Resesi Mengancam, Menteri Diminta Bergerak Cepat
Jum'at, 24 Juli 2020 - 06:33 WIB
Pemerintah memperkirakan dana penanganan Covid-19 bisa mencapai Rp905,1 triliun yang masuk dalam skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggaran jumbo tersebut beberapa kali mengalami perubahan dari awalnya hanya Rp405,1 triliun, kemudian naik menjadi Rp677,2 triliun, lalu naik lagi menjadi Rp695,2 triliun.
Kendati sejumlah negara mengalami resesi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, jurang resesi ekonomi Indonesia tidak sedalam negara lain. Pasalnya, pada kuartal I/2020 ekonomi Indonesia masih tumbuh 2,97%. Dia membandingkan, perekonomian Thailand yang secara teknis sudah resesi akibat pertumbuhannya di kuartal I minus 1,8% dan kuartal II minus 11,1%. Begitu pun dengan Brasil dan India yang ekonominya minus double digit.
Airlangga mengaku sudah menyiapkan beberapa strategi, salah satunya mempercepat pelaksanaan program PEN yang menyasar sektor kesehatan, perlindungan sosial, korporasi, UMKM, hingga sektoral dan pemerintah daerah. Percepatan PEN ini bisa terlaksana di kuartal III dan kuartal IV/2020. "Saat ini pemerintah sudah melakukan program pemulihan ekonomi dengan merestrukturisasi kredit pada sektor UMKM dan juga penempatan dana pemerintah pada perbankan," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Anis Byarwati menyesalkan rendahnya serapan anggaran penanganan Covid-19. Di sisi lain, pemerintah terus menaikkan alokasi anggaran penanganan Covid-19. ”Seharusnya anggaran yang terus naik ini diimbangi serapan yang bagus. Kan tidak mungkin Presiden Jokowi marah-marah kalau serapannya bagus. Bayangkan dari Rp75 triliun anggaran kesehatan, baru terserap 1,53%. Yang lain juga, seperti UMKM baru terserap 0,2%,” ujar Anis dalam Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema “Vaksin Covid: Masalah atau Solusi?” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Anis mengatakan, rendahnya serapan anggaran penanganan Covid-19 tersebut menunjukkan bahwa tingkat koordinasi antarpemerintah belum baik. “Jadi bukan hanya menganggarkan yang besar, tapi kemudian bingung bagaimana menyerapnya. Kan itu tidak bagus bagi rakyat karena yang merasakan dampaknya kan rakyat,” tuturnya. (Baca juga: Gerebek Rumah Bujang, Warga Temukan Ribuan Pakaian Dalam Wanita)
Anis menunjukkan, terjadi jurang yang menyesakkan dada ketika rakyat mengeluhkan berbagai kebutuhan mahal, daya beli rendah, dokter di rumah sakit kekurangan alat pelindung diri (APD), sementara dananya ada namun tidak terserap. ”Itu kan seperti jurang yang menyesakkan dada, ya wajar kalau sampai Presiden itu marah,” katanya.
Pengamat ekonomi Aviliani juga mengkritik lemahnya penyerapan anggaran. Dalam menghadapi situasi pandemi seperti ini, level kementerian jangan sampai menjalankan kebijakan business as usual. "Transformasi out of the box ini tidak terjadi. Kebijakan sudah keluar, anggaran ratusan triliun sudah disetujui DPR, tapi sampai hari ini realisasinya masih relatif rendah," ungkapnya.
Dia mengatakan, realisasi anggaran PEN hingga Juni 2020 harusnya sudah mencapai 50%. Akan tetapi, hingga kini realisasinya baru mencapai angka 30%. "Makanya pertumbuhan kita di kuartal ini negatif. Kenapa? Karena masih pakai sistem business as usual. Kondisi sekarang justru belanja pemerintah harus dioptimalkan, bukan dari sektor swasta," ucap Aviliani. (Lihat videonya: 7 Emak-emak Nekat Joget TikTok di Jalan Tol)
Di sisi lain, wabah Covid-19 ini juga menjadi momentum untuk mengoreksi rapuhnya pijakan perekonomian akibat terlalu bergantung ke negara lain. Karena itu, aspek kemandirian ekonomi harus menjadi arus utama dalam menata arsitektur ekonomi Indonesia pascapandemi, agar cita-cita kesejahteraan bisa diwujudkan.
Peneliti Indef M Rizal Taufikurrahman menyarankan agar pemerintah mempertahankan sektor konsumsi yang selama ini menjadi andalan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu ada beberapa perbaikan mendasar terkait teknis penyaluran stimulus fiskal, perbaikan pendataan yang targetnya di luar data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) serta koordinasi dan sinergi lintas lembaga. (Dita Angga/Abdul Rochim/Rina Anggraeni)
Kendati sejumlah negara mengalami resesi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, jurang resesi ekonomi Indonesia tidak sedalam negara lain. Pasalnya, pada kuartal I/2020 ekonomi Indonesia masih tumbuh 2,97%. Dia membandingkan, perekonomian Thailand yang secara teknis sudah resesi akibat pertumbuhannya di kuartal I minus 1,8% dan kuartal II minus 11,1%. Begitu pun dengan Brasil dan India yang ekonominya minus double digit.
Airlangga mengaku sudah menyiapkan beberapa strategi, salah satunya mempercepat pelaksanaan program PEN yang menyasar sektor kesehatan, perlindungan sosial, korporasi, UMKM, hingga sektoral dan pemerintah daerah. Percepatan PEN ini bisa terlaksana di kuartal III dan kuartal IV/2020. "Saat ini pemerintah sudah melakukan program pemulihan ekonomi dengan merestrukturisasi kredit pada sektor UMKM dan juga penempatan dana pemerintah pada perbankan," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Anis Byarwati menyesalkan rendahnya serapan anggaran penanganan Covid-19. Di sisi lain, pemerintah terus menaikkan alokasi anggaran penanganan Covid-19. ”Seharusnya anggaran yang terus naik ini diimbangi serapan yang bagus. Kan tidak mungkin Presiden Jokowi marah-marah kalau serapannya bagus. Bayangkan dari Rp75 triliun anggaran kesehatan, baru terserap 1,53%. Yang lain juga, seperti UMKM baru terserap 0,2%,” ujar Anis dalam Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema “Vaksin Covid: Masalah atau Solusi?” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Anis mengatakan, rendahnya serapan anggaran penanganan Covid-19 tersebut menunjukkan bahwa tingkat koordinasi antarpemerintah belum baik. “Jadi bukan hanya menganggarkan yang besar, tapi kemudian bingung bagaimana menyerapnya. Kan itu tidak bagus bagi rakyat karena yang merasakan dampaknya kan rakyat,” tuturnya. (Baca juga: Gerebek Rumah Bujang, Warga Temukan Ribuan Pakaian Dalam Wanita)
Anis menunjukkan, terjadi jurang yang menyesakkan dada ketika rakyat mengeluhkan berbagai kebutuhan mahal, daya beli rendah, dokter di rumah sakit kekurangan alat pelindung diri (APD), sementara dananya ada namun tidak terserap. ”Itu kan seperti jurang yang menyesakkan dada, ya wajar kalau sampai Presiden itu marah,” katanya.
Pengamat ekonomi Aviliani juga mengkritik lemahnya penyerapan anggaran. Dalam menghadapi situasi pandemi seperti ini, level kementerian jangan sampai menjalankan kebijakan business as usual. "Transformasi out of the box ini tidak terjadi. Kebijakan sudah keluar, anggaran ratusan triliun sudah disetujui DPR, tapi sampai hari ini realisasinya masih relatif rendah," ungkapnya.
Dia mengatakan, realisasi anggaran PEN hingga Juni 2020 harusnya sudah mencapai 50%. Akan tetapi, hingga kini realisasinya baru mencapai angka 30%. "Makanya pertumbuhan kita di kuartal ini negatif. Kenapa? Karena masih pakai sistem business as usual. Kondisi sekarang justru belanja pemerintah harus dioptimalkan, bukan dari sektor swasta," ucap Aviliani. (Lihat videonya: 7 Emak-emak Nekat Joget TikTok di Jalan Tol)
Di sisi lain, wabah Covid-19 ini juga menjadi momentum untuk mengoreksi rapuhnya pijakan perekonomian akibat terlalu bergantung ke negara lain. Karena itu, aspek kemandirian ekonomi harus menjadi arus utama dalam menata arsitektur ekonomi Indonesia pascapandemi, agar cita-cita kesejahteraan bisa diwujudkan.
Peneliti Indef M Rizal Taufikurrahman menyarankan agar pemerintah mempertahankan sektor konsumsi yang selama ini menjadi andalan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu ada beberapa perbaikan mendasar terkait teknis penyaluran stimulus fiskal, perbaikan pendataan yang targetnya di luar data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) serta koordinasi dan sinergi lintas lembaga. (Dita Angga/Abdul Rochim/Rina Anggraeni)
Lihat Juga :
tulis komentar anda