Ekonomi Global Diprediksi Minus 4%, Domestik Meradang
Rabu, 22 Juli 2020 - 08:54 WIB
Jika hal tersebut terjadi, tentu menjadi resesi ekonomi pertama sejak 1998. Namun, dengan karakteristik dan faktor pemicu yang berbeda dari resesi 1998. CORE memprediksi jika puncak pandemi terjadi pada kuartal III dan pemerintah tidak memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ekonomi Indonesia akan terkontraksi di kisaran -1,5%. (Baca juga: Ini Alasan Presiden Bentuk Komite Pemulihan Ekonomi dan Pandemi)
Namun, jika angka kasus baru terus meningkat sepanjang tahun ini dan pemerintah kembali memberlakukan PSBB, CORE memperkirakan kontraksi ekonomi Indonesia bisa mencapai -3%. “Kuartal II/2020 bisa minus 4% sampai minus 6%. Ini sangat bisa dimengerti. Pertambahan kasus Covid-19 ini masih meningkat bahkan saat new normal,” tandasnya.
Dia menuturkan, konsumsi rumah tangga khususnya pada kelompok kelas menengah bawah mengalami tekanan paling besar akibat pandemi Covid-19. Tekanan konsumsi swasta paling besar terjadi pada kuartal II/2020 dan diperkirakan mulai reda pada kuartal III.
Sementara Indeks Penjualan Riil (IPR), indikator yang memotret perkembangan penjualan barang-barang konsumsi masyarakat terkontraksi -20,6% (yoy) pada bulan Mei. Pelemahan konsumsi rumah tangga ini terlihat dari indeks penjualan riil yang menurun tajam. Pada new normal tekanannya memang berkurang, tetapi tetap akan terjadi kontraksi sekitar di angka minus 14%.
Sumber pertumbuhan ekonomi yang positif tahun ini adalah net-ekspor, meskipun relatif rendah. Namun, surplus ekspor tahun ini lebih didorong oleh penurunan impor, khususnya bahan baku dan penolong dan bukan karena pertumbuhan ekspor. (Baca juga: Menikmati Eksotika Danau Singkarak dari Ketinggian Aur Serumpun)
Jadi perbaikan neraca dagang ini sifatnya semu karena didorong kontraksi impor, bukan peningkatan ekspor. “Prediksi kami sampai akhir tahun masih ada potensi surplus, tapi surplusnya semakin lama semakin menyempit. Ini sejalan dengan berlakunya new normal dan aktivitas ekonomi akan bergerak kembali dan ini akan mendorong impor,” kata Faisal.
Sementara investasi, lanjut Faisal, pembatasan sosial dan mobilitas berakibat demand shock yang menurunkan optimisme investasi penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN). Tren relokasi investasi manufaktur keluar dari China terus terjadi saat pandemi. Hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor manufaktur. (Lihat videonya: Miris, Tak Punya HP Anak Pemulung Numpang belajar di rumah Tetangga)
Ini peluang dengan adanya relokasi dari China, tetapi kita harus bersaing dengan negara lain. “Tidak mudah karena masih banyak hambatan seperti peringkat kemudahan berusaha masih lebih rendah di ASEAN,” tandasnya. (Kunthi Fahmar Sandy/Oktiani Endarwati)
Namun, jika angka kasus baru terus meningkat sepanjang tahun ini dan pemerintah kembali memberlakukan PSBB, CORE memperkirakan kontraksi ekonomi Indonesia bisa mencapai -3%. “Kuartal II/2020 bisa minus 4% sampai minus 6%. Ini sangat bisa dimengerti. Pertambahan kasus Covid-19 ini masih meningkat bahkan saat new normal,” tandasnya.
Dia menuturkan, konsumsi rumah tangga khususnya pada kelompok kelas menengah bawah mengalami tekanan paling besar akibat pandemi Covid-19. Tekanan konsumsi swasta paling besar terjadi pada kuartal II/2020 dan diperkirakan mulai reda pada kuartal III.
Sementara Indeks Penjualan Riil (IPR), indikator yang memotret perkembangan penjualan barang-barang konsumsi masyarakat terkontraksi -20,6% (yoy) pada bulan Mei. Pelemahan konsumsi rumah tangga ini terlihat dari indeks penjualan riil yang menurun tajam. Pada new normal tekanannya memang berkurang, tetapi tetap akan terjadi kontraksi sekitar di angka minus 14%.
Sumber pertumbuhan ekonomi yang positif tahun ini adalah net-ekspor, meskipun relatif rendah. Namun, surplus ekspor tahun ini lebih didorong oleh penurunan impor, khususnya bahan baku dan penolong dan bukan karena pertumbuhan ekspor. (Baca juga: Menikmati Eksotika Danau Singkarak dari Ketinggian Aur Serumpun)
Jadi perbaikan neraca dagang ini sifatnya semu karena didorong kontraksi impor, bukan peningkatan ekspor. “Prediksi kami sampai akhir tahun masih ada potensi surplus, tapi surplusnya semakin lama semakin menyempit. Ini sejalan dengan berlakunya new normal dan aktivitas ekonomi akan bergerak kembali dan ini akan mendorong impor,” kata Faisal.
Sementara investasi, lanjut Faisal, pembatasan sosial dan mobilitas berakibat demand shock yang menurunkan optimisme investasi penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN). Tren relokasi investasi manufaktur keluar dari China terus terjadi saat pandemi. Hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor manufaktur. (Lihat videonya: Miris, Tak Punya HP Anak Pemulung Numpang belajar di rumah Tetangga)
Ini peluang dengan adanya relokasi dari China, tetapi kita harus bersaing dengan negara lain. “Tidak mudah karena masih banyak hambatan seperti peringkat kemudahan berusaha masih lebih rendah di ASEAN,” tandasnya. (Kunthi Fahmar Sandy/Oktiani Endarwati)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda