015).

Dia berharap ada dukungan dari masyarakat untuk bersama-sama mendorong terciptanya UU Migas baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menambahkan, revisi UU Migas sejauh mungkin harus dibebaskan dari eksperimen. Dia menjelaskan, eksperimen yang dimaksud adalah pembentukan BUMN Khusus yang dinilai tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

"Dengan UU yang baru tersebut bukan berarti anti asing, apalagi anti investasi. Tapi, semuanya harus proporsional," terangnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan, perlu peran daerah dalam ikut menikmati sumber daya alam diakomodir dalam revisi UU Migas. Contohnya di Kalimantan Timur yang memiliki banyak sumber energi. Tetapi mendapat kendala untuk memenuhi energi daerahnya. "Ini menyedihkan, kalau provinsi kaya batua bara masih ada pemadaman listrik," tegasnya.

Bahkan, lanjut Kurtubi, salah satu yang terlihat jelas di Kaltim adalah listrik yang masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), sehingga masih sering terjadi pemadaman, atau bahkan lampu penerangan jalan Balikpapan-Samarinda sangat minim.

“Seharusnya kebutuhan listrik ditopang oleh energi gas yang sumbernya cukup besar di Mahakam. Atau pengembangan listrik pembangkit batu bara yang relatif murah,“ katanya.

Dia menyebut, krisis listrik di Kaltim menunjukkan, pengelolaan energi yang dilakukan Pemerintah Indonesia masih kurang baik. Dia mencontohkan, di wilayah lumbung energi ini rasio elektrifikasinya masih di bawah 80%. Artinya, masih ada 20% masyarakat yang belum menikmati listrik. Padahal, rata-rata rasio elektrifikasi nasional yakni 84%.

"Untuk itu, kami akan memperjuangkan pembangunan pembangkit listrik. Kita dukung apabila ke depan sumber daya migas bisa untuk kemakmuran rakyat," tandasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7984 seconds (0.1#10.140)